Sepucuk Surat Terima Kasih.

Surat ini saya tujukan kepada Saudari Tasniem Fauziah.

“Semoga saja aliran informasi dapat mengantarkan sedikit bagian dari halaman rumah maya ini tepat pada tujuannya….”

***

Saya ingin memulai dengan mengucapkan terima kasih.

Terima kasih atas surat terbuka saudari kepada Jokowi. Disini saya tak bermaksud membalas surat tersebut, surat terbuka yang dapat dipandang telanjang oleh siapa saja tapi saya percaya ditujukan kepada satu orang saja.

Saya ingin mengucap terima kasih karena surat saudari memberi saya ruang untuk berfikir kembali atas pilihan yang saya buat. Pilihan untuk berdiri pada satu sisi, pilihan untuk ikut berbagi beban bangsa ini dengan percaya pada seseorang.

Saya awam mengenai politik, pun tidak pernah dibuat terkesan akan elegi yang sering ditampilkan oleh para pelakon politik negeri kita. Tapi kali ini saya ingin membuka mata, memutuskan untuk tidak diam dalam gelap dan menyumbangkan keilmuan saya yang sedikit dan rasa bangga serta cinta kepada tanah air saya yang besar untuk satu momen yang menentukan hajat hidup saya dan saudara sebangsa saya.

Saya memutuskan untuk memilih dan saya memilih untuk percaya.

***

Surat terbuka saudari membuat saya berkontemplasi, walau saya tahu surat saudari ditujukan pada seseorang tertentu tapi beberapa bait dalam surat tersebut dapat menjadi cermin bagi saya pribadi.

Saat saudari berbicara mengenai sumpah, saya teringat perkataan almarhum ayah saya bahwa kata bukanlah benda yang dapat dipegang, tapi mampu mengikat lebih kuat dari tali kekang kuda-kuda perang. Saya percaya sumpah atas nama pencipta alam raya adalah bentuk penghormatan tertinggi manusia atas harga dirinya, karena sumpah yang terlafalkan bersama nafas dan dikunci oleh waktu mustahil ditarik kembali.

Memang benar sumpah mengikat kuat tapi bagi mereka yang mampu melihat, sumpah bukanlah pengekang. Sumpah menjadi pengarah layaknya tali bagi kuda. Meluruskan niat, melapangkan tujuan dan memberi ruang untuk mencapai hajat tertinggi yang dapat diabdikan seseorang kepada Dia yang diberi janji.

Saya mungkin tak seberani beliau yang saudari sebut dalam surat terbuka, pada satu masa di tahun 2012 saat dia menutup sumpahnya dengan melafalkan janji untuk berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa. Sebab kita tak akan pernah bisa menduga kearah mana takdir akan berjalan.

Saat kesempatan memberi jalan bagi sumpahmu untuk mencapai hajat tertingginya, saat itulah dia mengekangmu untuk menjalankannya. Saat takdir mengangkat sumpahmu lebih tinggi, meminta pengabdianmu lebih besar lagi, siapa kita untuk mengingkari?

Dan bagi saya, bentuk pengikaran sejatinya adalah tetap dalam penjara pengabdian kecil kita…

***

Saya adalah satu dari 250 juta orang yang saudari sebut dalam surat saudari, tapi saya tak bermaksud mewakili satu pun dari saudara sebangsa saya. Bagi saya pribadi, saya tak memerlukan pemimpin yang mampu memimpin 250 juta orang.

Saya memerlukan pemimpin yang mengerti suka duka saya sebagai warga negara, yang tahu bahwa di bawah terik matahari saya bekerja untuk hidup, yang tahu bahwa ditiap lembah rupiah pajak yang saya bayarkan ada harap untuk keadilan dan kesejahteraan. Yang mengerti saya merindukan toleransi dan penghargaan atas perbedaan serta  keberagaman. Yang paham bagaimana berharganya kebebasan atas hak yang sama diatas tanah yang sama.

Saya tidak membutuhkan pemimpin untuk berdiri di depan saya, memasang badannya dengan jumawa dan memegang amanat negeri ini seorang diri.

Saya butuh pemimpin yang mampu menggenggam tangan saya untuk berdiri disampingnya, merangkul mimpi dan harapan saya untuk dapat berkarya bersamanya dan bersisian memasang badan untuk kedaulatan negara.

Karena amanat negeri ini bukanlah amanatnya, amanatku, amanatmu. Ini amanat kita semua, amanat 250 juta jiwa yang bertumpah darah di tanah ini.

Sekali lagi saya memutuskan untuk memilih dan saya memilih untuk percaya…

***

Saat saudara berbicara mengenai pencitraan, sungguh saya merasa malu sendiri. Mungkin selama ini saya adalah salah satu dari mereka yang mencitrakan diri tak sepantasnya. Saya berintrospeksi, melihat kebelakang atas rekam jejak dan perbuatan yang pernah saya torehkan. Apa langkah yang saya ambil dahulu kala kini tak lagi dalam arah yang sama? Apa tindakan yang saya lakukan dimasa lalu tak lagi meninggalkan sejarah kelam bagi mereka yang sempat bersinggungan waktu?

Apakah masa lalu dapat saya sebut sebagai masa lalu dan saya dimasa kini adalah saya yang baru?

Kemudian saya mulai mengerti bahwa pencitraan sejatinya tak sesederhana perkara media, bukan sekadar perkara nama yang terpajang dalam majalah-majalah, pun bukan hanya kemampuan berbahasa dan beragam suku kata yang disematkan kepada kita.

Ini tentang saya yang mereka putuskan untuk lihat, putuskan untuk dengar dan putuskan untuk rasakan.

Ya, ini perkara memutuskan.

Seperti halnya saya, mereka memiliki pilihan untuk percaya apa yang mereka ingin percaya.

Dan kemudian saya memilih untuk percaya mereka yang berada di ujung-ujung jalan, mereka yang berada di sudut-sudut pasar, mereka yang hidup di bantaran sungai besar, di kolong-kolong jembatan dan yang menggantungkan hidupnya dari mesin-mesin bermotor tua.

Mereka yang terpinggirkan oleh ketidakadilan, mereka yang dibungkam oleh ketakukan dan masa lalu yang kelam, mereka yang memilki suara mungil yang hanya dapat di dengar saat kita berdiri bersisian dengan mereka di tanah mereka dan bukannya di istana.

Saya memilih untuk percaya ketulusan penduduk negeri ini yang diusia tuanya rela berdiri dan mengantri untuk menyumbang satu dua lembar rupiahnya yang berharga untuk satu mimpi usang yang sama dengan saya; Keadilan bagi segenap rakyat Indonesia!

***

Saudari Tasniem, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih.

Terima kasih telah membuka mata saya atas ketidaksempurnaan saya sebagai manusia. Terima kasih untuk membuat saya melihat bahwa betapa saya masih begitu jumawa mencari sosok yang sempurna.

Saya kini tahu saya tak bisa membandingkan sosok pemimpin yang saya impikan dengan kesempurnaan, karena itu bukanlah pembanding teradil.

Saya hanya butuh pemimpin yang melihat visi yang sama, yang dapat meyakinkan saya dengan bukti nyata dan berdiri bersama orang-orang baik yang saya yakini pemikirannya.Dan untuk semua ketidaksempurnaan yang ada, semoga Tuhan masih berkenan memberi ruang dan waktu bagi kita untuk saling melengkapi.

***

Saya memutuskan untuk memilih dan saya memilih untuk berdiri disisi dia yang dapat saya titipi mimpi!

Salam hormat dan terima kasih dari salah satu anak bangsa;

Husni

One thought on “Sepucuk Surat Terima Kasih.

Leave a comment