Fortune One: Ode of Sierra

Sekeras apa sebuah surel dapat menamparmu?!

Tidak, saya sedang tidak menyampaikan retorika bukan pula berusaha memberimu sebuah pertanyaan filsuf yang mungkin kau temukan jawabannya saat membuka kitab-kitab suci Plato.

Saya sekadar meresonansi sebuah kalimat tanya yang terbersit di dalam otak saya. Pertanyaan itu pun tidak pernah terlintas sebelumnya mengingat surel secara harfiah tidak memiliki massa untuk dapat memberi sebuah rasa.

Pertanyaan itu hadir mengikuti jawabannya saat satu sabtu yang lalu kotak email saya menampilkan sebuah surat dari rekan di benua hitam.

“We are close to win the war Husni, all I can think is how much you want to be here now to end it…”

Pipi saya memerah dan berbagai macam perasaan menggelegak keluar, rasa iri pun bercampur rasa senang, rasa lega bercampur rasa iba, rasa tenang bersinggungan dengan rasa gelisah. Ebola yang menjadi mimpi buruk kami berbulan-bulan lamanya, perlahan mulai kalah.

Saya merasa tertampar tak bisa turun tangan bersama rekan-rekan saya di garis depan melawan salah satu virus paling mematikan di dunia ini.

***

Ingatan saya memutar kembali kenangan tahun lalu, saat saya ditugaskan ke Sierra Leone di Afrika Barat. Untuk pertama kalinya saya bersentuhan dengan Viral Haemorragic Fever yang melegenda. Penyakit ini saya ketahui  bertahun-tahun yang lalu melalui buku ajar pun tak pernah terbersit sekalipun bahwa saya akan melewatkan setengah tahun dalam hidup saya berjibaku dengan penyakit yang tak pernah saya jumpai sebelumnya.

Ebola, Lassa dan Marburg laksana Briley Brother yang melegenda; mereka membunuh tanpa pandang bulu. Afrika sejak dahulu telah menjadi ladang pembantaiannya. Ebola layaknya kutukan para penyihir hitam yang Datang melalui kematian untuk membawa kematian, pengaruh paham mistis kuat melingkupi penyakit ini. Bertahun-tahun yang lalu generasi kedokteran sebelum saya tak bisa memberikan penjelasan ilmiah tentang wabah berdarah yang menewaskan garis generasi di banyak suku di pedalaman Afrika.

Lassa pun tak kalah kejinya, penyakit ini menetap di delta barat Afrika. Menjadi mimpi buruk yang menghantui Sierra Leone, Guiena dan Liberia. Saat diberi tahu bahwa untuk penugasan kali ini saya diberi kepercayaan untuk memimpin tim pediatrician di rumah sakit anak terbesar di  timur Sierra Leone, disebut pula bahwa kami bertugas untuk mengkarantina dan menangani pasien yang dicurigai menjangkit Lassa Haemorragic Fever.

Jauh di sudut selatan rumah sakit kami, didirikan sebuah bangunan putih berdinding tripleks dan beratap terpal. Bertugas di dalamnya beberapa orang yang senantiasa terbungkus kostum putih dan kuning tebal. Tak ada satu pun bagian tubuh mereka yang terlihat, layaknya para kosmonot yang menginjakkan kaki di bulan. Mereka tak membumi seakan berada di buana yang lain.

Bangsal itu dibagi menjadi empat petak, tiap petaknya berisi satu tempat tidur dan peralatan medis dasar. Satu petak dibagian depan dibiarkan terbuka hingga tampak telanjang dari kaca tembus pandang dimana para petugas medis duduk mengawasi.

Tak banyak yang bertugas di bangsal ini, rekan saya yang bernama Honney memimpin tim perawat yang khusus menangani pasien yang dicurigai menjangkit Lassa. Tubuh perempuan Filipina ini mungil dan tambun, tawanya yang membahana dapat terdengar di balik PPE yang menjadi pakaian khusus mereka. Peringainya yang keras seakan menjadi tameng utama yang membuatnya bertahan disana.

Lassa bukan hanya mimpi buruk pasien tapi juga kami, virus ini dapat menular menular berbagai macam cairan tubuh, membuat kontak langsung menjadi sangat berbahaya. PPE menjadi satu-satunya harapan kami untuk tidak terkontaminasi. Secara religius kami harus mengikuti aturan mengenakan dan melepaskan pakaian ini. Satu langkah yang salah, satu cara yang terlupa, satu rangkaian yang tak sempurna membuat kami berisiko tinggi terpajan virus lassa.

Ebola, Lassa dan Marburg menampilkan drama!

Mereka layaknya tukang jagal yang datang dan pergi seketika. Dalam hitungan hari anak-anak yang semula sehat, dalam beberapa hari telah berbaring koma dengan berbagai macam manifestasi perdarahan dari liang tubuhnya hingga kematian menjemput.

Sayang mati bukan menjadi akhir tetapi epilog dari rentetan mimpi buruk berikutnya. Virus ini tetap dapat meninfeksi walau host-nya tak lagi hidup, membuat ajang penguburan menjadi awal mula ladang pembantaian yang senyap. Saat orang tua menangisi jenazah anaknya, memberi pelukan selamat tinggal dan menggotong mereka ke tempat peristirahatan terakhir, virus ini pun pelan-pelan berpindah dan dalam hitungan hari drama berdarah itu berulang sekali lagi…

Minggu-minggu pertama bertugas disana saya layaknya penderita skizophrenia, merasa takut yang tak wajar pada entitas yang tak tampak. Seketika saya menjadi obsesif kompulsif, memastikan tidak hanya sekali, dua kali bahkan berkali-kali tangan saya telah bersih, sarung tangan saya tak menyisakan celah, kacamata yang saya gunakan telah kedap oleh udara dan sol sepatu saya telah terendam larutan chlorin sebelum saya beranjak melangkah.

Saya seakan bertarung dengan hantu yang menjadi nyata, mimpi buruk yang saya temui tiap harinya. Kami yang bertugas di bangsal putih itu tahu bahwa satu partikel virus dapat mengakhiri hidup kami dalam hitungan hari dengan cara yang paling tidak manusiawi.

Berkali-kali saya merasa putus asa, terpukul atas drama kematian yang paling keji yang pernah saya temui dalam karir saya sebagai dokter. Perasaan tak berdaya mengetahui harapan hidup pasien saya yang kecil serta terapi yang seringnya tak berfungsi berbalut rasa takut akan kenyataan bahwa sewaktu-waktu tanpa saya sadari, sekeluarnya saya dari bangsal ini, saya telah menjadi bagian dari seri kematian seperti yang menimpa kolega kami yang sebelumnya bekerja di rumah sakit in.

Hingga pada satu titik saya menolak untuk takut, menolak untuk pasrah pada ketidakberdayaan dan tak tunduk kalah tanpa berjuang. Saya kemudian melewatkan ratusan hari di bangsal putih itu, bermandikan keringat di balik pakaian tebal bersama Honney dan timnya. Di dalam sana waktu adalah keniscayaan, siang dan malam tak dapat terukur oleh suhu yang menjadi pembeda. Adrenaline seakan tak berhenti terpompa saat melangkah masuk ke dalam tiap bilik yang berisi pasien.
Satu-satunya saat disaat saya dapat merasa lega adalah pada saat bangsal ini menjadi lengang tak berisi. Seringnya saat tak ada lagi pasien yang tersisa untuk diobservasi.

Terkadang saya bertanya-tanya, apakah pengabdian ini sebanding dengan risiko tinggi yang saya emban? Mungkin saya yang terlalu buta hingga tak dapat membedakan antara bodoh dan heroik, antara kewajiban dan pilihan, antara cinta dan keras kepala, serta tahu kapan waktunya untuk melapangkan dada?

Tetapi memandang bangsal putih itu seakan memandang harapan…

Raut wajah kecil penghuninya, mata-mata redup telanjang yang berserobok dengan mata kami di balik kacamata tebal, jiwa-jiwa mungil yang tengah berjuang untuk tak dipadamkan oleh kematian serta hidup yang terlalu berharga untuk hilang dan menjadi sejarah buram.

Kesemuanya membuat saya berjanji bahwa apapun yang terjadi, setidaknya pasien-pasien kecil ini tahu bahwa di dalam bangsal putih itu mereka tak akan pernah berjuang sendiri!

13 thoughts on “Fortune One: Ode of Sierra

  1. Membacanya membuat saya menitikkan air mata, membuat hati tergetar. hanya doa yang bisa terucap, semoga Mas Husni, tim relawan lainnya juga anak-anak di sana selalu dalam lindungan Allah. Tidak ada perjuangan yang sia-sia.
    Aamiin

    Like

Leave a comment