Manusia, Tuhan, Cinta dan Meja Makan yang Dibagi Dua

Selçuk – Turkey, 24 December 2014[07:12pm]

“Can I sit here? tanya dia.

Sesaat saya memandang pria itu sebelum menjawabnya dengan anggukan kepala.

“Have you ordered?” Tanyanya lagi.

“Not yet, it seems there’s only  one waiter and he’s pretty busy” jawab saya sekadarnya.

Beberapa saat kami berdua kembali sibuk dengan layar kecil ponsel kami sebelum pelayan bertubuh tambun dengan serpihan uban keperakan menyapa. Disodorkannya sebuah menu bergambar ke tengah-tengah meja, kemudian perhatiannya kembali terarah pada layar televisi yang tergantung di tengah-tengah ruangan.

“You can have a look first” katanya.

Saya mengangguk berterima kasih kemudian sibuk membolak-balik buku menu yang sebagian besar berisi beragam varian Kebab. Memilih Kebab di Turki rupanya tidak semudah perkiraan saya. Kebab layaknya soto di Indonesia, memiliki bentuk yang sama dengan varian yang beragam!

Ambil saja contoh Soto Banjar dan Soto Lamongan walau tampak serupa memiliki rasa khas yang akan mudah dikenali oleh papila-papila lidahmu. Sroto Sokaraja dengan krupuk kanji merah mudanya tampak feminis apabila disandingkan dengan Coto Makassar yang beraroma kuat dengan warna gelap. Belum lagi Soto Betawi dengan jeroan sapi, Soto Kudus dengan sendok bebeknya dan Sauto Tegal yang dengan mudah membuatmu jatuh cinta pada si keling Tauco hitam.

Setelah beberapa hari di Turki, saya menasbihkan Kofte sebagai varian Kebab terlezat. Bentuknya yang bulat mengingatkan saya pada bakso. Bulatan daging yang dicampur ramuan rempah, bawang dan telur ini terasa nikmat saat digoreng ataupun direbus. Umumnya restoran menyajikan empat buah Kofte dalam satu menu tapi seringnya empat buah Kofte tak pernah cukup untuk mengeyangkan saya. Berdalih lapar, saya memesan dua porsi Kofte goreng.

“Give me a plate of rice and a glass of water” lanjut saya menutup pesanan malam itu.

“Kofte supposedly eaten with bread, it’s not compatible with rice”

“Give him Pide instead!” Sekoyong-koyong pria disamping saya menginterupsi, membatalkan pesanan saya dan alih-alih menggantinya dengan roti yang tak saya kenali.

“Don’t worry, you will like it” lanjutnya.

“I hope so. I don’t have any intention to pay a strange dish ordered by stranger” sungut saya.

“Mustafa” ujarnya sembari mengulurkan tangan.

“Husni” balas saya.

“Now we are not a stranger anymore, Husni!” ujarnya sembari tertawa.

***

“Where do you come from? Egypt?” tanyanya,

“Am I look like a middle eastern?”

“No, I guess you’re an Asian but your name reminds me to Egyptian Dictator”

“Husni Mubarak. Indeed it;s my name. My father named me after him. Certainly won’t be the case if he knew what happened with that guy in 26 years after I was born!”

“Really! That’s wittyly interesting” katanya.

Ia lanjut memesan menu.

Selama beberapa saat ia bercakap dalam bahasa Turki, menunjukkan gambar menu makanan yang menerupai Ravioli dengan yoghurt dan saus savron yang memerah.

“So what brings you to Selçuk? Traveling?”

Saya mengangguk.

Selçuk view from the train bridge
Selçuk view from the train bridge

Saya rasa tebakannya itu berlaku untuk semua orang asing yang berkunjung ke kota kecil ini. Lokasi Selçuk adalah yang terdekat dengan reruntuhan Ephesus. Walau berukuran kecil, kota ini dilengkapi dengan fasilitas yang membuat turis-turis merasa nyaman berkunjung. Sebuah statiun kereta membelah kota menjadi dua, menghubungkan Selçuk dengan induknya Izmir dan kota-kota kecil yang saling bertetangga. Pusat kotanya berhias bangunan-bangunan rendah dengan toko yang menampilkan etalase barang kelotong ataupun menu makanan serta Efes (bir Turki) yang saling bertumpuk. Penduduk Selçuk senang berkumpul di jantung kota untuk sekadar menikmati çay (teh Turki) yang dihidangkan dalam cangkir kecil menyerupai tabung sembari menghisap Shisha.

“I visited Ephesus and about to leave tomorrow to Pamukkale”

“And what about you? Are you a local or visitor?” Saya balas bertanya

“Visiting. I’m accompanying my mom. She joined the christmas mass at House of Virgin Mary. I should pick her later” Jawabnya.

“And you’re not joining? Lanjut saya,

Ia meraih sebatang rokok dari saku depannya, memantik api dan menyalakannya.

“I’m a Mosleem. My mom is Christian” Jawabnya singkat.

Sudah hampir pukul delapan di malam natal dan beberapa saat yang lalu saya tengah sibuk mengirimkan surel selamat natal kepada rekan-rekan saya yang merayakan. Disaat yang sama linimasa saya diramaikan oleh perdebatan akan sahihnya mengucapkan salam. Beberapa dengan kerasnya melarang, sebagian besar mencibir sembari menghamparkan dalil-dalil untuk memperkuat alasan mereka. Dan ribuan mil dari sana, seorang pemuda Muslim tengah mengantarkan Ibunya menghadiri Misa Natal di salah satu gereja tua di batas kota.

Meryemana (House of Virgin Mary) menjadi situs kedua yang paling ramai dikunjungi setelah Ephesus. Terletak di gunung Korresos, konon disinilah perawan Maria/Maryam melewatkan sisa-sisa terakhir hidupnya. Walau kesahihan tempat yang disucikan penganut Katolik ini seburam cerita penemuannya, saat malam natal tiba ratusan orang dari segenap penjuru Turki datang dan bergabung dalam Misa panjang sembari berusaha mengisolasi hangat dalam lantunan doa.

***

Saat mengetahui bahwa pemuda bermata hijau zamrud ini tengah menempuh pendidikan ilmu filsafat di Istanbul, percakapan kami mengalir jauh dari sekadar basa-basi perkenalan saja.

Dengan berapi-api ia memaparkan kekecewaannya pada pemerintahan Erdoğan yang terkesan lamban dan acuh terhadap ancaman ISIS. Perang di Suriah telah mengetuk pintu-pintu perbatasan Turki, satu persatu negara tetangganya bergumul dalam konflik berdarah. Seperti negara di semenanjung Arab, Turki mengulurkan tangannya bagi para pengungsi Suriah tapi cenderung menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi tepat disebelahnya.

“Those kind of foolish love that makes the world a living hell! Look what happened to our neighboor Syria?”It’s just a matter of time before the same ill infecting Turkey”

“Foolish love?” tanya saya sembari mendelik heran.

“Yes, why do you think the terrorist spread?” “They believe it’s an act of love and loyalty to God or to whomever the supreme power they believe. Let alone the politic that comes within. Lanjutnya berfilsafat.

Pahamnya itu membuat saya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal…

Menurutnya Cinta adalah dasar dari segala masalah besar dunia.

Baginya semua berawal dari cinta buta. Cinta yang berubah menjadi rasa posesif dan obsesi untuk menguasai. Layaknya cinta Orion pada Artemis, sang dewi perawan yang dipuja penduduk kuno Ephesus, cinta semacam itu membawa dengki dan menjadi racun bagi pemiliknya. Manusia menunggalkan ide dan pahamnya, terkadang merasa kesempurnaan terletak pada cinta mereka dan yang lain tak lebih dari rasa suka yang dangkal dan salah. Cinta yang mereka yakini menjerumuskan pada sikap kefanatikan yang semu. Alih-alih menyebarkan kebaikan, cinta itu kemudian memupuk kebencian.

***

Setelah menunggu lebih dari empat puluh menit, pesanan kami akhirnya datang juga.

“This is Manti, a classic dish during winter. You’ll find it everywhere in the Anatolian region” Mustafa menjelaskan menu yang dipesannya kepada saya. Menyerupai siomay kecil, Manti berisi cincangan daging domba serta dilumuri yoghurt dan saus tomat yang dikaramelisasi. Tampak gurih dan menarik!

“And that is yours” ujarnya saat pelayan meletakkan beberapa piring makanan dihadapan saya.

Saya memandang setangkup roti berwarna putih kecoklatan berhias butiran jintan hitam yang mengepulkan uap hangat. Delapan buah Kofte yang berwarna gelap tersebar di piring lebar berhias sayuran dan asinan cabai hijau besar. Cepat-cepat saya mencabik sekerat roti, mencocolnya ke yoghurt dan secuil Kofte. Rasa roti yang manis berpadu dengan Kofte kaya rempah melebur menjadi sensasi lezat!

“This IS Love my friend! A good feeling. A kindness from stranger who ordered you a delicious bread instead of plain white rice” Ujar saya.

Kami berdua menggelak tawa.

“Told you! You’ll like it. You just don’t feel confortable with something that you don’t know!” katanya.

Ya, ada benarnya juga. Manusia cenderung menolak apa yang berbeda bukan karena ia berbeda, tapi karena takut akan apa yang tak ia kenali. Tentang sudut-sudut gelap yang tidak ia ketahui, tentang hidup yang asing, budaya yang berbeda dan tentang keyakinan yang tak sejalan dengan apa yang ia yakini.

Penasaran saya kemudian bertanya mengapa ia memiliki keyakinan yang berbeda dengan Ibunya.

Ia bercerita bahwa Ayahnya yang berdarah muslim Syria jatuh cinta pada seorang gadis Katolik Turki yang ditemuinya di toko roti Güzelbahçe. Sembunyi-sembunyi mereka berpacaran selama tiga tahun, menyimpan rapat-rapat hubungan mereka dari teman dan kerabat karena takut hubungan mereka mendapat tentangan. Tapi tak disangka, keluarga menerima cinta mereka dengan terbuka. Ia kemudian dibesarkan dalam ajaran agama ayahnya.

Bukankah itu seharusnya membuatmu tidak skeptikal terhadap cinta? Your family is a living example” Tanya saya saat ia tuntas bercerita.

“I do believe there is a good in each and every of us Husni, don’t get me wrong. But what I believe is good, not always the same case with you.”

“What I learned, that importance is not on what we believe but how we act…”

***

“Please pay my respect to Rumi when you visiting his tomb” katanya saat saya memberi tahu bahwa dalam dua hari mendatang saya akan berkunjung ke makam Jalaluddin Rumi di Konya.

“And drop me a message when you visit Istanbul ok! I’ll be there after the new year” ujarnya lagi sebelum kami berpisah.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan dan ia ingin bergegas menjemput ibunya. Kami bersama-sama meninggalkan restoran setelah sebelumnya saling berargumentasi akan siapa yang membayar menu malam ini.

Langit Selçuk telah memekat hitam dan bayang-bayang bangunan tampak berbaris rapi, dilukis oleh temaram lampu kota di lantai jalan. Saya dan Mustafa berpisah di jantung kota saat ia cepat-cepat ia melangkah ketempatnya memarkir motor.

“Marry Christmas Mustafa, pass my regards to your mother!” teriak saja sebelum bayangan pemuda Turki bermata zamrud itu menghilang di belokan jalan…

IMG_8649
Merry Christmas lonely soul…

 

5 thoughts on “Manusia, Tuhan, Cinta dan Meja Makan yang Dibagi Dua

  1. ah, selalu menyenangkan berkenalan dengan orang lokal.
    kenapa ya setiap saya ketemu orang turki ujung ujungnya berbicara panjang soal agama?udah dua kali bertemu di negara berbeda selalu saja seperti itu haha..

    Like

  2. “Pahamnya itu membuat saya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal…” kok gue ngakak ya baca kalimat ini hahahaha -__-”

    Like

Leave a comment