Anjing!

Saya tidak pernah menyukai hewan ini. Setidaknya dulu, hingga beberapa waktu yang lalu. Merunut ke belakang, semuanya bermula ketika saya masih kecil. Mungkin saya memiliki fobia atau mungkin juga sekadar rasa takut yang berkepanjangan saja.

Saya yang tumbuh besar di daerah pasar di barat kota Makassar, tinggal di rumah yang terletak di gang lebar berbatas tembok belakang rumah sakit serta sebuah gudang milik saudagar Tionghoa yang tak sekalipun pernah saya temui rupanya. Ia memiliki empat ekor anjing berukuran besar dan bertampang garang. Dua diantaranya berwarna hitam beledu dengan mata kuning keemasan, telinga mereka runcing dengan monjong panjang, bulunya yang pendek tampak menyerupai kulit telanjang dari kejauhan.

Setiap hari mereka rutin berpatroli di gang kami, menggonggongi siapa saja yang melintas dalam radius kerja mereka. Satu dari mereka galaknya minta ampun, si betina berwarna cokelat – yang kala melonglong di malam hari membuat saya seketika meminta izin tidur di bawah ranjang Ayah – tak jarang mengejar siapa saja yang diendusnya mengeluarkan aura ketakutan.

Sungguh saya tak bisa menebak perangai hewan ini, mereka layaknya perempuan saat sedang datang bulan, mood mereka berubah sesering bayi berganti popok. Satu-satunya waktu dimana saya bisa bermain gundu ataupun bersepeda dengan tenang adalah kala mereka tengah diberi makan, saat itu penjaga gudang akan mengurung mereka selama beberapa jam.

Jangan tanya sudah berapa kali saya dikejar hingga lari terbirit-birit, jangan tanya pula berapa banyak luka bekas gerusan aspal di tubuh saya akibat penyelamatan diri yang gagal kala mereka berlomba-lomba berlari mengejar saya serta anak-anak lain yang tengah bermain di depan gudang.

Seringnya drama itu berakhir dengan saya yang berlari pulang ke rumah sembari menangis terisak. Mendiang nenek saya kemudian berperan menenangkan, sembari menggosokkan minyak cap tawon kepercayaannya ia berpesan “makkoro memeng asu’e, aja nu mitau. Melo’ maccule tu!* Anjing itu hewan peka, cobalah kau akrabi” ujarnya.

Saya kecil membalasnya dengan menggelengkan kepala keras-keras.

Anjing” dan “teman” tidaklah pantas disandingkan dalam satu kalimat yang sama!

***

Göreme – Turkey, 28 December 2014 [13:39pm]

Saya sudah tidak sabar untuk menikmati hari baru.

Sial, akibat tak bertanya dengan baik saya pun salah menumpang bus. Alih-alih ke Cappadocia perjalanan saya dari Konya harus berhenti di Aksaray. Sore tengah menyembul saat saya menunggu resah bus menuju Göreme tiba. Di depan gerai toko elektronik, saya mengamati gerombolan kambing yang dipagar anjing-anjing gembala berbulu tebal. Kata penjaganya, bus yang tengah saya tunggu akan tiba tidak lama setelah matahari terbenam sempurna.

Benar saja, perjalanan saya meregang hingga lewat malam, Göreme telah tertidur lelap saat saya akhirnya tiba.

Apa yang menarik dari Cappadocia?

Ini adalah satu dari sekian banyak pertanyaan di dunia yang tak dapat terjawab sekadar dengan lisan semata. Itu pula yang membuat saya tertarik mengunjungi daerah ini. Gambaran formasi “cerobong peri (fairy chimney)” berselimut salju, memutihkan undakan gunung dan lembahnya tentu akan dengan mudah membuat saya buncah bahagia. Apalagi saat balon udara warna-warni beterbangan diatasnya. Pasti luar biasa!

Sayang tampaknya kesialan saya berlanjut…

Cuaca Göreme tiga hari terakhir tidak dapat diprediksi, laju angin yang melewati batas normal membuat tidak satupun provider balon udara berani mengambil risiko untuk mengarungi lembah-lembah di sekitaran Göreme maupun Urgup. Alih-alih pemandangan salju yang menghampar tebal, langit Göreme muram layaknya anak manja yang dipaksa makan.

Saya yang kecewa mengumpat kesal ke penjaga hotel tempat saya menginap.

“You have four days in Göreme, the weather might change. Don’t worry!” Balasnya.

“But now I have no actual plan. Maybe I should go to Babayan or Mount Erciyes.” Dengan ketus saya menjawab.

“And do what?”

“Erciyes around this time will be unbearably cold. Unless you have been prepared with winter sports equipment.” Ia menyambung

“You’re in Cappadocia, so go and exploring. You can follow the trails on the map or visit the open air museum” katanya, sembari memberi saya sebuah peta wisata.

Tercenung sesaat, saya pun mengiyakannya.

Saat apa yang saya harapkan bukanlah apa yang saya dapatkan, membuka diri untuk segala kemungkinan lebih baik dari mengumpat tak berkesudahan. Pikir saya.

***

Göreme menyerupai ceruk, ia menjadi kota dengan titik terendah di provinsi Nęvsehir. Sejak era awal Kristiani Byzantine hingga kekaisaran Ottoman, kota ini telah menjadi favorit para musafir serta biarawan. Ia dikelilingi formasi bebatuan fairy chimnes yang menyerupai jamur raksasa. Penduduknya memanfaatkan kontur alam dengan baik, mereka membangun gua-gua artifisial dan menjadikannya rumah serta sentra penyimpanan makanan. Dari titik tertinggi, Göreme terhampar laksana kota batu zaman purba.

Saya berjalan cukup lama, menyusuri jalan setapak yang basah akibat salju yang meleleh. Di banyak persimpangan, sisa-sisa salju yang turun beberapa hari yang lalu tampak terserak layaknya es serut di atas tanah yang gelap. Jalur yang saya lalui sepertinya telah lama tak dilewati manusia, terbukti dari tanahnya yang becek tak berhias tapak sepatu ataupun alur ban kendaraan bermotor.

Di kejauhan sayup-sayup suara kendaraan mulai menghilang; jalan pun semakin mengerucut dan menyempit. Sesaat saya berpikir untuk berbalik arah karena takut akan tersesat, hingga akhirnya beberapa meter di depan, jalanan yang saya lintasi kembali melebar. Sebuah bangunan tampak menyeruak di kejauhan, saya mempercepat langkah dengan harapan dapat menemukan seseorang untuk ditanyai.

GUK!

Suara gonggongan mengejutkan saya.

Dari balik pintu bangunan yang terbuka sesosok anjing tiba-tiba menyeruak muncul. Ia berderap pelan sembari sesekali menggonggong. Bulunya yang berwarna coklat kehitaman tampak menebal saat ia berjalan. Pandangannya lurus, mengunci tempat saya berdiri.

SIAL! Ujar saya dalam hati.

Berdiri terpaku, saya dapat merasakan jantung saya yang pelan-pelan mulai berdetak lebih kencang. Otak saya sibuk berhitung, secepat apakah saya harus berlari apabila ingin menghindari anjing ini?

Alih-alih bertindak, saya hanya mampu berdiri diam.

Ia memelan, mengitari saya sembari mengibaskan ekornya. Beberapa menit saya mencoba menanti apa yang akan dilakukannya, tapi ia tetap disana dan tidak melakukan apa-apa. Saya pun berjongkok dan mengusap leher serta tengkuknya, yang dibalasnya dengan gonggongan bernada tinggi dan kibasan ekor. Ia tampaknya senang diperlakukan seperti itu.

Tak disangka, anjing itu mengekor saya!

Ia berlari di depan saat kami berada di pendakian, menanti saya di puncak bukit yang menghamparkan pemandangan Cappadocia yang fantastis! Bentangan fairy chimnes layaknya galah-galah runcing yang mencoba menusuk langit, sejauh mata memandang, Cappadocia yang cenderung tandus tampak kontras dengan langit biru yang berakhir jauh di ujung cakrawala.

Jutaan tahun lamanya alam membentuk lansekap Cappadocia, dimulai dengan aktivitas vulkanik yang tinggi berlanjut dengan terpaan hujan, angin, salju dan aliran sungai yang memahat formasi bebatuan di daerah ini, membuatnya sulit disamakan dengan lansekap lain di planet bumi.

Sesekali anjing itu berbalik dan menghilang sesaat sebelum kembali lagi ke tempat saya berdiri. Terkadang saya menunggunya di tenda lengang yang tampaknya digunakan para pekerja ladang saat musim bercocok tanam, terkadang pula saya yang keletihan akan berhenti sejenak di balik bayang-bayang fairy chimney yang berpagar ilalang kering dan ia pun menunggui saya sembari berlari di sekitar rerimbunan buah beri liar.

Sayang selepas dua bukit ia tak lagi mengikut dan kebersamaan kami pun berakhir. Rumah tempatnya berasal tak lagi terlihat dari kejauhan dan ia tampaknya tahu pertemanan kami sebatas perimeter itu. Saya memberinya sebiji pisang sebagai tanda perpisahan. Ia mengendus tangan saya, memakan pisang kemudian menyalak riang dan berlari pergi meninggalkan saya yang mengekornya dengan pandangan hingga akhirnya menghilang.

Si cokelat bukan menjadi satu-satunya anjing yang saya temui di Cappadocia. Adapula si hitam yang saya dapati tengah menjaga kuda-kuda yang merumput di depan gua berhias ukiran salib di langit-langitnya.

Kuda dan gereja memang tak bisa dilepas dari sejarah Cappadocia – yang sendirinya berasal dari bahasa Hittite kuno “Katpatuka” yang berarti negeri kuda-kuda indah -. Daerah ini menjadi suaka bagi para penganut kristiani sejak abad keempat. Ratusan gereja, kapel dan basilika tersembunyi di balik bentangan alam Cappadocia. Ramai lukisan Yesus, Maria dan ratusan orang-orang suci lainnya menghiasi gua-gua gelap di dataran ini, sayang sebagian besar penggambaran ini telah rusak oleh ulah manusia.

Salib menghiasi hampir tiap sudut pilar-pilar batu hasil olah tangan artisan abad keempat dan kelima, ratusan ruang tempat berdoa dinamakan sesuai orang suci yang menjadi patronnya. Saya berkali-kali dibuat takjub oleh kemampuan manusia bersekutu dengan alam dan membuat maha karya berwujud bangunan-bangunan batu raksasa.

Kala sore, saya mendapati satu lagi anjing yang dengan tenang berdiri mematung memandang lepas ke Göreme dari Sunset point yang menjadi dataran landai tempat saya dapat memandang Cappadocia 360°. Ia baru berpindah saat matahari telah terbenam sempurna dan lampu pijar telah mewarnai kota di bawah sana. Anjing cokelat hitam dan tegap itu saya temui keesokan harinya, di waktu yang sama dan di tempat yang sama.

Seakan-akan menjaga Göreme adalah tugasnya.

***

Walau tampak berbeda, anjing-anjing ini memiliki kesamaan. Mereka menunjukkan kepada saya bahwa kesetiaan itu bersifat universal dan melintas batas spasial pun ras. Si cokelat sepertinya tahu benar bahwa rumah di persimpangan tempat kami bertemu adalah tempatnya berlabuh, si hitam walau tampak ogah-ogahan dan kesepian tak urung meninggalkan kuda-kuda yang dijaganya dan si tegap di atas bukit laksana penjaga kota yang bangga akan tugasnya. Pantaslah predikat “men best companion” disematkan pada hewan ini.

Saya jadi teringat pada anjing-anjing di sebelah rumah, tanpa saya sadari mereka tumbuh dan menua bersama saya. Hingga akhir hayatnya mereka tetap setia menjaga gudang sang saudagar Tionghoa – yang mungkin sama dengan saya- tak sekalipun pernah mereka temui wujudnya. Si betina cokelat tetap saja galak, dengan putingnya yang telah bergelambir ia masih kerap mengejar saya yang kala itu telah duduk di bangku kuliah. 

Kesetiaan yang sama ditunjukkan oleh nenek saya yang merawat suaminya sang pensiunan tentara hingga ajal menjemput mereka berdua ataupun ibu yang setia menjanda selepas kepergian ayah. Tampaknya bagi mereka, kesetiaan itu terlepas dari hitungan masa.

Kesetiaan sesungguhnya teruji saat sifat egoisme bukan lagi sebuah pembenaran dan kesempatan untuk berpaling terbuka dengan lebarnya. Ia bukanlah sebuah keharusan tetapi keinginan yang tumbuh dari kesadaran berpikir.

Anjing, nenek dan ibu menjadi guru yang mengajarkan saya bahwa sifat altruisme dapat dimiliki oleh siapa saja. Mereka mengabdikan diri pada kesetiaan yang telah dipaut dan menjadikannya bagian hidup yang tidak terpisah.

Tidak memandang apakah ia seorang manusia yang jatuh cinta ataupun hewan berkaki empat yang melompatimu kala ia senang!

 ***

14 thoughts on “Anjing!

  1. Anjing itu identik dengan kesetiaan, dan hewan yang bisa dijadikan pilar keamanan juga, tapi pointnya adalah hewan akan baik terhadap orang yang berbuat baik dan sayang terhadap hewan tsb *ngomong apa saya tadi* hahaha

    Like

  2. SUKA!

    Selalu menarik dan tak pernah bosan untuk dibaca sampai akhir. Kadang tulisan “Rasa Tambah” ini buat saya mengumpat “SIAL bintang tiga (***) ini artinya selesai”
    Well done!

    Like

  3. Kontemplatif sekali… Tapi, saya tetap tidak bisa akrab dan dekat dengan anjing. Karena mungkin dia tahu saya lebih bersahabat dengan kucing 😀

    Like

Leave a comment