Kepada Rumi, Saya Patah Hati

Konya – Turkey, 28 Desember 2014 [07:40am]

 Hujan rintik-rintik menyisakan embun di kacamata saya.

Jujur saja saya paling tidak suka saat tak mampu melihat dengan sempurna. Kacamata yang berembun membuat saya pincang, buram jalan dan manusia melebur layaknya santan putih yang dituang di semangkok bubur ketan hitam. Insting pun seketika menjadi pelakon utama yang menuntun saya berjalan. Samar-samar saya melihat rupa menara hijau tinggi di seberang jalan, satu-satunya warna cerah yang mencuat di balik berundak-undak awan di atas kota Konya.

Subuh tadi seorang karib mengirimi saya sebuah surel panjang berisi refleksi dirinya setahun terakhir. Natal yang baru saja berlalu menjadi kuil untuknya berkontemplasi tentang hidup, kepercayaan, mati dan cinta. Sayang 2014 bukanlah tahun terbaiknya, karib saya ini baru saja ditinggal pergi kekasihnya. Bukan dia saja yang patah hati, saya pun dibuatnya ikut patah hati. Bagi saya keduanya adalah pasangan sempurna, layaknya lonceng kecil dan leher domba. Dalam perbedaan mereka saling melengkapi, bahkan ketika saling membenci mereka berjanji untuk tetap saling mencintai.

Surelnya adalah ungkapan patah hati, tulisannya mengingatkan saya pada hari dimana mereka berpisah dan percakapan lintas benua kami yang berlangsung hingga dini hari kebanyakan berisi hening dan seguk tangisnya di seberang sana.

The wound is the place where light enters you

Ia mengutip sajak favorit kami, disela-sela baris surelnya.

Membacanya saya tersenyum-senyum sendiri.

“I am visiting him now, I will passed your regards!” Cepat-cepat saya mengetik pesan singkat dan mengirimkannya.

Hari ini saya menziarahi Rumi, pria yang bertanggung jawab terhadap semua roman masa muda saya.

***

When the soul lies down in that grass

The world is too full to talk about…

Pagi merangkak ke pukul delapan dan kota ini masih menggelayut manja di dekapan malam. Ramai anak kecil berbaris sempurna di depan pagar, peci putih kecil melingkar erat di atas puluhan kepala mungil, disampingnya pengunjung lain sibuk merapatkan mantel sembari merapal kalimat suci mengikuti rotasi tasbih di genggaman mereka. Saya mungkin satu-satunya pengunjung yang bergerak gelisah dan merutuki hujan rintik-rintik yang menusuk bagai serpihan es pagi ini. Tepat pukul delapan, gerbang pun dibuka. Satu persatu pengunjung memasuki pekarangan musoleum yang berpagar marbel-marbel raksasa.

Beberapa meter di sebelah kanan sebuah bangunan berkubah oval seketika menarik perhatian saya. Dindingnya tersusun oleh bata-bata besar berwarna pualam. Walau di dominasi oleh warna kelabu dan berpagar nisan-nisan tua, bangunan ini tidak sekalipun memancarkan aura kesedihan. Sebaliknya, kompleks ini begitu hidup dengan lantunan musik dari seruling dan tabuhan gendang redup. Menenangkan; mungkin adalah kalimat tepat untuk menggambarkannya.

Jalaluddin Muhammad Rumi

Saya rasa tak perlu mengenalkanmu pada filsuf sufi legendaris ini. Ia mudah kau temui dalam hikayat Persia yang dituliskan dalam kitab-kitab sejarah, dapat pula kau temui dalam lirik-lirik lagu cinta penuh romansa karangan musisi kawakan Indonesia. Ramai orang mengutip sajaknya bagai cendawan di musim hujan, puisi-puisinya begitu menarik dan memesona layaknya cermin yang memantulkan bayanganmu dari segala sisi. Ditangan Rumi kata layaknya rapalan mantra yang menyihirmu untuk mengenal semesta, Tuhan bahkan cinta dengan sama rata.

Saya adalah salah satu pengagum Rumi dan sedari dulu telah bermimpi untuk bertamu dan memberi penghormatan pada pria ini di tempat peristirahatan terakhirnya. Saya mengenal dia melalui puisi tetapi selain Sufisme dan orde Mevlevi yang mengikut ajarannya, saya tahu sedikit sekali tentang hikayat pria itu. Hari ini saya berharap dapat tahu lebih banyak lagi, mencuri sedikit rahasia keindahan dan keajaiban kata yang dirangkainya, serta menghadiahinya dengan bait-bait Al-fatihah.

***

In your light I learn how to love. In your beauty, how to make poems. You dance inside my chest where no-one sees you, but sometimes I do, and that sight becomes this art.”

Kompleks makam ini tidaklah besar, saya selesai mengelilinginya dalam waktu setengah jam. Susunan nisan tua penganut orde Mevlevi berwarna putih bersih memagar bangunan inti serupa masjid di tengah-tengah kompleks. Beberapa bangku taman disusun berbaris di perimeter luar. Kubah-kubah kecil berwarna ungu pudar, menggantung di atas barisan bilik-bilik batu. Bilik batu ini menjadi museum yang menyimpan artefak peninggalan Rumi dan juga benda-benda yang berkaitan dengan praktik sufisme dan kekaisaran Usmani. Satu kubah dari pualam berwarna hijau terang mencuat kokoh dari pinggir bangunan utama, ia layaknya lentera terang di tengah arsitektur makam yang cenderung gelap.

“Pity he didn’t able to finished the seventh volume” Suara wanita menimpali saya yang tengah membaca penjelasan tentang Masnavi; kumpulan kitab peninggalan Rumi.

“Being able to composed thousands of mystical poet into six volumes of book was already an incredible achievement. Especially he did it at the last years of his life.”

For such amazing piece of art, I wonder what is his muse?” ujar saya, mengambangkan pertanyaan.

“Who is his muse instead.” balas wanita itu.

Berbalik, kini saya memandangnya penuh selidik.

Ia mengenalkan dirinya sebagai Sofia, perempuan kulit putih dengan hijab merah muda dan sebuah ransel hitam di pundaknya. Saya tak perlu sungkan memintanya bercerita, dalam sepuluh menit percakapan kami, saya telah mengetahui kisah hidupnya sepuluh tahun terakhir. Ia yang terlahir di California, berpindah ke London dan mulai mengenal Islam melalui sajak-sajak Rumi. Ketertarikannya pada ajaran Sufisme memantapkan niatnya menjadi Muallaf, ia kemudian berganti nama dan menjadi pengikut orde Mevlevi. Hari ini adalah kunjungan keduanya ke Konya, baginya berkunjung ke makam Rumi adalah bentuk perjalanan spiritual.

“It’s a reparation of heart and how we turning it away for else but God” jawabnya ketika saya bertanya tentang tarekat Sufi yang diikutinya.

Kami bersama-sama mengunjungi tiap bilik dan di tiap bilik ia menyelipkan cerita. Ia berkisah tentang jalan panjang yang harus dilalui seseorang untuk menjadi bagian dari Asitanes. Selama 1001 hari menerapkan latihan disiplin diri untuk sebagai persiapan menuju perjalanan spiritual (Seryu Suluk), salah satunya termasuk duduk diam tanpa di tempat yang dinamakan Saka Postu yang terletak di Matbah-i Sherif (dapur) selama tiga hari tanpa memiliki kontak sekalipun dengan entitas lain.

Ia pun menjelaskan kepada saya perihal Semâ dan makna dibalik tarian berputar yang kerap dilakukan para pengikut tarekat ini.

“It’s a mystical journey of man’s spiritual ascent through mind and love to Kemal (The Perfect).” penuh semangat ia menjelaskan.

You should watch Semâ someday but those that authentic, nowadays more Semâ performs as entertainment” sambungnya.

Saya mengangguk mengiyakan.

Di salah satu bilik, kami menemukan seorang pria dengan jubah hitam panjang dan sorban tinggi dari bulu domba tengah duduk bersila sembari membaca kitab yang terbuka di hadapannya. Disekelilingnya alunan seruling nay mendayu pelan.

“He’s reciting the poet in Masnavi right?”

Sofia mengangguk.

Lantunan puisi Persia itu begitu menenangkan, saya tak perlu mengerti satu pun kata untuk dapat mendengar dan meresapi.

***

Why should I seek? I am the same as He.

His essence speaks through me.

I have been looking for myself!

Kami beranjak ke bangunan utama. Untuk menghormati kesucian tempat itu, kami harus membungkus sepatu yang kami kenakan dengan alas plastik berwarna biru. Sebuah pintu kayu besar berukir aksara Alquran terbuka lebar, beberapa langkah ke dalam pandangan saya berserobok dengan kumpulan nisan-nisan murid Rumi dengan nama dan tahun yang terpahat disana.

Tak jauh dari sana, ramai orang tampak menyemut di sudut ruangan, tangan mereka mendekap di depan dada, sayup-sayup saya mendengar gumaman doa. Sebuah makam diletakkan lebih tinggi, berbalut beledu berhias kaligrafi berwarna kelabu, sebuah sorban diletakkan diatasnya.

“That’s Mevlana tomb” Sofia membisiki saya.

Selama beberapa menit saya berdiri dihadapan makam sang sufi legendaris ini, mengirimkannya beberapa bait kalimat suci dan doa, sebagai tanda terima kasih terhadap cinta yang dihadirkannya dalam bait-bait kata.

“So its all started with broken heart!” Ujar saya kala kami duduk di bangku taman setelah puas berkeliling.

Tawa Sofia seketika menggema kala mendengarnya.

Indeed Rumi started his aestetic journey after the lost of his beloved teacher and friend Shams Tabrizi. Some history written that he was killed by a Rumi disciples who were jelous of the close relation between their teacher with Shams”

“The power of lost somehow as big as the power of being” Sofia menyimpulkan.

Ceritanya tentang siapa yang menjadi inspirasi dan memantik roman Rumi masih terngiang-ngiang di benak saya. Rumi berbicara tentang penantian dan cinta dengan begitu universal, tanpa saya sadari ada sejumput patah hati, kehilangan dan pencarian disana. Rupanya sang sufi legendaris pun tak lepas dari rasa gamang.

Tapi ini tak melulu soal cinta yang dimaterialisasi, cinta yang diramu dalam kata ataupun romansa manusia. Rumi berbicara lebih jauh tentang cinta Ilahi dan untuk yang satu itu saya sangat setuju.

What makes our love divine is not what we love, but the way we love what we love…

7 thoughts on “Kepada Rumi, Saya Patah Hati

  1. Membaca tulisan’ lo selalu menyenangkan H. Sebuah catatan perjalanan yang disajikan dengan kata’ penuh makna dan membuka wawasan baru. Kalo next time ke KL lagi kita lanjut’ ngobrolnya ya. Hehe

    Like

Leave a comment