Satu Sore di Lhokseumawe

The story teller

Lhokseumawe – Indonesia, 10 Agustus 2015 [03:06pm]

Seperti yang dikisahkannya pada saya…

Hidupnya tidak jauh dari periuk, sumur dan sepetak warung. Saat muda dulu, sekali-kali ia menghias mata dengan celak hitam tapi itu saat suaminya belum purna. Lama-lama sekali, ia membeli sarung baru di pasar Minggu kota Lhokseukon dan dikenakannya saat hari raya tiba. Walau tinggal tak jauh, saat muda dulu tempat ini urung dikunjunginya. “Tak pantas” katanya.

Anaknya dua, satu wanita ikut suaminya hijrah ke Pidie sejak tahun 2002 dan satunya lagi pria yang terhanyut dalam romansa maskulinitas Aceh di akhir 90an. Saat konflik usai, alih-alih pulang, ia memilih merantau ke Balikpapan. Satu salam saat Lebaran tahun 2005 menjadi perjumpaan terakhir si Mamak dan Buyungnya.

Dua kali kami bertemu.

Pertama kali, kala saya singgah membeli sebotol air minum seharga lima ribu. Ia mempersilahkan saya mengambil satu dari dua belas biji botol air 500 ml yang berjejer rapi di papan kayu warung kecilnya.

“Hati-hati turun ke bawah” ujarnya. Tapi saya mengacuhkan.

Tak sempat memandang dua kali pada kemeja biru berhias kembang hijau yang merekah dari selipan punggungnya.

***

“Jaraknya dua puluh satu kilometer, tak perlu sejam sudah sampai. Bisalah kutunjukkan dulu pabrik-pabrik di pesisir pantai.“ Supir saya Damdani berkata.

Saya sendiri tak paham, keajaiban apa yang tersembunyi di balik pagar-pagar besi pabrik raksasa kota ini, hingga Damdani senantiasa mendongengkannya. Sejak kali pertama kami bertemu di lapangan terbang Malikul Saleh, ia tak urung kelar bercerita tentang kedigdayaan PT. Arun, PT. Pupuk Iskandar Muda, hingga pabrik kertas yang saya pun tak sempat ingat namanya.

Seperti yang dikisahkannya pada saya, saat pabrik gas alam cair berjaya, Aceh Utara berdiri gegap gempita. Kilang-kilang gas dan pipa-pipa bercorong lebar menjadi penembang lagu-lagu hidup di Lhokseumawe. Para pemuda angkatan kerja, tak henti-hentinya mengais rejeki dari emas cair ini.

“Dulu sering kali orang Jakarta kesini. Sering juga orang asing. Kerja saya, mengantar mereka keliling pabrik. Dulu tak hanya satu, disini ada lebih sepuluh!” Damdani bernostalgia, telunjuknya menembak menara tinggi yang menyemburkan api dari seberang bentangan sawah kering.

Kini semburan api itu kian meredup seiring dengan semakin sedikitnya kapal-kapal pengangkut gas alam cair yang berlabuh di Aceh Utara. Cadangan gas alam tiba pada titik nadir, menggerus masa-masa emas daerah ini.

Melipat kenangan manis masa mudanya, Damdani membanting setir dan berbelok ke utara. Hektar demi hektar kebun kelapa sawit kami belah, satu dua kali berhenti di persimpangan untuk mempersilahkan saya memotret lintang-lintang diagonal pohon Sawit yang seakan ditanam dengan penggaris besi. Saya tak dapat lagi menghitung berapa jumlah masjid, surau ataupun mushalla yang kami lewati. Ia tak ubahnya si kembar dempet Alfamart dan Indomaret, yang bertebaran di hampir semua jalan-jalan proklamator kota besar.

***

Saya tunggu saja di mobil, lutut saya sudah tidak kuat untuk turun.” Ujar Damdani sembari merapatkan mobil dibawah bentangan ruas-ruas cabang pohon Akasia.

Ia berkata ada 620 anak tangga yang harus dipijak untuk mencapai dasar air terjun. Saya sangsi akan angka pasti itu, tapi juga tak tertarik sama sekali untuk menghitungnya.

Berbekal sebotol air minum, saya memulai perjalanan menuju Air Terjun Blang Kolam. Rimbun pohon merindang kedua sisinya, dari anak tangga pertama saya dapat memandang punuk-punuk gunung yang memagar daerah ini bermahkota khalifah-khalifah awan landai. Satu baris dibordir pohon sawit, sebaris lainnya dipagari pohon tinggi nan lebat, di tengahnya tampak garis-garis putih jeram sungai terlukis acak.

“Hati-hati turunnya dok! Akhir-akhir ini sering hujan, lantai hutan sering tertutup lumut tebal.” Saya menoleh ke belakang.

“Lahh katanya tak mau ikut turun bang?!” Timpal saya

“Khawatir saya kalau dokter turun sendiri, tempat ini sudah lama tidak dikunjungi. Takutnya ada apa-apa”

Sebelumnya ia bercerita kalau objek wisata ini sempat lesu dan ditinggal pengunjungnya. Niat pemerintah mengembangkannya konon terhambat aturan syariah. Alasannya karena ditengarai banyak pemuda-pemudi yang menelisik hutan Blang Kolam untuk sembunyi-sembunyi bercumbu. ALAMAK!

Khusus pasangan dilarang masuk hutan!

Suara deru air jatuh samar terdengar dari persimpangan –yang menurut bang Damdani adalah anak tangga ke 550– saat menyibak pandang ke rimbun perdu, saya dapat melihat di bawah sana tampak mini ramai orang memagar kolam berwarna hijau kelabu.

“Saya duluan ya bang!” Ujar saya sambil lalu, meninggalkan Damdani yang tengah asyik mengibas-ngibas ujung kerah kemejanya.

***

Dari dua muara di puncak Blang Kolam air tumpah ke segala penjuru, ia mengibas tiap ulir batu yang dilewatinya. Dari kolam besar berpagar hutan, aliran air mengular dan membentuk hulu sungai. Satu keluarga dengan empat anak tampak ceria merendam kepala mereka di jeram sungai yang jinak. Beberapa pemuda-pemudi lebih berani memanjat batu disamping air terjun, berswafoto kemudian melontarkan diri mereka ke bawah. Tumbukan tubuh dan permukaan kolam untuk sekejap menciptakan pelangi pancawarna.

Air Terjun Blang Adoh

Tak banyak orang sore ini sehingga jarak pun tercipta jarang-jarang. Membuat tiap-tiap dari pengunjung dapat menikmati Blang Kolam dalam ruang pribadi. Ada baiknya juga tempat ini sempat ditutup, memberi jeda dan waktu untuk ekosistem Blang Kolam pulih dari serbuan kunjungan manusia. Saya pun berharap sama bagi banyak tempat indah di Indonesia yang kini sebatas nama dan foto-foto indah yang menghias dunia maya.

Meninggalkan Blang Kolam dan kembali ke gerbang masuknya adalah perihal yang berbeda. Waktu tempuhnya berlipat dua dan sebotol air minum tak cukup membasuh kerongkongan dan mengusap peluh yang deras mengalir. Beruntung di ujung anak tangga, sebuah warung kecil yang dijaga wanita paruh baya telah menanti.

Dan itu adalah pertemuan kedua kami…

Botol air minum di lapaknya kini tinggal setengah, ia menyodorkan saya sebotol sembari menawarkan sebungkus kacang goreng. Saya bertanya sudah berapa lama ia berjualan disini, ia bercerita tentang anaknya yang pergi. Saya bertanya tentang kandang-kandang kosong yang telah berkarat dan ditumbuhi perdu liar di depan lapaknya, ia bercerita tentang tahun-tahun dimana ia melihat tempat ini hidup, redup kemudian mati. Saya bertanya berapa umurnya, ia bercerita tentang masa dimana koin lima ratus perak dapat kau tukarkan dengan sebotol air. Ia dan tempat ini laksana menua bersama!

Begitu seterusnya kami saling berbagi kenangan hingga sore menggantung.

Beberapa orang hidup dan menjadi kapsul waktu, membagi cerita yang tak pernah di dengar oleh generasi sesudahnya. Mereka melisankan cerita dan memastikannya terekam dalam kenangan pendengarnya. Layaknya sejarah yang terekam saat manusia belum mengenal aksara. Dan mungkin ada benarnya juga bahwa kenangan menjadikan seseorang kaya tapi tak pernah memberatkan, menjadikan seseorang dermawan tanpa pernah berkesusahan. Ia adalah harta yang senantiasa menggenapkan. 

Maka berbagilah kenangan dan kau tak akan pernah kekurangan.

***

8 thoughts on “Satu Sore di Lhokseumawe

  1. “Kenangan menjadikan seseorang kaya tapi tak pernah memberatkan, menjadikan seseorang dermawan tanpa pernah berkesusahan. Ia adalah harta yang senantiasa menggenapkan. Maka berbagilah kenangan dan kau tak akan pernah kekurangan.”
    kalimat penutup ini pas banget. Ngena, Indah

    Like