Satu Cerita dalam Ratusan Langkah 

Pernah empat kali dalam hidup saya menandai batas kemampuan fisik dan mental saya dengan pencapaian yang tidak pernah saya duga sebelumnya…

***

Yang pertama di tahun 2004, kala itu usia saya 19 tahun, dengan tubuh ceking dan fisik pas-pasan saya ditugaskan sebagai tim medis di sebuah Lomba Cross Country Wisata. Semua rencana menjadi bencana tatkala saya dan seorang adik kelas terpisah dari rombongan utama, membuat kami harus menjelajah rimba dan melintas dua lembah dalam dua malam, tanpa tenda, peta dan penerang. Tak ada api untuk mengubah berliter-liter beras di pundak saya menjadi nasi, serta tak ada jubah tenda untuk membangun kerangka-kerangka besi di tas saya menjadi tempat berteduh kala hujan deras di malam pertama, kami tidur beralaskan tanah dan berselimut satu ponco.

Dua hari kami bertahan dengan air hujan dan segumpal gula merah yang kami jilati kala perut keroncongan atau kepala mulai pening akibat kekurangan energi. Kesialan bertambah saat sepatu adik kelas saya rusak, kami yang berusaha memburu jejak matahari harus melambat mengikuti ritmenya. Saya pun memutuskan untuk memberikan sepatu saya padanya dan berjalan dengan satu kaos kaki bolong melintas hutan, gunung, menyisir lembah dan menepis semut-semut merah dan lintah yang tak henti-hentinya bergantungan di sela-sela kaki dan betis saya.

Beruntung di malam kedua kami bertemu dengan rombongan utama dan berhasil pulang dengan selamat. Sejak itu saya belajar; Agar jangan pernah mendaki gunung tanpa kaos kaki cadangan dan senantiasa menyelipkan gula merah dan doa di sela-sela langkah.

Yang kedua di tahun 2013. Kala itu saya dan dua orang teman bersepeda melintas desa Tikongko menuju kota Bo di Sierra Leone. 50 kilometer seakan meregang saat matahari di atas kami menguapkan tiap jengkal keringat. Suhu siang itu mencapai 40 derajat dan Ramadhan tak membuat hari menjadi lebih mudah.

Kerongkongan saya kering kerontang tapi saya berusaha sekuat tenaga untuk menepis rasa haus jauh-jauh. Sial lagi-lagi menghampiri dan salah satu rekan saya tak lagi kuat mengayuh pedal, menyisakan saya dan seorang wanita yang harus menggotong sepeda dan menopangnya hingga temaram lampu kota terlihat di kejauhan.

Sejak saat itu, tak lagi-lagi saya menerima ajakan bersepeda!

Yang ketiga kala usia saya 22 tahun. Di ICU salah satu rumah sakit, ayah saya menghembuskan napas terakhirnya. Setelah berbulan-bulan berjuang melawan Leukimia akhirnya di satu siang perjalanan beliau pun purna. Waktu seakan berhenti kala monitor di sisi kirinya tak lagi menandakan ia ada. Saya masih membisikinya lantunan ayat suci, genggamannya pun masih hangat terasa. Isak tangis Ibu dan adik-adik saya membuncah seketika, tak lama berselang tubuh kaku beliau telah basah oleh tangis hangat kerabat dan saudara.

Tapi ada sesuatu yang membuat saya tak meneteskan air mata, sesuatu yang tak saya ketahui mengapa. Saya memeluk keluarga saya yang kini tak lagi sempurna, menimang adinda saya yang terkecil dan tak urung menangisi kepergian ayah saya.

Beberapa minggu berselang setelah pemakamannya dan saya tengah merapikan jejelan baju yang menggunung, saya terantuk pada potongan tiket bioskop terakhir yang saya dan ayah saya kunjungi, beberapa hari sebelum ia pergi. Saya memandangnya lekat-lekat dan tanpa saya sadari air mata saya pun jatuh pelan-pelan.

Saya menangis. Terisak sendiri menyadari besarnya tanggung jawab yang kini saya emban, menyadari tak ada lagi ayah yang menjadi pelarian segala remeh temeh masalah hidup, enam kepala yang kini akan mendongak kepada saya saat dirudung masalah dan masa depan yang mau tak mau harus saya tantang sendiri. Sejak saat itu saya menutup lembaran hidup sebagai pemuda dan melangkah menjadi lelaki dewasa serta kepala keluarga.

Yang keempat?

Saya akan menceritakan sedikit lebih panjang tentang itu…

***

Huaraz – Peru, 2 November 2015 [05:22pm]

Menurut hemat saya, pecinta alam sejatinya adalah kelompok orang yang religius.

Mereka layaknya para biksu di puncak Himalaya atau pendeta di kuil api Zoroastrian yang senantiasa teduh memegang kasih terhadap sesuatu yang mereka yakini dan berjalan sepi dalam kepercayaannya pada cinta hakiki.

Alam layaknya api tak akan pernah membalas cinta dalam wujud nyata, tapi ada sesuatu tentang alam yang membuat kita ingin kembali, dan kembali lagi…

Seperti pagi itu, kala saya bertemu kembali dengan lima belas orang pendaki lainnya di satu kafe kecil yang berpagar kaki pegunungan Cordilella Blanca. Ujung-ujung putih puncak gunung Pisco masih berselimut kabut tebal dan anjing-anjing gembala masih menyurukkan moncong hidungnya di balik tumpukan karung goni.

Saya menyeruput secangkir mate de coca sembari mendengarkan penjelasan Viviana, guide kami.

“We’ll start the trekking in 3100 metres. The total lenght is 18 kilometres and we will stop for quick breakfast in Cobellopampa and lunch at Laguna 69.” Asap putih mengepul dari bibirnya yang mungil tatkala ia menjelaskan.

“I hope none of you forget to bring a lunch box and plenty of water” Ia menautkan kancing putih di leher kemejanya. Gadis peranakan Peru –Jepang ini tampak cantik kala ia serius. “Unless you’ve been trekking in high altitude before, I suggest you to bring coca leaves or coca candy” lanjutnya.

Saya berespon dengan menyeruput teh koka ditangan saya cepat-cepat.

Satu jam kemudian dengan langkah lebar saya menyusuri pinggiran lembah Cobellopampa. Mulut saya tak henti-hentinya berdecak kagum akan keindahan lansekap pegunungan ini. Barisan pegunungan Cordilella Blanca dengan puncaknya yang tertutup selimut salju putih tebal tampak kontras berdampingan dengan Cordilella Negra yang hitam legam berjubahkan awan-awan rendah. Sapi-sapi tampak tenang merumput di rimbunan semak belukar kuning kehijauan dan acuh mendengar celotehan dan derap kaki manusia yang berpapasan dengannya.

Kami berjalan di sisi kiri menyusuri aliran sungai yang mengular dari hulu air terjun yang tampak di kejauhan.

 


“So the end point is the based of Nevado Pisco, it’s like we will crossing layer by layer of this mountain!” ujar perempuan di depan saya yang seketika membuyarkan hitungan saya akan ujung-ujung gunung.

“Yes, I believe so.” Balas saya pendek.

“I wonder if the lake colour is really turqoise?” lanjutnya.

“But well we’re about to see it soon” tanpa jeda, ia menjawab pertanyaannya sendiri.

Satu setengah jam berselang, tanah jalur yang kami tapaki berubah, dari yang sebelumnya berselimut rumput rendah menjadi hamparan kerikil hitam. Tiap langkah diikuti dengan kepala yang mendongak keatas. Jalur yang kami lalui mulai menanjak ke atas. Ia mengular dan berkelok setiap beberapa meter.

Setelah 30 menit berjalan dan melewati satu dari berpuluh-puluh tanjakan, saya berhenti sejenak. Pandangan saya mengitari sekeliling, meresapi salah satu pemandangan terindah yang pernah saya saksikan!

  

Sejauh mata memandang, baris-baris gunung seakan tak berujung, melingkari lembah di bawahnya yang menjadi titik awal saya. Sebuah air terjun menjadi ekor dari puncak gunung es, berkelok turun dan mencoraki dinding hitam dengan sapuan air jernih, ia terus melenggang hingga ke telapak kaki gunung kemudian bermetamorfosis menjadi sungai yang berkelok binal membelah daratan hijau.

Di tiap lekukannya, hidup menyeruak!

 

Pohon yang berkulit rapuh layaknya kertas, mengakar dalam-dalam. Rimbunan semak berbunga ungu tumbuh satu persatu, batu layaknya tanah gembur yang melahirkan kehidupan. Tak ada suara selain angin yang berbisik di sela-sela gunung dan tiap lembar daun yang bergoyang.

Disini semesta menjentikkan jarinya dan mengelus bumi dengan sangat ramah. Saya merinding dibuatnya!

Alam membuat saya dan segenap entitas lainnya menjadi kerdil, layaknya bulir batu yang jatuh dan pasrah terhempas. Segalanya di tempat ini telah tersusun sempurna. Segalanya selain saya, orang asing yang datang untuk menaklukkan titik-titik tertinggi?

“Tidak, tak ada yang saya taklukkan selain ego saya sendiri.” Ujar saya dalam hati

***

Dua jam berselang dan rombongan kami pun tiba di sebuah dataran landai.

“Let’s take a small break before we continue” Viviana memberi instruksi.

“I though this will be the location but it seems we’ll have to go further”. Seorang pria tambun berambut keemasan menyeletuk.

“Not at all, we can’t even see the base of Pisco from here. I guess we still need to climb higher” balas seorang wanita yang duduk di belakang saya.

Saya memandang pasrah ke hamparan dinding hitam bentukan alam yang memagar tinggi jauh di depan sana.

  

 

Saat akhirnya kami kembali berjalan, lamat-lamat bayangan kami mulai memendek dan beralih ke depan, matahari telah menggantung tinggi tepat di atas ubun-ubun kami.

Saya mulai merasa ada yang berbeda. Langkah saya memendek dan rombongan kami mulai terserak berjauhan dan melambat.

Walau jalan yang kami lalui masih landai, langkah saya menjadi gontai layaknya ada sebongkah batu yang di jejalkan ke sela-sela jari kaki saya. Saya mengamati yang lain dan sepertinya sebagian besar mengalami masalah yang sama.

Empat puluh menit kemudian, saya menemukan diri saya berjalan sendiri. Rekan saya yang lain terserak jauh di depan ataupun di belakang. Sebuah tanjakan tinggi terpampang beberapa ratus meter di depan, begitu semampai hingga ujungnya lesap dibalik jepitan bibir gunung. Dari kejauhan saya dapat melihat beberapa rekan saya tengah berdiri mematung di kakinya, begitu kerdil layakya setitik noktah.

Penuh semangat saya mulai menapak tanjakan yang saya percayai sebagai tanjakan terakhir menuju Laguna 69. Tapi alangkah terkejutnya saya, setelah beberapa langkah dada saya tiba-tiba dipenuhi rasa sesak. Mulut saya memegap mencoba menghirup sebanyak mungkin udara, tapi semakin saya bernapas semakin pengap rasanya.

SIAL! Lamban saya menyadari bahwa sedari tadi saya tengah diserang altitude sickness.

Tanjakan itu berubah menjadi neraka.

Kaki saya tak dapat melampaui hitungan sepuluh langkah sebelum rasa sesak yang hebat lagi-lagi melanda.

Seluruh sel di tubuh saya haus akan udara!

Mendongak, menghapus peluh, ataupun menggerakkan sendi menjadi begitu menyiksa, seakan tiap gerakan selain melangkah menyebabkan rasa sesak datang lebih awal dari perhitungan saya.

Semakin tinggi ke atas, ia menjadi lebih berat.

Setengah pendakian, pandangan saya tiba-tiba menjadi gelap. Dada saya mengembang selebar-lebarnya dan napas saya memburu dengan sangat cepat. Sekejap saya tahu, sebentar lagi saya akan kehilangan kesadaran.

Sendiri di tengah pendakian dengan kesadaran yang sebentar lagi hilang, saya panik, saya tak memiliki sedikit pun tenaga bahkan untuk berteriak meminta tolong!

SIAL! SIAL!

Saya berusaha menenangkan diri, menghempaskan diri saya secepatnya ke sisi tanjakan yang datar. “Setidaknya apabila saya pingsan, saya tak ingin sial dan jatuh ke jurang” pikir saya pendek.

Buru-buru saya meninggikan kaki untuk memastikan suplai darah dan oksigen yang lebih banyak ke organ vital saya.

Saya pun mulai berdoa…

Berdoa dan berusaha mengatur pernapasan saya.

Berdoa agar seorang rekan saya atau Viviana menemukan saya disini. Saya yakin mereka tak jauh dan yang saya butuhkan hanya beberapa menit. Ya beberapa menit untuk tetap sadar dan bernapas.

Semenit berlalu.

Tiga menit berlalu…

Sepuluh menit berlalu…

Detak jantung saya yang berderap, pelan-pelan mulai melambat. Saya kembali memiliki kesadaran penuh akan pernapasan dan diri saya.

Pelan-pelan saya kembali duduk dan mencoba merogoh saku tas untuk mengambil air dan bungkusan daun koka kering. Remahan daun cokelat kekuningan itu buru-buru saya masukkan ke mulut dan kunyah perlahan. Rasa pahit yang pekat seketika menampar papila-papila lidah saya.

Sejak ratusan tahun yang lalu, penduduk Andes telah menjadikan tanaman ini sebagai penakar altitude sickness. Peru, Bolivia, Columbia dan beberapa negara Amerika Selatan lainnya melegalkan tanaman yang menjadi bahan dasar narkotika Kokain untuk di konsumsi sebagai stimulan ringan.

Efeknya pun pelan-pelan mulai saya rasakan. Napas saya menjadi teratur, saya mampu berfikir jernih dan rasa pusing yang sedari tadi menggantung pun perlahan memudar. Saya mendongak ke atas, puncak tanjakan yang lesap di kaki puncak Pisco yang tertutup salju abadi tampak tengah mencemooh saya yang baru saja hampir hilang kesadaran. Seketika saya ingin menyerah…

Saya tak mencintai alam, saya lebih mirip pembenci alam. Alam yang baru saja hampir merenggut nyawa saya..

Di tengah-tengah penanjakan saya berdiri mematung.

Tempat ini begitu sunyi, tak bersuara tapi begitu berwarna, begitu hidup, begitu megah. Saya membenci betapa alam begitu menggoda, layaknya wanita bertubuh sintal yang senantiasa mencuri pandanganmu, membuatmu lemah, untuk kemudian bertekuk di kakinya demi secuil senyuman dan kerlingan mata.

Dinding-dinding gunung ini seakan cermin yang memantulkan tekad saya, ia dengan mudah dapat saya punggungi sekarang untuk berlalu pulang tanpa mencapai garis tujuan saya. Tapi saya tahu, telinga saya tak siap mendengar ejekan mereka pada pria yang tak berhasil mengakadkan niatnya.

Saat itu, perjalanan saya bukan lagi untuk mencapai Laguna 69. Bukan lagi setengah penanjakan dan satu tikungan atau perkara 15092 kaki di atas permukaan laut.

Ini tentang tekad dan determinasi, tentang saya yang mencoba mencapai tujuan serta saya yang tengah belajar pada alam yang bijak batas-batas dalam diri saya yang ia tunjukkan dan saya sendiri berusaha untuk gapai!

***

Ratusan langkah dan empat puluh dua menit kemudian.

Air yang tenang, angin berbisik dan retakan es yang menggaung di kejauhan serta satu syukur yang terucap. Maha besar Tuhan akan semesta ciptaannya.

Saya menghaturkan segenap kekaguman.

  

18 thoughts on “Satu Cerita dalam Ratusan Langkah 

  1. Biasanya saya cuma jadi silent reader, selalu kehilangan kata-kata setelah membaca tulisanmu kak!!! Tapi, kali ini saya ingin meninggalkan jejak. What a really nice story. Thanks for sharing this. Keep writing, please…

    Liked by 1 person

  2. kerennn mas, tulisanmu selalu berhasil bikin jantung berdebar dan memaksa imaji untuk ikut ke dalam petualangannya

    Like

Leave a comment