Tentang Pasir dan Kupu-Kupu di Tengkuknya

Photo 10-28-15, 15 59 15.jpg

WHUZZZ!

Huachachina Sand Dunes – Peru, 28 Oktober 2015 [03:15 PM]

Gravitasi seakan terjungkal dan menarik segenap organ dalam rongga dada saya ke angkasa. Tubuh saya babak belur terhantam angin yang datang bagai peluru, mengiris tiap jengkal kulit dan menyisakan nyeri yang menggantung. Teriakan saya terbenam oleh raungan mesin mobil yang seakan menertawai penumpangnya. Dua puluh menit yang panjang dan tetes-tetes keringat yang berdesis sebelum menguap hilang kala ia menyentuh kerangka baja dune buggy yang kami kendarai.

Lima orang penumpang –dengan lutut masih gemetaran dan pegangan yang goyah- melompat keluar sedetik setelah mesin motor dimatikan. Mereka tak seharusnya menghabiskan seporsi besar lomo saltado siang tadi, kini gravitasi seakan menagih kerakusan mereka dan meminta irisan daging gurih dengan aroma bawang dan merica yang pekat itu untuk dikeluarkan dari perut mereka.

Tapi Honney tampaknya tidak terpengaruh sama sekali, matanya liar memandang puncak demi puncak bukit pasir yang seakan tak bertepi. Ia merayakan tiap partikel pasir yang menyusup di rambutnya dan radiasi matahari yang memanggang kulitnya sama rata dengan gurun yang kami jejaki.

“Husni stop raving and hurry up! We don’t have a lot of time, Angelito only agree to stop for 30 minutes in extremo sur. We have to keep moving”.

Photo 10-28-15, 15 17 00.jpg

Processed with VSCOcam with a5 preset
Angelito team member minus Rodriguez

“You should open your shoes and let your soles touch the mother earth, the grain feels like remedy” Ujarnya sembari melepas kedua sepatunya. Kaki-kaki mungil telanjang berdesis tatkala bergesekan dengan butiran pasir cokelat keemasan.

Honney tersenyum. Entah kepada siapa. Dan saya menjadi seorang teman bisu yang baik dan hanya menggerakkan moncong kamera untuk mengabadikan tiap geraknya. Matahari tepat di atas kepala kami dan hawa kering Amerika Selatan seakan mengantarkan kami sejengkal mendekati Merkurius.

“Don’t forget to take a picture of my tattoo!” Ujarnya.

Perempuan ini mengimani tato kupu-kupu berhias nama seorang gadis yang terajah di tengkuknya. Ia percaya bahwa tato itu adalah portal waktu yang membuat jarak antara dia dan buah hatinya menjadi kerdil sehingga tiap negeri yang ia datangi, waktu yang berputar dan rotasi bumi adalah tentang dia dan Yuan; Putri semata wayangnya.

Photo 10-28-15, 15 19 05

Photo 10-28-15, 15 15 31
El Angelito loca!

***

Angelito mengendarai dune buggy layaknya seorang matador yang mengajak bantengnya berdansa. Ia membuat kendaraan serupa tikus ini meliuk, menyeruduk dan berputar di selimut debu. Sumpah serapah terlontar dari jok penumpang tiap kali ia membiarkan dune buggy bertengger di tepi lembah selama beberapa detik demi meresapi wajah-wajah histeria kami sebelum menginjak pedal gas dalam-dalam dan menerjunkan kendaraan itu dengan kecepatan angin. Detik berikut kami layaknya mengendarai roller coaster tanpa jalur yang mengobok-obok rongga perut, menghilangkan orientasi arah dan lintang serta merasakan sensasi zero gravity tatkala dune buggy melayang di udara sebelum moncongnya menyentuh bantalan pasir di dasar lembah.

Kesemua itu dan kalikanlah sepuluh!

Barangkali tawa lepas yang terserak dari wajah-wajah bertopeng debu tatkala mesin motor kembali dimatikan yang membuat Angelito percaya ia belum menyentuh kuil paranoia kami. Di tiap lap, ia membawa kami semakin tinggi ke atas sebelum sedetik kemudian menerjunkan kami ke lembah yang lebih dalam. Layaknya pemain sirkus profesional, ia memainkan satu siklus akrobatik menantang maut dan tanpa sadar membuat kami ketagihan meletakkan batas napas di genggaman kemudinya.

“OK Chicos, we’re done playing! Now it’s the real deal” Ujar Angelito sembari mengeluarkan sebuah papan seluncur putih dari kontainer dune buggy. Sejurus kemudian ia menjelaskan cara “berselancar bagi pemula”. Sesuatu yang tampak kontradiktif, mengingat ia meletakkan para “pemula” ini di bibir lembah Pico Norte yang menjulang tinggi dan mengerdilkan pucuk-pucuk lembah lain di Huacachina.

Honney membaringkan papannya dan membiarkan kakinya menggantung bebas di bibir lembah. “I don’t think I can do this Husni, it’s too high and steep”

“You don’t have to do this if you don’t feel comfortable doing it” jawab saya.

“But I’m going to miss the thrill…” Bisiknya.

“Yes, you’re going to miss the thrill…”

Ia menoleh dan tersenyum.

Saya telah mengetuk pintu egonya.

Processed with VSCOcam with a6 preset
Before the sand boarding starts

Jika ada yang memberitahumu bahwa manusia dapat melintas secepat peluru, maka percayalah!

Karena diatas papan selancar, semua itu menjadi mungkin.

Kami laksana pengendara angin yang mencium bumi dengan congkaknya, lembah yang tampak curam kini tak lebih dari seluncuran panjang yang kau temui di taman kanak-kanak kompleks sebelah. Kami menyisir puncak bukit demi bukit dengan rapi untuk sekejap bertengger di bibir lembah sebelum menggelincirkan diri di lerengnya, kesemuanya demi 20 detik pengalaman harfiah sebagai penakluk rasa takut.

Photo 10-28-15, 07 30 08.jpg

Photo 10-28-15, 07 46 10 (1).jpg

Photo 10-28-15, 08 45 41.jpg
Pengendara pasir memburu senja.

***

Matahari telah bergulir ke garis batas horizon tatkala kami menyudahi berselancar pasir. Cahayanya seakan mencair dan menutupi punuk-punuk bukit dengan warna kuning yang menyilaukan. Lima tubuh terhempas diatas tumpukan pasir yang masih menghangat, disaat yang sama angin semilir bergulung lemah membuat saya dapat mengecap pasir yang terperangkap di ujung bibir.

“I should bring my daughter to this place one day, preferably before I grow too old. You know, so I can still enjoy the sand boarding” Honney terbahak lepas.

“It’s better when you traveling with someone you love.” Dalam suara rendah yang diperuntukkan untuk telinga sendiri, ia bergumam.

“So you’re trying to say that you don’t enjoy traveling with me?” Saya mendelik, melemparkannya pertanyaan ketus.

No es que se chicho haha. You know what I mean!” Ia terkekeh sembari melayangkan tinju ke lengan kiri saya, membuat saya pun turut tertawa.

Photo 2-27-16, 09 46 53

Photo 10-28-15, 07 52 40
Senja di gurun pasir Huachachina.

***

Saya dan Honney memikul tanggung jawab yang membuat batas seakan melebur dan sudut-sudut bumi menjadi tempat yang begitu dekat, tempat kami hidup, mengabdi dan melewatkan purnama demi purnama. Selain kematian, berpindah adalah satu-satunya hal yang pasti, hal yang membuat kami terkadang tersesat dalam kusutnya ruang dan waktu yang saling terpilin.

Bagi Honney, putrinya adalah kompas yang selalu menuntunnya untuk kembali, satu koordinat suci yang terajah dalam lobus otaknya, satu pintu yang ia tahu akan selalu terbuka untuknya pulang dan menyapa rumah. Dan selayaknya dia, saya pun mengimani bahwa tiap-tiap dari kita yang merantau senantiasa berharap akan hal yang sama.

Karena tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding jiwa yang terperangkap dalam lingkar bumi tanpa pelita yang menuntunnya kembali ke titik mula.

***

11 thoughts on “Tentang Pasir dan Kupu-Kupu di Tengkuknya

  1. Selalu suka dengan cara kak husni bertutur. Membawa saya ikut merasakan terombang ambing digurun pasir.
    Fotonya bagus, pasti view aslinya bagus pake banget.
    Jd pengen.

    Liked by 1 person

    1. Gurun pasir di Huacachina aslinya udah cantik banget, sepertinya saya sedang beruntung datang kesana saat matahari tengah bersahabat 😄.

      Anyway, thank you for visiting 🙂

      Like

Leave a comment