Untuknya, Kekasih di Lain Waktu

Photo 3-12-16, 18 05 25

Saya pernah jatuh cinta kepada sepasang bola mata hitam dan rambutnya yang kelam, serta pada sebaris senyum hangat di wajahnya yang menenangkan. Di sudut matanya saya menyimpan rindu, saat dia memanggil nama saya ataupun tiap kali jari-jemari kami bertaut membelenggu, saat dia menyapa melalui barisan aksara ataupun saat kami bertukar sapa melalui suara.

Saya pernah jatuh cinta, saya senantiasa jatuh cinta….

***

Saya tak akan lupa saat pertama kali kami bersua pada suatu senja di lantai tiga. Tawanya renyah terdengar dari kotak-kotak pengeras suara, mendiamkan saya yang tengah berbincang seru. Kemudian menarik saya ke semestanya, berpusar dalam kekaguman.

Saya sudah lupa tentang jejak-jejak sejarah hingga akhirnya kami bersama sebagai sepasang kekasih, teman, rekan, saudara atau apapun mereka menyebutnya. Kami tak pernah memberi tagar atas apa yang kami jalani. Kami membiarkan pengalaman menyimpulkan perasaan.

Di setiap jalur yang saya lalui, saya senantiasa menemukan bait-bait doanya. Salam dan harapannya menjadi kidung penyerta langkah. Saya pun menggantung kenangan tentangnya di ujung-ujung tali sepatu, untuk menemani tiap langkah ke sudut bumi manapun yang saya tempuh.

Pekerjaan memisahkan kami, hidup kami berselang satu malam. Jarak menjadi pembunuh asa, merentangkan kami begitu jauhnya. Saya berusaha tidak menghitung ada berapa juta langkah yang harus saya tempuh untuk pulang dan menemuinya saat rasa rindu yang mendera melanda.

Tapi lebih dari itu, tak ada yang mengalahkan waktu yang seketika menjadi musuh….

Saat matahari menyapa saya pada pagi hari, malam masih memeluknya erat-erat di belahan bumi yang berseberangan. Waktu seakan menjadi ibu tiri yang memasung kami dalam keterbatasan, membangun kerangkeng yang memisahkan keintiman dan realitas.

Tak mudah menempuh hubungan yang hidup di ruang virtual. Menjadikan pertemuan sejatinya hanyalah kata kerja kiasan. Tak ada lagi kencan pada malam Minggu, menonton film pada hari Rabu atapun makan malam saat musim gajian tiba. Pesan yang saya kirim pun seringnya tersangkut di jaring-jaring digital dan berakhir dengan terbuang tanpa sempat terbaca. Membuat saya seringnya alpa dari keseharian dan hidupnya.

Kami bersama dalam ruang yang berbeda, terpisah layar kaca komputer maupun telepon genggam. Saat ia berbagi tentang beratnya hari ataupun saat dia merasa khawatir dan sebait pesan singkat “take care” yang diantarkan ikon kecil kotak pesan di layar telepon genggam saya berdering, saya hanya dapat berharap tangan saya mampu menjangkau dan memeluknya. Membisiki bahwa ini hanya sementara dan semuanya akan baik-baik saja. Sungguh yang saya inginkan pada saat-saat seperti itu hanyalah duduk di sampingnya dan menjadi cukup dengan merasakan helaan panjang napasnya.

Sayang, untuk ratusan hari yang merentang, saya hanya dapat berharap.

Dengan cara yang berat, kini saya belajar betapa berharganya kenangan. Otak saya bekerja layaknya perpustakaan raksasa, berusaha menyimpan tiap lembar kenangan yang pernah kami lewati bersama. Saat saya merindu, tak ada yang dapat saya lakukan selain menyusuri rak-rak tinggi berisi kenangan dan membiarkan diri saya tersesat dalam labirin ingatan.

Saat kami melewatkan senja sembari menanti kapal merapat di dermaga….

Saat ia mengejutkan malam yang bisu dengan tawanya yang renyah….

Saat tangannya yang mungil berusaha menggenggam tangan saya sembari berujar, “Hati-hati di Afrika”. Dan rambutnya yang terserak basah, masih terekam jelas di girus-girus otak saya….

Terkadang saya hanya bisa tertawa menyadari betapa miskinnya saya akan realitas dan kaya akan kenangan indah. Layaknya para lelaki tua yang telah melewatkan masa-masa emas hidupnya dan kini takluk oleh rematik dan hanya dapat terduduk sepanjang hari di beranda rumah sembari mengulang cerita-cerita lama.  

Tak sekalipun saya meragu akan kesetiannya; layaknya sebutir partikel neutron yang menunggu proton penyempurnanya dan saya tak lebih dari sebutir zarrah bernama elektron yang setia di sekitarnya tanpa dapat menyentuhnya.

Tak jarang saya mengutuki keterbatasan ini, mengapa manusia belum menemukan cara untuk meretas misteri waktu, mengakali aritmatika perkalian jarak dan mereset ulang revolusi Bumi agar planet biru ini dapat berbagi cahaya matahari pada saat yang sama?!

Mungkin semua akan menjadi lebih mudah seandainya waktu dapat menjadi sebentuk benda yang dapat saya bangun atau hancurkan seketika. Mungkin pula semua akan menjadi lebih mudah seandainya waktu adalah seorang serdadu perang yang tak akan gentar saya lawan dan jatuhkan walau harus rontok dan remuk lebam, semua itu untuk sekali saja merengkuh tangannya dan berlari meninggalkan jarak yang tak bersahabat.

Saya terkadang kalut dan takut terhadap apa yang dibawa aliran waktu untuk kami. Saya ingin kisah kami hidup pada masa kini untuk selamanya, tanpa perlu digerus waktu dan menjadi sejarah. Saya tak ingin perjalanan bersamanya berhenti berlabuh dan akhirnya melempar sauh dan berpisah di dermaga hidup yang berseberangan.

Karena Tuhan, saya sungguh menyayanginya….

Pada malam-malam yang panjang seringnya saya menebak-nebak rencana besar, bahwa mungkin bukan sekarang, mungkin nanti. Mungkin semesta sedang mempermainkan kami, menyatukan kemudian dipisahkan kembali. Bahwa mungkin kami bagian dari prolog probabilitas takdir yang menjadi satu dari sekian miliar kemungkinan. Tapi untuk itu saya berani bertaruh, untuk satu kemungkinan itu.

Untuk satu waktu…

Untuk satu cerita…

Untuk satu pengalaman…

Untuk satu pertemuan saat ini, untuk sekali saja melihat senyum dan memandang matanya yang hitam, untuk sekali lagi menyentuh rambutnya yang kelam, untuk sekali lagi jatuh cinta.

Dan setelahnya saya rela membatu, menjadi fosil dengan kenangan indah.

Karena Tuhan, saya sungguh menyayanginya….

 ***

“I used to hate the time zone concept, to be reminded of the bitter fact that even in a dream we are no longer able to meet. My consciousness  runs every fibres in my muscle while in other part of the world, you are falling deep into the dark night and sleep. But now, through time I learn to make peace and accepts the reality. In a solitude of darkness, let me be the guardian of your dream until the warm sun hugs you again…”

 

ps:

“Az Univerzum Minket [The Universe is Us] adalah ilustrasi hasil karya Pramoe Aga yang menggambarkan dua kekasih yang terpisah oleh waktu. Catatan ini pertama kali saya tuliskan enam tahun lalu di Malawi dan ditutup tiga tahun sesudahnya di Hungaria.

15 thoughts on “Untuknya, Kekasih di Lain Waktu

Leave a reply to Casual Hopper Cancel reply