Rohingya: Disaat Kita Tengah Bersama-sama menjadi Penonton Tragedi Kemanusiaan

Processed with VSCO with a2 preset
“Rohingya Migrants From Myanmar, Shunned by Malaysia, Are Spotted Adrift in Andaman Sea” ~ The New York Times

Di tahun 2015, beberapa ratus pengungsi Rohingya terkatung-katung di selat Melaka, hingga terhanyut di perairan Indonesia. Terpanggil oleh rasa kemanusiaan, sekelompok nelayan Indonesia kemudian membawa mereka mendarat di Aceh. Etnis minoritas dari Myanmar ini menjadi tajuk berita yang terdengar hingga pelosok-pelosok Indonesia. Di kala itu, saya baru saja menuntaskan penugasan saya di Pakistan, Doctors Without Borders kemudian meminta saya ke Aceh untuk melakukan assessment dan mendisain program kesehatan yang dibutuhkan oleh pengungsi. Itu adalah persinggungan pertama saya dengan salah satu krisis kemanusiaan yang paling terpinggirkan dalam sejarah kita.

Cerita para pengungsi Rohingya menarik perhatian saya, epilog hidup mereka tergambarkan penuh dengan duka, nilai mereka sebagai manusia seakan tidak ada harganya. Dari semua krisis kemanusiaan yang pernah saya temui di berbagai belahan dunia, krisis Rohingya layaknya catatan kaki di kamus besar kemanusiaan, tertulis kecil di sudut lembar terakhir dan tak seorang pun berkenan membacanya.

Dan di saat kemanusiaan tak dapat berbicara, adalah tanggung jawab kita sebagai manusia-manusia merdeka untuk menyampaikan pesannya…

***

London – Inggris Raya, 2 September 2017 [01:30pm]

Sejak enam bulan terakhir saya menenggelamkan diri dalam tumpukan literatur terkait krisis Rohingya, saya menjadikannya topik disertasi dan mencoba menarik benang merah antara krisis Rohingya dan kondisi mental para pengungsi yang menetap di Bangladesh. Saya kemudian menganalisis ratusan literatur yang menuliskan tentang krisis kemanusiaan ini, apa yang menjadikan etnis Rohingya manusia-manusia tanpa negara?

Kalau boleh berkata jujur, pekerjaan ini tergolong sulit. Sebagian besar literatur yang memuat perkara Rohingya bersifat “abu-abu”, sangat sedikit literatur ilmiah yang telah melalui proses peer-reviewed yang dapat dijadikan acuan. Sehingga sulit untuk menyimpulkan objektivitas serta validitas literatur-literatur ini. Tetapi, semakin banyak saya membaca dan semakin saya menenggelamkan diri dalam catatan-catatan cerita mereka, semakin saya teryakinkan bahwa kita tengah menjadi penonton sebuah tragedi kemanusiaan besar yang semakin lama tampak semakin runyam.

“Rohingya” mendefinisikan kelompok Islam Sunni yang menetap di utara negara bagian Rakhine, Myanmar. Enam dekade terakhir, kelompok etnis minoritas ini larut dalam konflik dan persekusi yang berakar jauh sebelum Myanmar menjadi sebuah negara merdeka. Sejarah terkait etnis Rohingya pun sesimpang siur penyebab konflik itu sendiri, sebuah catatan yang dituliskan seorang dokter bernama Francis Buchanan merujuk jauh ke abad 17 mendokumentasikan etnis ini sebagai “Rovingaw” atau “Mohammedans” – orang-orang berkulit gelap dan tubuh kokoh yang menjadi pengikut Muhammad –  yang telah mendiami kerajaan Arakan (sekarang menjadi negara bagian Rakhine) sejak abad kesembilan. Di abad ke 18, kekaisaran Inggris yang menjajah selatan Asia dan juga daerah-daerah yang kini menjadi bagian Myanmar kemudian mendukung migrasi besar-besaran “Rovingaw” ke Rakhine, menasbihkan ekslusivitas kepada “Rovingaw” sebagai para pekerja lahan disaat beras menjadi komoditas bernilai tinggi, hal ini menimbulkan rasa iri dan ketidak adilan bagi para penduduk asli Rakhine yang merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Layaknya kisah tentang konflik kemanusiaan lainnya yang pernah menumpahkan darah di planet ini, politik dan penjajahan menjadi cikal bakal perpecahan yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Processed with VSCO with a4 preset
“Newly arrived Rohingya migrants gather at Kuala Langsa Port in Langsa, Aceh province, Indonesia, on Friday after coming ashore. Most such migrants have been prevented from making port in Southeast Asia” ~ npr.org

***Kemerdekaan Myanmar menjadi awal mimpi buruk para etnis Rohingya, terlepas bahwa mereka telah hidup dan mati di tanah itu sejak ratusan tahun yang lalu, pemerintah tidak mengakui mereka sebagai etnis lokal. Di tahun 1982, sebuah undang-undang kependudukan disahkan dan bagi para etnis Rohingya yang ingin tercatat sebagai warga negara haruslah dapat membuktikan bahwa nenek moyang mereka telah menetap di Myanmar sejak 1823, hal yang hampir mustahil dapat mereka lakukan dalam bentuk dokumentasi tertulis. Sejak saat itu, etnis Rohingya melahirkan generasi-generasi tanpa negara. Anak-anak kemudian  lahir, besar dan mati tanpa identitas, mereka terpenjara dalam tanahnya sendiri, ruang gerak yang terbatasi, pendidikan yang dipotong hingga pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau. Sebuah undang-undang diskriminatif kemudian turut dikeluarkan, yang membatasi etnis Rohingya untuk dapat memiliki dua anak saja, bagi mereka yang melanggar, ganjaran hukum berat ditautkan membuat banyak wanita-wanita Rohingya memilih untuk melakukan tindakan aborsi. Hidup mereka layaknya kemarau yang berlangsung sepanjang tahun, mematikan tiap hajat hidup dan tidak memberi ruang untuk harapan dapat tumbuh.Apabila ke semua ini adalah mimpi buruk bagi etnis Rohingya, maka kudeta politik dan pemerintahan militer yang memimpin Myanmar sejak tahun 1962 adalah neraka.

Beberapa operasi militer dilancarkan sejak 1978 untuk “membersihkan” Myanmar dari pendatang ilegal. Bagi junta militer, etnis Rohingya adalah benalu yang perlu diberantas dan disingkirkan dari tanah mereka. Ratusan ribu etnis Rohingya terusir dari kampungnya, tak terhitung jumah nyawa yang terenggut dan trauma yang disisakan oleh operasi-operasi ini. Kini 1.5 juta jiwa etnis Rohingya tersebar di banyak negara di selatan dan tenggara Asia, terasing dari tanah yang mereka sebut rumah pun tidak diakui oleh negara-negara penampungnya. Bangladesh, Thailand, Malaysia bahkan Indonesia adalah negara-negara yang tidak menandatangani konvensi internasional terkait pengungsi, membuat mereka tidak memiliki ikatan hukum untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar etnis Rohingya.

Tidak sedikit kemudian menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan ini…

Untuk mencapai negara-negara tetangga, tidak sedikit dari pengungsi Rohingya akhirnya harus menempuh jalur laut yang berbahaya, tidak sedikit pula akhirnya berakhir sebagai komoditas perdagangan manusia, dijadikan tenaga kerja dengan nilai rendah ataupun dilacurkan di rumah-rumah dagang. Mereka kemudian berakhir dalam kubur-kubur tanpa nisan, terlupakan dan tercatat sebagai angka statistik di laporan dan berita yang sering kalian baca.

Processed with VSCO with a4 preset
“Rohingya at Kutupalong Camp, Bangladesh” ~ Allison Joyce/Getty Image

***

Terkadang di malam-malam panjang, tatkala membaca literatur dan laporan terkait krisis Rohingya, saya harus berhenti dan menghela napas panjang.  Gambaran persekusi yang disajikan literatur ini membuat saya mual. Manusia yang dibantai dan dibakar, wanita-wanita yang dilecehkan, anak-anak yang harus menyaksikan ibu mereka digauli dan saudari kecil mereka diperkosa beramai-ramai membuat saya geram.

Apa yang membuat manusia tega berbuat sebuas itu? Mengapa etnis Rohingya begitu tampak dibenci? Mengapa dunia seakan menutup mata terhadap tragedi mereka?

Tapi layaknya tragedi kemanusiaan lainnya; hitam dan putih, benar dan salah adalah sebuah kemustahilan. Permasalahan Rohingya tidak dapat dilihat dengan kacamata kuda, kita harus dapat memahami aspek sejarah, antropologi, politik dan ekonomi krisis ini. Negara bagian Rakhine adalah salah satu negara bagian termiskin di Myanmar, dengan sumber daya terbatas, peluang kerja yang kecil dan taraf kesejahteraan yang tidak merata, persaingan antara etnis Rohingya dan Rakhine sangatlah pelik. Agama pun dijadikan sumbu perpecahan oleh banyak politikus, perbedaan di Tuhankan demi kepentingan politik dan propaganda militer. Diskriminasi yang dialami etnis Rohingya kemudian melahirkan militan-militan yang menginginkan berdirinya negara muslim, memperkeruh konflik bersenjata dan membawa krisis kemanusiaan ini ke titik nadirnya.

Myanmar tampak sebagai ibu tiri yang kejam, membatasi bantuan-bantuan kemanusiaan dan para pengamat independen untuk melihat langsung kenyataan di Rakhine. Aung Saan Su Kyi sebagai pemimpin demokrasi di Myanmar membisu saat dihadapkan terhadap pertanyaan akan adanya genosida terhadap etnis Rohingya? Bagi kita yang tidak memahami politik Myanmar akan dengan mudah dibuat geram atas diamnya pemenang Nobel kemanusiaan ini, tapi bagi seorang politikus yang tengah mengecap manisnya demokrasi setelah menjadi tahanan militer selama bertahun-tahun, isu Rohingya dapat menjadi sumbu peledak yang meruntuhkan mimpi demokrasi dan membawa Myanmar kembali ke pemerintahan totaliter. Sebuah pertaruhan politik yang terlalu besar untuk demokrasi yang tengah merangkak di Myanmar.

Tetapi adalah sebuah ironi bahwa solusi bagi krisis Rohingya hanya dapat dicapai melalui jalur politik. Aung Saan Su Kyi dan pemimpin-pemimpin negara di tenggara dan selatan Asia tidak lagi dapat menjadi penonton dalam krisis Rohingya, sudah saatnya bidak pertaruhan ini kembali dimainkan, untuk menghakhiri tragedi kemanusiaan ini selamanya.

Dibalik jargon-jargon kemanusiaan, status yang kita pajang serta beragam berita dan video yang kita bagi di jaringan sosial, apakah ada solusi permanen untuk krisis kemanusiaan yang melanda etnis Rohingya?

Bantuan kemanusiaan hanyalah peredam asa yang bersifat sementara, yang dibutuhkan oleh etnis Rohingya adalah sebuah pengakuan atas keberadaan mereka, perlindungan terhadap hak-hak asasi seperti yang kamu dan saya miliki. Disaat repatriasi tidak lagi dipandang sebagai opsi, maka integrasi, asimilasi, kebebasan untuk berpindah serta kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri adalah bantuan paling hakiki yang negara kita serta negara-negara penampung pengungsi Rohingya dapat berikan.

Processed with VSCO with c7 preset
“For the Rohingya of Myanmar, a Hardscrabble Existence – Oma Salema, 12, held her undernourished brother Ayub Khan, 1” ~ The New York Times

***

Sesaat setelah menuliskan ini, saya terdiam dan berkontemplasi.

Bagaimana seandainya Indonesia yang menjadi lansekap tragedi ini? Akankah kita berdiri dan mengutuknya? Ataukah berdiri bersisian dengan pemerintah dan mengecam mereka yang tidak mengerti sejarah negeri ini?

Bisakah kita menjadi objektif dalam mengkritisi diri kita sendiri?

Seberapa sering kita memandang etnis yang berbeda sebagai pendatang yang tidak memiliki hak di tanah ini? Seberapa sering kita mengedepankan perbedaan ras, agama serta pandangan politik kita saat dihadapkan pada pilihan dan persaingan?

Dan disaat objektivitas kita berlaku relatif, semoga kita masih sempat mengingat bahwa bumi ini memerlukan banyak empati dan itu dapat dimulai dari diri kita sendiri.

Tabik

***

8 thoughts on “Rohingya: Disaat Kita Tengah Bersama-sama menjadi Penonton Tragedi Kemanusiaan

  1. Terima kasih telah bercerita tentang sejarah Rohingya.

    Klo boleh saya mengajukan pertanyaan. Jika Kak Husni diberi kesempatan untuk mengambil keputusan, apakah Kak Husni menerima Mereka di Indonesia?

    Like

    1. Adalah tanggung jawab kita sebagai manusia dan mahluk sosial untuk membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, apalagi pengungsi seperti etnis Rohingya. Tapi mekanisme untuk menampung pengungsi ini melalui instrumen negara dan harus dipikirkan elemen sustainability-nya, tidak sekadar bantuan kemanusiaan saja agar ada solusi jangka panjangnya.

      Liked by 2 people

Leave a comment