Tak Ada Filosofi di dalam Kopi Kami Pagi Ini

Processed with VSCO with a2 preset

Matahari di musim gugur layaknya gadis perawan di sarang penyamun, ia menjadi begitu berharga, sehingga kala ia terbit tak ada pekerjaan lain yang lebih penting dibanding menikmati sekejap waktu saat ia bertahta.

***

Winchester – Hampshire, 28 Oktober 2017 [10:25am]

Saat ramalan cuaca memberi tahu bahwa Sabtu ini wilayah tenggara Inggris akan dihujani cahaya matahari, saya dan rekan saya Nick menanggalkan pekerjaan rumah yang menumpuk dan memutuskan untuk mengunjungi Wincester, sebuah kota kecil berjarak 68 mil di tenggara London. Nama Winchester muncul seperti kelinci dari topi pesulap, Nick tetiba teringat nama kota yang pernah didengarnya ini dan menyarankan kami untuk berkunjung kesana.

“I’ll drive us to Winchester, we can go for a walk and lunch before heading back to London in the afternoon” katanya. Saya yang hanya pernah ke tiga kota lain di Inggris selain London tidak akan menolak sebuah ajakan mengunjungi kota baru. Berbekal GPS yang menjadi penunjuk arah dan dua cangkir kopi, kami bergerak meninggalkan London di Sabtu pagi. Saya menyukai kopi yang dikawinkan dengan susu kedelai dan Nick senantiasa memilih kopi pekat yang diseduh cepat.

Bagi saya, kopi adalah ritual, layaknya segelas air dingin saat bangun pagi dan sebait ucapan “selamat malam” yang saya kirimkan saat beranjak tidur untuk adik-adik dan ibu saya. Kopi pun tidak memiliki identitas, kopi yang enak bukan berasal dari biji kopi yang ditanam di tanah dengan nama unik ataupun diseduh dengan beragam metode yang hingga kini tak mampu saya hapalkan satu persatu. Sebagai pembuka hari, kopi cukup dengan sekadar hadir, tak peduli ia terseduh dari teko di dapur, tersedia dalam tiga puluh detik dari restoran cepat saji di sudut jalan, ataupun hadir dalam cangkir tanah liat berhias latte art dari gerai kopi masa kini yang tumbuh layaknya cendawan di musim hujan.

Adalah waktu dan pengalaman yang dihabiskan tatkala mengecap kopi yang menjadikan ia bermakna.

Dan pagi ini, kopi kami berpasangan dengan sejarah dan agama…

***Processed with VSCO with c7 presetKami berdua menyukai diskusi seputar sejarah, sains dan agama. Tiga topik itu adalah trinitas dalam perbincangan kami yang seringnya bermula di kedai kopi dan berakhir di meja saat makan malam. Tetapi pagi ini, ia bermula di lingkar utara London.

“Jadi, perpecahan Sunni dan Shiah itu karena perbedaan pandangan politik serta sosial yang terjadi di abad ke tujuh?

Demi Tuhan, sudah delapan belas abad berlalu dan belum juga ada titik temu?!” Ujar Nick menyimpulkan penjelasan saya perihal perpecahan dua aliran besar dalam agama Islam yang melahirkan berbagai isu geopolitik sejak masa kekhalifahan hingga sekarang.

“Ya, dan mungkin hingga peradaban manusia berakhir, kita tidak akan menemukan titik temu…” Jawab saya singkat.

Delapan belas abad adalah waktu yang panjang untuk sebuah akar masalah tumbuh mengular dan melahirkan benih masalah lain. Perihal benar dan salah layaknya ruang bangun yang saling bersisian, melahirkan ruang baru di mana opini dipertuhankan.

“C’mon, baru kali ini aku dengar kamu bersikap pesimis!” Ledeknya.

“Haha, ini bukan pesimis! Saya lebih senang menyebutnya realistis.” Balas saya.

Ya, agama dan politik bagai air dan minyak dalam sebuah gelas, bersatu walau sulit untuk dileburkan.

Bersama, kami meneguk tetes kopi terakhir yang telah dingin, dan seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada filosofi dalam kopi kami pagi ini.

***

Sudah empat puluh lima menit sejak kami keluar dari lingkar utara London dan berkendara di jalan beton yang berpagar hutan yang mulai menguning keemasan. Musim semi membunuh rimbun bunga, membuat dedaunan menua serta meranggas, untuk kemudian meluruh dan mencumbu tanah saat tahun perlahan menutup. Ia melambangkan kematian, pun orang-orang menyukai musim gugur, “romantis” orang-orang berkata, “ironi” menurut saya.Processed with VSCO with c8 presetSepanjang jalan, saya mendongengkan sejarah Winchester yang sekelebat saya sadur dari internet. Kota itu telah ada sejak penaklukan bangsa Roma di abad ke empat, pernah pula menjadi pusat pemerintahan kerajaan Inggris, di kota kecil itu sebuah katedral megah dibangun dengan gaya neo-gothic. Di zaman kegelapan, ia menjadi pusat ziarah dan penyembuhan, dogma bahwa penyakit adalah hasil karya iblis dan jalan satu-satunya untuk sembuh adalah dengan berdoa, membuat katedral ini berfungsi juga sebagai rumah sakit.

Sembilan puluh lima menit kemudian, kami menepi di sudut kota dan mulai berjalan menyusuri sisi tembok barat kota. Winchester tampak meriah pagi ini, sekelompok mahasiswa bernyanyi di bawah menara pusat kota sementara riuh gelombang manusia berlalu-lalang di depannya. Beberapa toko tampak telah mulai menghiasi etalasenya dengan nuansa Natal, walaupun Desember masih dua candra membentang.

Memasuki katedral Winchester, kami pun disambut oleh para pemandu yang telah berusia sepuh, mereka adalah para relawan gereja yang menjadi “penutur cerita” sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Hari ini kami dipandu oleh James, menebak dari helai uban di rambutnya usianya telah lebih enam dasawarsa, tapi ia masih tampak sigap dan semangat menemani kami menyusuri koridor dan lorong-lorong katedral.Processed with VSCO with c7 presetIa memandu kami melintasi lini masa, berhenti sekejap dibalik tiang-tiang megah yang memagar sisi dalam Katedral, untuk ia berkisah tentang nama-nama yang terukir di dinding-dinding marbel yang mulai menguning.

Banyak raja yang dinobatkan disini, tidak sedikit pula yang dikebumikan di balik batu-batu granit hitam besar yang menjadi landasannya, tapi tidak banyak perempuan yang namanya terukir disana, dan salah satu pengecualian adalah Jane Austin, penulis jenius yang namanya abadi dalam novel karangannya “Pride and Prejudice” yang masih bertahan hingga kini.Processed with VSCO with c8 presetDengan fasih ia menerjemahkan aksara-aksara latin yang tertulis di sela-sela batu granit yang kami pijak.

“Di tempatmu berdiri sekarang, adalah makan seorang bangsawan yang meninggal akibat komplikasi persalinan, bersamanya dikubur sepasang bayi kembar dan anaknya yang termuda” Ujarnya pelan, sembari menunjuk aksara-aksara yang terselip di sela-sela sepatu saya.

Seketika saya dibuatnya bergidik!

James mengajak kami ke ruang bawah tanah, di kesunyian berdiri sebuah patung perunggu “The Sound II”, persembahan seorang pematung Sir Anthony Gormley, yang mencoba mengolok kekakuan disain Gothic Katedral dengan menghadirkan replika dirinya.

Dibangun di atas rawa, di abad ke 19 bangunan besar ini pernah hampir rubuh dan tenggelam. Adalah jasa seorang penyelam bernama William Walker yang selama 10 tahun menyelam dan membangun pondasi gereja ini dengan bata yang dibawanya satu persatu.

“Setahun yang lalu, saya menziarahi makamnya, mencoba mencari namanya di ratusan nisan yang berbaris rapi. Beruntung saya bisa menemukannya, namanya sudah banyak dilupakan!” Dengan semangat James menceritakan kisah katedral yang paling digemarinya.Processed with VSCO with c4 preset

Beberapa orang memiliki dedikasi diluar nalar dan terkadang membuat saya bertanya-tanya, apa yang menjadi roda penggerak mereka? Karena tampaknya tanggung jawab semata tidak akan dapat mendorongmu untuk bertahan lama. Gairah dan cinta mungkin adalah jawabnya, berpasangan ia layaknya sumbu dan api, memberimu semangat untuk bertahan lagi, lagi dan lagi.

***

Sore di musim semi cenderung merangkak lebih cepat, kami baru saja berhenti sejenak dan menikmati santap siang bersama rekan Nick yang menetap di kota kecil ini. Sepasang kekasih yang memutuskan untuk meninggalkan keriuhan London dan dinginnya manusia-manusia yang menjadikan kota itu sebagai rumah.

Mereka dengan baik hati menemani kami berkeliling, memuaskan rasa haus kami untuk mengenali sudut-sudut kota dan cerita yang tertimbun disana. Mereka membawa kami menyusuri anak sungai Itchen yang dibangun bangsa Roma di masa kependudukannya dan memutar ke utara kota untuk melihat replika meja bundar raja Arthur yang melegenda.Processed with VSCO with c4 presetDi sisi timur kota dan jauh dari keramaian, berdiri dengan gagah kediaman uskup Winchester. Bangunan yang berpagar pohon oak raksasa dan bersisian dengan puing-puing kastil tua.

“Seandainya saya hidup di abad kedelapan belas, sudah pasti cita-cita saya adalah menjadi Uskup. Coba lihat rumah ini!” Ujarnya sembari bercanda.

Di masa itu, agama dan politik tidak dapat dipisahkan, kehidupan bermasyarakat adalah bagian dari aturan agama dan hidup berpusat dalam dogma yang dikeluarkan gereja. Manusia menyadur kalam Tuhan sebagai undang-undang dan menjadikan keuskupan sebagai bagian integral dari kerajaan. Politikus adalah wajah-wajah populis bangsawan dan pemuka agama, tidak jauh berbeda dengan kondisi kita saat ini.

Matahari mulai meluruh saat kami berkendara meninggalkan Winchester sore tadi.  Sepanjang jalan saya tercenung-cenung, tampaknya agama dan politik dapat memiliki titik temunya. Mungkin di bait-bait kalam Ilahi, terdapat aturan yang berlaku layaknya DNA manusia dan memutuskan asas hidup bermasyarakat. Tetapi apabila aturan tersebut berlaku universal, bukankah tiap-tiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menyuarakan Tuhan?

Entahlah, saya memercayai bahwa hidup cukup disederhanakan dengan berbuat baik.

Dan seperti kopi, terkadang kita cukup perlu menikmati, tanpa perlu berfilosofi.

Tabik.

***

5 thoughts on “Tak Ada Filosofi di dalam Kopi Kami Pagi Ini

  1. Kota kecil yang sangat kaya cerita. Khayal jadi terbawa dari jalanan berpagar pohon berguguran hingga makam Jane Austin yang terkenal itu. Benar juga… jangan cari filosofi dari secangkir kopimu. Seruput dan nikmati saja. 😀

    Liked by 1 person

  2. Hai H…
    Falling in love to this blog over and over again… sy selalu menjadi pembaca setia walaupun jarang komen….I’m still your big fan anyway
    Di sana lagi musim semi yah…di makassar sudah mulai hujan tiap hari H
    Take care yah….

    Liked by 1 person

Leave a reply to Nilda Cancel reply