Berkaca tentang Papua dari Afrika

Pibor – Sudan Selatan, 4 Februari 2018 [12:06pm] 

Dua kali saya bertamu ke Papua dan dua kali pula saya dibuat jatuh cinta.

***

Pertemuan pertama saya dengan Papua tepat di penghujung 2012, selama dua minggu saya bertamu ke Mimika, mengunjungi beberapa suku di Baliem hingga menjejas batas Indonesia di Merakue. Kali kedua tepat sebulan setelah itu, saya kembali ke ujung timur untuk menikmati riuh bawah laut di Raja Ampat. Bagi saya yang menyukai olahraga selam, Raja Ampat adalah tempat dimana imajinasi manusia bersisian dengan realita. Gambarannya terlalu indah untuk dipercaya tanpa melihat langsung. Banyak yang berasumsi bahwa Papua menyerupai Afrika, tetapi saya dapat memberitahumu saat ini: Papua membuat saya jatuh hati lebih dari beberapa negara Afrika yang pernah saya jejaki.

Beberapa minggu terakhir, lini masa saya ramai oleh berita seputar KLB (Kejadian Luar Biasa) Campak dan Gizi Buruk yang melanda masyarakat Asmat dan pegunungan Bintang. Halaman depan berita dipenuhi gambaran anak-anak berbadan kurus kering dengan selang infus yang menggantung, manusia dengan perasaan yang masih berfungsi sempurna akan mudah dibuat terenyuh.

Tetapi kondisi itu di jawab dengan sigap oleh banyak kolega saya.  Banyak dari mereka yang kemudian beranjak ke Papua dan mendedikasikan waktu serta keilmuannya untuk membantu masyarakat Asmat. Dari catatan mereka, saya mengikuti perkembangan Asmat. Mereka menggambarkan betapa sulitnya mencapai Agats yang menjadi ibukota kabupaten Asmat. Hanya pesawat kecil yang mampu mendarat di bandara dan perjalanan berlanjut dengan perahu untuk melintas alur sungai-sungai besar. Dari udara, Asmat tampak bagai sulaman pohon-pohon rindang yang dibelah aliran sungai. Kombinasi transportasi serta infrastruktur yang tidak memadai menjadi tantangan relawan-relawan ini. Tiap harinya saya memantau laman mereka, menghitung dengan cermat jumlah kasus yang mereka paparkan, merangkak naik, pelan dan mematikan.

***

Tulisan mereka membuat saya tercenung, gambaran yang mereka berikan membuat saya bernostalgia tentang banyak titik-titik asing di Afrika yang pernah saya jejaki, layaknya pinang dibelah dua; Asmat serupa dengan banyak tempat di mana saya pernah ditugaskan.

Dan apabila saya dapat belajar dari sembilan tahun perjalanan saya menjadi relawan di krisis kemanusiaan, maka saya dapat menarik kesimpulan bahwa kompleksitas masalah kesehatan di daerah terpencil memerlukan lebih dari komitmen tenaga kesehatan.

Intervensi kegawat daruratan seperti KLB Campak memerlukan rantai suplai dan logistik yang mumpuni. Suplai obat-obatan maupun vaksin harus dibarengi dengan suplai logistik pendukung yang tidak terinterupsi. Tenaga medis hanya bagian kecil dalam intervensi krisis, mereka tak dapat bekerja apabila mereka tak dapat menjangkau masyarakat, tak ada ruang untuk bekerja dan tinggal, tak ada listrik untuk mengamankan suplai obat dan vaksin, ataupun jaminan keamanan. Untuk hal yang satu ini, pemerintah memegang peranan besar. Di banyak negara tempat saya bertugas, terkadang pemerintah masih terlibat perang aktif sehingga tidak dapat menjalankan fungsi ini. Tetapi saya percaya pemerintah kita kompeten untuk ini.

Di fase awal krisis, Rapid Health Assessment mutlak dilakukan. Untuk menilai kebutuhan medis, kondisi logistik, suplai, demografi, serta kultur setempat. Penilaian ini menjadi penting saat kita menyusun strategi intervensi. Hal terakhir yang kita harapkan adalah intervensi yang tidak tepat sasaran ataupun tidak sejalan dengan norma yang masyarakat anut. Beberapa cenderung melakukan penaksiran awal jarak jauh, dengan bergantung pada berita ataupun narasumber yang mereka kenal di daerah tersebut. Tetapi idealnya, Rapid Health Assessment ini dilakukan oleh tim kecil yang terlatih. Objektifitas serta subjektifitas haruslah seimbang tatkala melakukan penaksiran awal tentang kondisi krisis serta kebutuhan intervensi. Terkadang kita meradang tatkala mendengar berita tentang krisis kemanusiaan, banyak yang dengan cepat membuka posko bantuan, tokoh-tokoh politik pun layaknya semut yang mengerubungi gula dan langsung menuju ke lokasi krisis dengan membawa bantuan. Tetapi penting untuk kita sadari, bantuan yang tidak tepat guna atau pun relawan yang tidak terlatih mengurangi efektifitas intervensi, alih-alih bermanfaat, kesemuanya dapat memperberat kondisi krisis.

Pilar intervensi kesehatan pun harus seimbang antara aspek Kuratif, Preventif dan Promotif. Di saat KLB Campak dan Gizi Buruk, selain intervensi klinis yang berpusat di rumah sakit atau pun Puskesmas, tak kalah pentingnya kampanye vaksinasi Campak yang dikombinasikan dengan penyaringan kasus gizi buruk  pun perlu dilakukan hingga ke pelosok. Di sini pentingnya pemetaan putative cases (kasus awal) serta pola penyebaran. Strategi kampanye vaksinasi pun harus melibatkan elemen kultur serta pola hidup lokal. Beberapa tahun yang lalu, saya mengkoordinir kampanye vaksinasi campak di Sudan Selatan, mengetahui target kami adalah masyarakat suku yang bersifat pastoralis serta bermigrasi mengikuti ternak mereka, kami pun membuat strategi kampanye vaksinasi dengan ikut serta dalam migrasi ini. Desentralisasi kegiatan bijaknya tidak hanya di pusat-pusat kesehatan saja, ia harus dapat bergerak bebas, menyusur hingga ke lingkup-lingkup perifer masyarakat. Hal ini tak pelak membuat tim terkadang harus menetap di pedalaman hingga berminggu-minggu, ke semuanya untuk memastikan cakupan yang sempurna.

IMG_5482.jpg
Kampanye vaksinasi Campak bagi suku Uduk di Sudan Selatan

Di saat strategi intervensi telah ditetapkan, penting pula untuk menimbang sumber daya manusia yang dibutuhkan. Intervensi kuratif di lingkup rumah sakit memerlukan dokter atau tenaga spesialisasi, tetapi intervensi preventif tidak selalu memerlukan dua profesi ini. SDM lokal dapat dikerahkan sebab mereka mengenal struktur demografis serta geografis lokasi intervensi. Task shifting (pengaihan tugas) dapat menjadi jalan keluar di saat SDM terbatas, hal ini pun berguna untuk memastikan keberlanjutan serta mengurangi ketergantungan atas tenaga luar.

IMG_5822.jpg
Penyaringan gizi buruk di kampung suku pedalaman Sudan Selatan

Pemetaan status gizi penting untuk mengetahui derajat GAM (General Acute Malnutrition) serta SAM (Severe Acute Malnutrition) suatu daerah. Berdasar pada ini, intervensi nutrisi pada KLB gizi buruk kemudian disusun. Intervensi kuratif pada KLB gizi buruk umumnya mengacu pada dua pilar; Intensive Therapuetic Feeding Program yang umumnya berpusat di rumah sakit dan bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien serta Ambulatory Therapuetic Feeding Program yang berpusat di sentra layanan primer sebagai rujukan bagi pasien gizi buruk hingga status gizinya membaik. Apabila derajat GAM melebihi batas ambang Blanket Supplementary Feeding Program (BSFP) baiknya dilakukan dan mencakup seluruh penduduk suatu daerah.

IMG_5551
Penyaringan gizi buruk pada wanita hamil dan anak-anak di Sudan Selatan

Di beberapa negara, pola hidup masyarakat, makanan pokok, politik lokal, struktur gizi dalam keluarga serta struktur sosial menjadi elemen penting yang patut untuk diperhatikan. Gizi buruk adalah salah satu indikator krisis kemanusiaan yang lahir dari problematika sosial. Bijaknya perlu untuk mengurai kompleksitas problematika ini agar dapat menemukan solusi jangka panjang. Masyarakat terbentuk oleh strata tradisi serta peradaban yang mengakar jauh ke masa lalu. Banyak pemerintahan yang terbukti gagal untuk meningkatkan hajat hidup masyarakat apabila mereka buta merangkul elemen ini. Merelokasi suatu komunitas, meminta mereka mengubah pola hidup turun-temurun atau memperkenalkan berbagai macam program “revolusi” akan terdengar hampa dan sekadar solusi responsif saja apabila tidak memerhatikan elemen antropologis dalam penyusunannya.

***

Saya ingin menutup tulisan ini dengan menghaturkan hormat serta penghargaan saya bagi para relawan yang pernah dan tengah berjibaku di Asmat, serta para tenaga kesehatan yang mengabdikan dirinya di titik-titik terluar Indonesia. Saya pernah di sana dan pemahaman saya tentang kesehatan tidak lagi sama setelahnya. Kesehatan adalah hak universal yang melintas segala batas dan kalian adalah orang-orang yang menyulam garis-garis kesetaraan yang putus.

Semoga Tuhan senantiasa bersama kalian hingga di akhir masa pengabdian.

Tabik.

Di Kepalan Tangan 125 Pemuda!

Juba – Sudan Selatan, 23 April 2016 [09:38 AM]

Dan untuk beberapa hal tertentu, jarak dan waktu mengekalkan kenangan…

***

Pagi ini saya terbangun sembari mengingat pagi yang sama empat belas hari yang lalu, pagi terakhir yang saya lewatkan bersama 125 orang yang saya temui enam hari sebelumnya. Kami bersama terangkul dalam Persiapan Keberangkatan (PK) 62 sebagai rangkaian prosesi penerimaan beasiswa LPDP.

Seharusnya saya menceritakan padamu bagaimana enam hari yang saya lewatkan dengan dentang waktu yang seakan tak mengenal sekat hari. Malam memanjang hingga ia dapat memeluk pagi, tidur pun menjadi komoditas paling berharga yang setiap detiknya seakan dipancung pendek dan tak pernah menyisakan ruang untuk mimpi datang berkunjung.

Dan mungkin saya pun harus membagi rahasia tentang tumpukan tugas yang datang silih berganti, menggunung dan tampak tak teraih, dengan buas merenggut waktu sempit yang seharusnya saya lewatkan bersama keluarga. Tugas yang sejauh nalar saya berusaha membenarkan, tampak tak memiliki keterikatan dengan profesi maupun rencana saya bersekolah.

Seharusnya saya bercerita padamu tentang tokoh-tokoh yang kami sambut dengan kaki berbanjar dan tepukan meriah, dari pak menteri hingga enterpreneur, dari sang politis hingga sang idealis, individu yang menyuntikkan semangat nasionalisme dan menyisakan kekaguman setiap kali salam terakhir mereka haturkan dan punggung mereka menghilang dari sudut pintu.

Tapi itu kemudian menjadi tidak begitu berarti ketika pembelajaran sesungguhnya datang dari 125 anak muda yang kemudian mengisi hari saya di sebuah aula kecil di Depok.

*** Continue reading

Supernova; Lubang Hitam yang Kini Menutup.

  
Makassar – Indonesia, 3 Maret 2016 [08:19 PM]

Saya mengenal Supernova melalui refleksinya di lembar terakhir Filosofi Kopi pada tahun 2006. Bagi anak muda yang dibuat jatuh cinta oleh religiulitas Hera mencari Herman, saya pun merajah diri dengan nomor keanggotaan mistis dalam tarekat adDEEction. 

Setelah itu, tahun-tahun berikutnya saya seakan terserap kedalam kumparan dunia Dee Lestari di tiap lembar karyanya yg lain; sebut saja Perahu Kertas, Rectoverso dan kepingan favorit saya; Madre.

Tapi berbeda dengan yang lain, saya sengaja mengacuhkan Supernova.

Bagi saya ia layaknya lubang hitam yang terbuka dan tak jelas ujung akhirnya, begitu menarik sehingga saya takut untuk terseret dan menemukan kehampaan tatkala harus beririsan dengan kenyataan bahwa ia adalah sebuah gala yang belum purna, cerita yang aksara-aksara pelanjutnya masih tersembunyi kabut ide dan bersemayam dalam kuil imajinasi seorang Dewi Lestari, tempat dimana ia belum mengizinkan kami -para pembacanya- untuk masuk dan bergumul dengan tokoh-tokoh yang telah bertahun-tahun hidup dalam tiga buku dan merindu kelanjutannya.

Dan selama itu pula, saya turut mengumpulkan buku-buku Supernova…

Jangan tanya sudah berapa kali saya membeli KESATRIA, PUTRI & BINTANG JATUH yang senantiasa berhasil lepas dan menemukan tuan baru di tangan teman atau kerabat yang seakan amnesia saat tanggal janji pengembalian buku telah tiba.

AKAR yang saya beli beberapa tahun yang lalu pun telah berganti sampul dengan coretan tangan adik saya yang -saat itu- tengah belajar menulis di kelas satu. Lembar demi lembar PETIR pun telah menguning di makan waktu tanpa pernah dibuka, layaknya perawan tua yang tak pernah mendapat sentuhan tangan pejantannya.

Saya pun sempat putus asa dan menganggap seri Supernova ini tak akan pernah lengkap. Bodhi dan Elektra tak akan pernah bertemu, Gio selamanya akan hidup dengan tanda tanya besar akan keberadaan Diva dan stagnasi Dimas-Reuben adalah sebuah keabadian. Hal-hal yang saya ketahui melalui beberapa baris narasi disampul belakang KPBJ, Akar dan Petir

Kabar baik itu datang tatkala Partikel akhirnya lahir dari rahim tua serial Supernova. Saya yang saat itu tengah menetap di tenggara Afrika begitu senang mendengar celotehan di dunia maya tentang Zarah dan Fungi yang tampak begitu mistis, rahasia yang terangkai dengan apik melalui pencarian panjang yang membuatnya berpetualang melintas dimensi dan membuat definisi ruang-waktu berelongasi dalam bentuk yang tak lagi solid.

Kemudian berlanjut dengan terbitnya Gelombang dan memperkenalkan kisah perantauan Alfa kepada para pengagum mortalnya yang menantikannya lahir jauh sebelum embrionya tercipta. Tahun itu 2014, dan gelombang rasa suka cita turut pula menghantam saya yang tengah menetap di Pakistan.

Meloncat dua tahun dan Inteligensi Embun Pagi akhirnya terbit. Siapa sangka saya yang tengah menikmati libur panjang di Indonesia dapat memegang buku tebal bersampul putih itu di hari lahirnya! Ada rasa lega yang teramat sangat menyadari bahwa penantian panjang untuk membaca Supernova sebagai sebuah kesatuan tiba pada garis finish. 

Kini saya siap melebur dalam semesta Supernova, menikmati kelahiran kembali sebuah bintang yang telah lama diimpikan dan terjun dalam lubang hitam kisah, intrik, rahasia enam buku ini yang kini menutup sempurna.

Mengambanglah saya disana selamanya, dan itu tak mengapa

Tabik;

H

Saat Kita Menggenapkan Kisah-Kisah Ganjil.

Bogor – Indonesia, 15 Februari 2016 [02:37 PM]

 From   : AR Putri

To        : Me

Halo Kak Husni, 

Perhitungan Kakak tepat sekali, kami sekarang ada di kelas 2 SMA. Beberapa dari kami memang sudah pindah ke sekolah lain, tetapi kita semua still stay in touch with each other.

Senang sekali menerima e-mail dari kakak. Hal ini membangkitkan ingatan bahwa kami pernah ingin mempublish kumpulan cerita yang kami buat berdasarkan artikel yang kakak buat tentang Suku Dani.  Continue reading

ROHINGYA: In a State of The Stateless

“We need you to go to Aceh ASAP?”

It takes just one phone call before I found myself ready for my next assignment. Since I started working in the humanitarian field, there is always a dream of  going back to Indonesia and serve the nation, little did I know that the dream hasn’t been too far away?

I never been to Aceh before, but it is always on the list of province that I would love to visit since my trip to Sumatra back in 2008. I’ve heard fascinating stories about Aceh – The Mecca Solarium (Negeri Serambi Mekah) – where the nation’s heroines born and lived as a legend. When one dig deeper surpasses the Syariah Law, at the tipping point of Indonesia, you can indulge into mile after mile of white sand beach of Weh Island, a world famous dive site and Indonesia’s gem of marine biodiversity.

This special region talks turkey of politique et intric. Most of the adult still solidly remembers the dark and twisted story of the insurgence of Aceh Freedom Movement (Gerakan Aceh Merdeka) that was spread across the region, along with the fall and rise of Aceh during 2004 Tsunami.

Maybe it was the fond memory of sheer kindness of humanity experienced by people in Aceh during Tsunami that moves a group fisherman on the morning of 15 May 2015, that despite being prohibited by the sea police,bravely rescued the boats crammed with Rohingya Refugees and Bangladeshi that have been stranded in Strait of Malacca for weeks.

That was the first arrival of Rohingya refugee in Indonesia.

*** Continue reading

Satu Sore di Lhokseumawe

The story teller

Lhokseumawe – Indonesia, 10 Agustus 2015 [03:06pm]

Seperti yang dikisahkannya pada saya…

Hidupnya tidak jauh dari periuk, sumur dan sepetak warung. Saat muda dulu, sekali-kali ia menghias mata dengan celak hitam tapi itu saat suaminya belum purna. Lama-lama sekali, ia membeli sarung baru di pasar Minggu kota Lhokseukon dan dikenakannya saat hari raya tiba. Walau tinggal tak jauh, saat muda dulu tempat ini urung dikunjunginya. “Tak pantas” katanya.

Anaknya dua, satu wanita ikut suaminya hijrah ke Pidie sejak tahun 2002 dan satunya lagi pria yang terhanyut dalam romansa maskulinitas Aceh di akhir 90an. Saat konflik usai, alih-alih pulang, ia memilih merantau ke Balikpapan. Satu salam saat Lebaran tahun 2005 menjadi perjumpaan terakhir si Mamak dan Buyungnya. Continue reading

Hai Dokter; Singsingkan Lengan Bajumu, Kejarlah Mimpi dan Matilah Sendiri!

Hidup untuk mengabdi dan mengabdi untuk mati, cukup satu kali.

***

Karachi – Pakistan, 17 Juni 2015 [00:30am]

Kala seseorang meninggal, sebagian besar dari kita senang mencari tahu tentang bagaimana ia berpulang, mengulik sisi drama dan berspekulasi tentang elegi yang ditinggalkan almarhum untuk sanak saudaranya? Tapi seringnya saya senang merayakan kehidupan, memutar kenangan baik yang berbekas dalam ingatan serta untuk sekali saja mengizinkan diri saya merasa kehilangan.

Sebagai seorang dokter, saya pun sering berjumpa dengan kematian, mungkin lebih sering dibandingkan probabilitas kamu bertemu dengan teman masa kecilmu saat reuni sekolah berlangsung. Bagi saya, kematian layaknya kawan akrab yang kau temui di warung kopi lewat pukul lima kala waktu kerja telah usai.

Elisabeth Kübler-Ross menulis dalam bukunya bahwa tiap-tiap manusia melewati lima tahapan kala dirundung duka. Berawal dari penyangkalan hingga berujung pada penerimaan, tiap-tiap individu pun melewati tahapan ini dengan jenjang waktu yang berbeda Tetapi tahapan-tahapan itu tampaknya tidak berlaku bagi dokter; kami paham bahwa mati sepasti inti atom matahari yang berfusi, ia berlaku mutlak dan tak ada sangkalan disana. Maka ketika kematian berkunjung, kami mempersilahkannya masuk, memberinya ruang dan mengizinkannya pergi membawa kemenangan atas satu kehidupan yang tak dapat kami selamatkan…

*** Continue reading

Morning Elegance

Saat pagi menguap dari balik tenda-tenda berwarna dan selesap teh hangat mengusir dingin yang meringkuk nyaman sepanjang malam adalah momen yang paling saya senangi dari berkemah. Tak perduli saat itu berarti sebuah pendakian panjang berhari-hari lamanya atau sebuah perjalanan singkat di akhir minggu, bau sekam dari sisa-sisa api unggun semalam yang basah oleh rintik hujan bekerja layaknya kafein pekat yang diteguk para pecandu kopi, memberi semangat! Saat berkemah, alam memainkan peran seorang wanita ramah yang bekerja sebagai pelayan di kedai-kedai kecil di ujung kota, memberi kenyamanan dengan apa adanya. Membuat saya enggan untuk pulang ataupun beranjak pergi dari kekaguman. Tetapi berkemah bagaimanapun senantiasa berarti sementara, satu masa, satu momen, satu kesempatan dan kemudian setelah itu selesai…

Berkemah berganti kata menjadi berkemas…

Mengepak kembali barang-barang saya, melipat tenda-tenda berwarna, mematikan sekam api dengan tanah yang basah dan menyeruput teh terakhir sebelum ia berasa dingin.
Saya membawa pulang semua beban, ransum dan sampah.

Serta meninggalkan satu saja hal: Masalah.

Dan itu lebih dari cukup untuk meringankan perjalanan pulang saya.

Karachi – Pakistan, December 6th 2014 [11:04am]

“Tuhan senang menyimpan orang-orang baik untuk dipertemukan dengan orang-orang baik lainnya”  Sepertinya itu berlaku bagimu dra!

Mungkin kamu sempat bertanya-tanya, apakah takdir manusia layaknya gulungan benang merah di baju-baju gadis Tionghoa? Kusut bergelung, saling memilin tak tentu arah, Semakin kepinggir semakit sulit untuk diretas.

Orang bijak berkata bahwa hidup, mati dan jodoh ada di tangan Tuhan. Saya sempat bertanya-tanya, selebar apakah tangan Tuhan hingga orang baik sepertimu sungguh sulit bertemu jodoh? Saya membuat sebuah perkalian probabilitas bahwa mungkin kamu dan sang jodoh berada di titik polar yang berlawanan, sehingga bagi takdir kalian untuk bersinggungan memerlukan lompatan mekanik maha dashyat. Tapi kali ini saya salah, kamu pun sepertinya salah. Setengah hatimu tak pernah jauh, bukan begitu?

Continue reading

Di titik-titik tertinggi bumi manusia menjura langit, menyadari betapa kecil mereka dibandingkan alam semesta dan segenap isinya. Di kedalaman palung-palung lautan, manusia menjura kegelapan saat mereka menyadari bahwa sungguh sangat sedikit yang mereka ketahui. Manusia memandang tingginya gunung dan dalamnya laut sebagai media untuk ditaklukkan, banyak yang berhasil tapi tidak semua dari mereka akan pulang dengan pelajaran bahwa sesungguhnya mereka tak pernah menaklukkan alam.

Tetapi sejatinya alam menempa mereka untuk dapat menaklukkan batas-batas dalam diri mereka sendiri…

 

nb: picture of Sudirman Range – Mimika, Papua