Sip of Morning and Tale of Politic

Karachi-Pakistan, 13th of February 2015 [09:36am]

I decided to start my day by visiting Machar Colony through Liyari Expressway. A highway that currently in a status of dormant from construction is located along Liyari River. It is designed to relieve the traffic of this giant city. The peaceful ambiance creates when I drive for couple of minutes is seldom to find in a city with robust noise echoing from each vein of the small alley.
When we talk about Lyari we talk about a history!
It was a hotbed of radical politics and intellectuals who settled in the aftermath of bloody partition India-Pakistan and still an area where political parties are made or broken. During the era of Zia ul Haq, Lyari sustained the liberal resistance; it becomes the defense base of political activist who risked their lives to fight the oppression of fundamentalist military regime.
A dense populated area locates at the tip of the city. The town is a hub for Pakistan People Party and home for Sheedi community. Gang  war, violent, football and targeted killing makes the town that was known as the oldest part of Karachi now become the epicenter of the most dangerous city in the world.
But for me Lyari is fascinating in many ways, I have visited the town several time. My journey to Liyari began couple of months with a first step to Marie Adelaide Leprosy Centre. I had the picture of violent area at the back of my mind, being ready to rob or attacked, horrendous event was nothing but certainty. But 10 minutes drives crossing small road, passed a series of old British-era buildings in pale yellow and blue color embroidered by street vendor guarded by arm-man in Shalwaar Kameez and thick mustache depicting the old-school hindi actor, slowly ease my worry. It’s an area as other town of Karachi.

Continue reading

Romance of Pakistan

Karachi – Pakistan, December 13th 2014 [10:22am]

 Jika kalian lelah seperti saya, mari sebentar saja berjalan-jalan dalam cerita…

***

Ayah saya pernah bercerita tentang destinasi impiannya; Hippie Trail, sebuah jalur alternatif yang membentang dari negara-negara di Eropa, melintas Iran, Syria, Pakistan, Afghanistan dan India sebelum berakhir di pinggir-pinggir pantai di Bangladesh atau Thailand. Jalur ini menjadi salah satu favorit para pejalan hippie atau bagi mereka yang mencari pencerahan dari filsuf-filsuf timur.

Hingga awal tahun 70an Iran, Syria dan Pakistan membuka pintunya lebar-lebar bagi para pelancong lintas benua. Negara-negara itu menjadi surga yang dapat dijangkau hanya dengan menumpang kereta. Anak-anak muda Eropa dengan tampang kucel dan baju seadanya dengan mudah dijumpai sedang bersantai sembari menghisap Hashish di atap-atap motel murah di Peshawar ataupun Lahore.

Cerita berubah saat Rusia menginvasi Afghanistan dan Iran terlibat sengketa dengan tetangganya Irak, Hippie Trail menjadi terlalu berbahaya untuk disebut sebagai destinasi wisata. Pintu surga itu pun tertutup rapat-rapat saat gelombang revolusi Islam memasuki Pakistan. Wajah negara ini pun berubah, sejak saat itu hingga kini.

***

Continue reading

[Dis]connected

Machar Colony – Karachi, September 20th 2014 [08:22pm]

 Kemana saja selama ini?

Untuk sekian kali pertanyaan ini berdering menyertai ikon kecil pesan di ponsel saya.

Kemana saja selama ini?

Menjadi pertanyaan surel yang ditujukan ke email ataupun blog saya oleh beberapa orang yang senantiasa setia berkunjung.

Kemana saja selama ini?

Menyertai segudang pertanyaan lain dari orang-orang terdekat saya, mereka yang mengikuti rentetan cerita yang tertulis pun lisan tersampaikan. Mereka yang rutin mengingatkan untuk senantiasa berkirim kabar dan mereka yang merindu dalam nada kesal dan pesan-pesan dalam huruf kapital.

Continue reading

Aljabar menjabarkan kepastian, seperti sahihnya satu ditambah satu adalah dua dan sahihnya deret fibonacci yang tak akan pernah menemui bilangan terakhirnya.

Aljabar berbanding terbalik dengan hati manusia yang kadarnya akan selalu berbeda tergantung siapa dan apa pembandingnya. Kita senantiasa meragu akan rumusan perasaan, salah satunya saat merumuskan pasangan yang tepat.

Tapi seorang karib saya pernah berkata, bahwa hati manusia tak ubahnya sebuah rumusan aljabar yang memiliki nilai pasti.

“Dia yang tepat adalah dia yang menjadi tempat kamu bisa menjadi kamu yang sebenarnya dan menerima kamu apa adanya…”

Dan mungkin sekarang satu-satunya yang saya butuhkan adalah; berhitung…

Sebuah nukilan dari janin buku yang tengah saya tulis. jangan tanya saya kapan rampungnya, mungkin besok atau mungkin lusa atau mungkin sedikit lebih lama…

Seandainya saja rasa senang dan bahagia bekerja layaknya virus paling mematikan di dunia. Saya berkenan terjangkiti dan tak segan menularkan.

Karena rasanya tak ada yang lebih membahagiakan dibanding membahagiakan orang lain.

Me; Who physically exhausted but psychologically delight.