[Give Away] Memento from Malawi

Almarhum ayah saya sering mengingatkan untuk tak pernah lupa melafal “terima kasih” kepada mereka yang telah menoreh jasa dalam hidup kita. Beliau percaya bahwa gugusan aksara pendek itu menginfiltrasi jauh ke dalam sanubari tiap orang, memberi rasa senang teruntuk mereka yang kita tujukan dan menjadi jangkar bagi kita agar senantiasa membumi.

Kini, saya ingin mengucap terima kasih kepada kalian. Orang-orang yang tak semuanya sempat saya sapa dengan kata saat berkunjung ke rumah maya saya yang sederhana ini. Kepada kalian, baik yang meninggalkan jejak aksara di kolom komentar atau pun yang hanya memberi sedikit ruang di girus otaknya untuk merekam gambar ataupun susunan kata di halaman ini. Seandainya tangan saya bisa menjangkau keluar dari batasan dunia maya, saya ingin menyalami kalian satu persatu dan mengucapkan “terima kasih”.

Continue reading

Family!

Thyolo District, 26 October 2012 [03:44pm]

Saya sering menuliskan kisah tentang hidup jauh dari rumah, berbagi halaman ini dengan cerita tentang mereka yang saya temui tiap hari di  klinik kecil di pedalaman Afrika. Tanpa saya sadari, ada mereka yang kisahnya tak pernah tertulis dalam huruf dan rangkaian kata. Mereka, para tokoh yang berbagi cerita dengan saya dalam misi kali ini…

Mengemban tugas menjadi pekerja kemanusiaan di negeri ini, saya tidaklah sendiri. Misi kami mempekerjakan lebih dari 150 staf nasional yang bertugas di kantor ataupun di lapangan layaknya saya. Tapi berbanding terbalik dengan itu, kami hanya terdiri dari 7 orang pekerja asing. Mereka menyebut kami expatriat, saya menyebutnya keluarga…

Hidup sendiri dan jauh dari rumah, bagi saya mereka adalah rekan kerja, teman dan saudara. Kami berasal dari latar belakang, ras dan kebangsaan yang berbeda tapi dalam keberagaman kami menemukan sebuah sinergisme dalam hidup dan bekerja. Dari mereka saya belajar banyak hal, bagaimana saling menghargai dan bagaimana kemajemukan dapat mencipta rasa penghormatan. Continue reading

Chintheche District, 9th September 2012 [05:33pm]

Bus AXA ini kembali berhenti untuk ke tujuh kalinya dalam rentang waktu 7 jam perjalanan saya, tepat di kilometer 368 dari Lilongwe Ibukota Republik Malawi di sebuah ibukota distrik kecil bernama Chintheche. Sekali lagi saya dan penumpang lain harus turun untuk menjalani pemeriksaan satu persatu oleh polisi perbatasan.

Hal yang lumrah bagi mereka? Tapi tidak bagi saya… Continue reading

Semangkok mie, sate dan segelas teh di sudut foto sempat membuat saya tertegun beberapa saat. Kembali mengingat kapan terakhir saya menikmati sajian sederhana berbahan tepung dan kuah hangat ini, sepertinya sudah lama sekali…

Saya bukanlah penggemar berat hidangan ini, tapi lidah saya tidak pernah dikecewakan oleh liatnya adonan dan kuah hangat semangkok mie. Tidak perduli apakah itu disajikan di warung pinggiran pasar atau di ruang-ruang mewah bangunan tinggi penghias kota. Continue reading

Turnamen Foto Perjalanan Ronde 2 : Kuliner

Salam bagi kalian para pejalan, selamat datang di halaman sederhana ini.

Perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya Husni, tuan rumah kalian di turnamen perjalanan ronde 2. 

Roda permainan kita masih berputar, kali ini dadu permainan berpindah jauh ke benua hitam tempat saya berada sekarang. 

Sungguh saya tercengang dengan kemampuan kalian memenjarakan momen perjalanan, melintas masa dan jarak, melukiskan laut-laut terindah yang pernah ditangkap retina.

Tiap foto yang di tampilkan selalu membuat saya berbisik “ingin kesana”…

Kali ini mari kita bermain dengan rasa, indera pengecap lebih tepatnya! Continue reading

Saya rindu berada di sana, di kedalaman samudera di ruang biru pekat tanpa suara. Laut memanggil tanpa bisa saya menjawab. Karib perjalanan saya ini bergurau mengibaratkan saya bagai ikan, ingsang saya mengerjap dan sisik saya mengering di dataran Afrika.

Ya, sungguh saya ingin sekali pulang kesana. Ke laut, tempat yang senantiasa saya sebut rumah… 

This day, I feel I lose all of them – a family

A woman of around twenty years old wearing a black dress and shabby flowerish chitenje is in the consultation room. A baby is sleeping on her lap. She hands me a small orange book with a torn cover.

Unlike in Indonesia, here in Malawi, patients keep their own medical records – a little book we call “health passport.” The soiled dull papers show that it was long time ago since her last visit to our health centre.

She has been suffering from fever and abdominal pain for two days already and decided to come to our health centre. But there is something else that catches my attention – printed on the front page of her health passport, there is an inscribed red oval shape with two horizontal lines.

She is HIV positive… Continue reading

Setiap kali saya melihat pohon Baobab raksasa, saya selalu membayangkan saat awal penciptaan mungkin Tuhan sedang bercanda dan menanamnya terbalik hingga daunnya tenggelam di tanah dan akarnya mencuat…

Tapi pohon khas Afrika ini selain ukurannya yang gigantis juga penuh dengan selaput mistis. Masyarakat Afrika percaya bahwa baobab itu bernyawa dan segala bagian tubuhnya bisa dimanfaatkan mulai dari buah, batang, serabut, dan akar. Bahkan dahulu baobab dilubangi dan dijadikan kuburan bagi penderita penyakit misterius yang kini kita kenal dengan sebutan Lepra. Buahnya unik bertekstur mirip beledu dan daunnya berguguran tidak tersisa saat musim dingin menerpa.

Selain lokasi camp kami yang unik yang diapit oleh dua pohon baobab raksasa. Saya beruntung dapat melihat salah satu pohon baobab tertua di Afrika yang terletak ujung timur taman nasional Liwonde dan merasa lebih beruntung lagi dapat memungut beberapa buah yang jatuh dari pohon baobab berusia 4000 tahun ini!

hmm, berharap untuk dibawa pulang dan dijadikan buah tangan bagi kalian 🙂

Hai dinda…

Satu-satunya tempat yang ingin saya kunjungi saat ini adalah ruangan kecil di Lantai 2 Fakultas Kedokteran UNHAS. salah satu tempat yang saya sebut rumah, tempat pertama kali saya tertarik akan bidang kemanusiaan. saya lahir dari janji yang terpatri di rumah kecil itu, di TBM Calcaneus FK UNHAS.

Banyak cerita yang menggantung indah disana, tempat saya belajar bahwa memang tidak mudah melebur, memecah tiap partikel ke-Aku-an kemudian mencipta wujud “Kita”, tempat saya belajar berhenti bersikap sinis akan mimpi dan kebersamaan, tempat saya belajar bahwa tidak ada kata tidak untuk menolong sesama dan tak ada kata “nanti” hanya ada sekarang dan saat ini. Tempat saya belajar bahwa janji yang sependek tarikan napas akan mengalir seumur hidup.

Sore ini di Afrika, saya teringat para prajurit-prajurit kecil yang kami sebut saudara telah menuntaskan baktinya setahun menjaga rumah kecil kami. ingin rasanya menyalami dan memeluk mereka satu-persatu, kembali tenggelam dalam ruang kecil di lantai dua itu.

Tapi rindu masih menggantung tinggi dan belum tersapu oleh pertemuan, biarlah sore ini saya mengirim salam melalui catatan Hai dinda. semoga sampai tepat waktunya, sebelum mentari tenggelam esok hari.

***

Continue reading

Thyolo dari Pinggir Jalan

Distrik Thyolo nama kota kecil di selatan Malawi ini, tempat kantor kami berpusat. Kota kecil di dataran tinggi dengan kebun teh tertua di Afrika. Ya Teh, tanaman hijau yang menjadi salah satu alasan Kerajaan Inggris menjadikan Negeri Nyassa ini sebagai daerah kolonisasinya.

Kehidupan disini amatlah sederhana, sepeda menjadi alat transportasi utama. Baik pribadi maupun bycyle taxi. Satu yang menarik perhatian saya adalah tidak adanya papan reklame yang umum saya dapati di kota-kota lainnya. Membuat tiap reklame yang terpasang di toko-toko kecil keperluan masyarakat menjadi adalah seni yang dilukis oleh tangan-tangan terampil.

….

Mungkin waktu berhenti di distrik ini, tapi tak mengapa. saya senang terjebak di dalamnya… 🙂