Oasis Huacachina: Elegi Cinta yang Bertahan Terlalu Lama

Photo 10-29-15, 05 23 19.jpg

Oasis Huacachina – Peru, 29 Oktober 2015 [08:33 PM]

Matahari telah meluruh sempurna saat saya dan Honney tengah duduk di La Case de Bamboo. Kami sengaja memilih restoran vegetarian ini setelah mendengar desas desus tentang Quinoa Atamalada yang konon membuat turis yang mengunjungi Huachachina akan kembali lagi dengan dituntun oleh aroma masakan ini, yang menjadi penyatuan antara ají amarillo, jinten dan kacang pinus.

Di piring datar berwarna putih, Quinoa Atamalada yang berwarna lembayung tampak menyilaukan. Ají amarillo –yang sejatinya adalah cabai kecil berwarna jingga yang ditumbuk halus- memberi warna pada quiona yang pucat. Gurihnya kacang pinus terkecap saat saya menggigit potongan-potongan kecilnya. Sama sekali tidak ada yang salah dengan statemen itu, semua yang telah mencoba Quinoa Atamalada akan senantiasa ingat rasa dan tampilannya seperti mereka mengingat terik matahari yang memanggang tengkuk mereka di gurun-gurun terpanas dunia yang memagar Ica.

We made our own ají amarillo. To keep the taste fresh, we order the chilli from Huánuco every week. Restoran yang baik akan selalu menyiapkan ají amarillo-nya sendiri.” Perempuan bertubuh tambun yang menjadi pelayan sekaligus koki di restoran ini bercerita.

“Nenek moyang kami akan menghindari garam, seks dan ají amarillo selama beberapa hari sebelum membuat persembahan kepada dewa Inca. Legend says, the gods can’t stand the heat and spicy taste of ají amarillo haha!” kata-katanya terhambur bersama dengan gelak tawa.

*** Continue reading

The Science of Smile [ Ebola; Past and Present]

Phebe – Liberia, 15th October 2015 [05:09PM]

Back in the 19th century, the great American psychologist William James proposed that our facial expression and other bodily changes are not the consequence of our emotional feelings, but the cause. There is also evidence that our facial expressions change the way we perceive the world. More theory, hypothesis and reseacrh have been published in the following years.

Unanimously, science has debunked the face of happiness.

Continue reading

ROHINGYA: In a State of The Stateless

“We need you to go to Aceh ASAP?”

It takes just one phone call before I found myself ready for my next assignment. Since I started working in the humanitarian field, there is always a dream of  going back to Indonesia and serve the nation, little did I know that the dream hasn’t been too far away?

I never been to Aceh before, but it is always on the list of province that I would love to visit since my trip to Sumatra back in 2008. I’ve heard fascinating stories about Aceh – The Mecca Solarium (Negeri Serambi Mekah) – where the nation’s heroines born and lived as a legend. When one dig deeper surpasses the Syariah Law, at the tipping point of Indonesia, you can indulge into mile after mile of white sand beach of Weh Island, a world famous dive site and Indonesia’s gem of marine biodiversity.

This special region talks turkey of politique et intric. Most of the adult still solidly remembers the dark and twisted story of the insurgence of Aceh Freedom Movement (Gerakan Aceh Merdeka) that was spread across the region, along with the fall and rise of Aceh during 2004 Tsunami.

Maybe it was the fond memory of sheer kindness of humanity experienced by people in Aceh during Tsunami that moves a group fisherman on the morning of 15 May 2015, that despite being prohibited by the sea police,bravely rescued the boats crammed with Rohingya Refugees and Bangladeshi that have been stranded in Strait of Malacca for weeks.

That was the first arrival of Rohingya refugee in Indonesia.

*** Continue reading

Satu Sore di Lhokseumawe

The story teller

Lhokseumawe – Indonesia, 10 Agustus 2015 [03:06pm]

Seperti yang dikisahkannya pada saya…

Hidupnya tidak jauh dari periuk, sumur dan sepetak warung. Saat muda dulu, sekali-kali ia menghias mata dengan celak hitam tapi itu saat suaminya belum purna. Lama-lama sekali, ia membeli sarung baru di pasar Minggu kota Lhokseukon dan dikenakannya saat hari raya tiba. Walau tinggal tak jauh, saat muda dulu tempat ini urung dikunjunginya. “Tak pantas” katanya.

Anaknya dua, satu wanita ikut suaminya hijrah ke Pidie sejak tahun 2002 dan satunya lagi pria yang terhanyut dalam romansa maskulinitas Aceh di akhir 90an. Saat konflik usai, alih-alih pulang, ia memilih merantau ke Balikpapan. Satu salam saat Lebaran tahun 2005 menjadi perjumpaan terakhir si Mamak dan Buyungnya. Continue reading

Finding Sincerity in Khaosan Road

How many bottles of beer left alone after 5AM in Khaosan Road?

***

I asked myself that silly question as I was passing by different type of people equated by bottle or more of Singha beer on their hands. Every few meters, I saw a young Thais stood between clothes markets’ stall holding giant cooler of ice crammed with beer. Some of them kept waving giant board with raggedly written “Laughing Gas” or “Low Price” bucket whisky, made me wonder whoever wrote that potentially under whatever it was they’d written on it.

I had only been to Khaosan Road once before and while I didn’t remember it fondly; I could recall that it certainly was not jammed with people as this time. It was 10 minutes past 12AM and I was restlessly waiting my friends at the corner of Dang Derm Hotel. The street wasn’t change much and every minute it kept pulsating mass of humanity. Continue reading

Kepada Rumi, Saya Patah Hati

Konya – Turkey, 28 Desember 2014 [07:40am]

 Hujan rintik-rintik menyisakan embun di kacamata saya.

Jujur saja saya paling tidak suka saat tak mampu melihat dengan sempurna. Kacamata yang berembun membuat saya pincang, buram jalan dan manusia melebur layaknya santan putih yang dituang di semangkok bubur ketan hitam. Insting pun seketika menjadi pelakon utama yang menuntun saya berjalan. Samar-samar saya melihat rupa menara hijau tinggi di seberang jalan, satu-satunya warna cerah yang mencuat di balik berundak-undak awan di atas kota Konya.

Subuh tadi seorang karib mengirimi saya sebuah surel panjang berisi refleksi dirinya setahun terakhir. Natal yang baru saja berlalu menjadi kuil untuknya berkontemplasi tentang hidup, kepercayaan, mati dan cinta. Sayang 2014 bukanlah tahun terbaiknya, karib saya ini baru saja ditinggal pergi kekasihnya. Bukan dia saja yang patah hati, saya pun dibuatnya ikut patah hati. Bagi saya keduanya adalah pasangan sempurna, layaknya lonceng kecil dan leher domba. Dalam perbedaan mereka saling melengkapi, bahkan ketika saling membenci mereka berjanji untuk tetap saling mencintai.

Surelnya adalah ungkapan patah hati, tulisannya mengingatkan saya pada hari dimana mereka berpisah dan percakapan lintas benua kami yang berlangsung hingga dini hari kebanyakan berisi hening dan seguk tangisnya di seberang sana.

The wound is the place where light enters you

Ia mengutip sajak favorit kami, disela-sela baris surelnya. Continue reading

Anjing!

Saya tidak pernah menyukai hewan ini. Setidaknya dulu, hingga beberapa waktu yang lalu. Merunut ke belakang, semuanya bermula ketika saya masih kecil. Mungkin saya memiliki fobia atau mungkin juga sekadar rasa takut yang berkepanjangan saja.

Saya yang tumbuh besar di daerah pasar di barat kota Makassar, tinggal di rumah yang terletak di gang lebar berbatas tembok belakang rumah sakit serta sebuah gudang milik saudagar Tionghoa yang tak sekalipun pernah saya temui rupanya. Ia memiliki empat ekor anjing berukuran besar dan bertampang garang. Dua diantaranya berwarna hitam beledu dengan mata kuning keemasan, telinga mereka runcing dengan monjong panjang, bulunya yang pendek tampak menyerupai kulit telanjang dari kejauhan.

Setiap hari mereka rutin berpatroli di gang kami, menggonggongi siapa saja yang melintas dalam radius kerja mereka. Satu dari mereka galaknya minta ampun, si betina berwarna cokelat – yang kala melonglong di malam hari membuat saya seketika meminta izin tidur di bawah ranjang Ayah – tak jarang mengejar siapa saja yang diendusnya mengeluarkan aura ketakutan. Continue reading

An Abundant of White

“People change for two reason; either their mind has been enlightened or their heart has been broken”

***

Seemingly I saw that phrase written at the corner of a magazine page. The old guy that sits next to me has been reading it for quite sometimes before he falls asleep soundly. It was one hour to go before the train arrives at Denizli, from the window morsel with light rain I could see the bright orange sky was slowly turning to dark violet. Swirling sound of steel hitting the bottom of rail creates a humdrum music.

There was nothing such interesting with the scenery. An abundant of orange field crisscrossing towns that looked similar one to another, every half an hour or forty-five minutes the train will stop for a while at a designated station. Beside the old man that sleeping next to me the wagon was dared empty. I counted there was a total of seven people including me and nobody seemed knowing each other. No conversation, no sound of chit chatting neither a ring of a phone. The emptiness and constant humming of the train machine felt excruciating. Continue reading

Manusia, Tuhan, Cinta dan Meja Makan yang Dibagi Dua

Selçuk – Turkey, 24 December 2014[07:12pm]

“Can I sit here? tanya dia.

Sesaat saya memandang pria itu sebelum menjawabnya dengan anggukan kepala.

“Have you ordered?” Tanyanya lagi.

“Not yet, it seems there’s only  one waiter and he’s pretty busy” jawab saya sekadarnya.

Beberapa saat kami berdua kembali sibuk dengan layar kecil ponsel kami sebelum pelayan bertubuh tambun dengan serpihan uban keperakan menyapa. Disodorkannya sebuah menu bergambar ke tengah-tengah meja, kemudian perhatiannya kembali terarah pada layar televisi yang tergantung di tengah-tengah ruangan. Continue reading

Morning Elegance

Saat pagi menguap dari balik tenda-tenda berwarna dan selesap teh hangat mengusir dingin yang meringkuk nyaman sepanjang malam adalah momen yang paling saya senangi dari berkemah. Tak perduli saat itu berarti sebuah pendakian panjang berhari-hari lamanya atau sebuah perjalanan singkat di akhir minggu, bau sekam dari sisa-sisa api unggun semalam yang basah oleh rintik hujan bekerja layaknya kafein pekat yang diteguk para pecandu kopi, memberi semangat! Saat berkemah, alam memainkan peran seorang wanita ramah yang bekerja sebagai pelayan di kedai-kedai kecil di ujung kota, memberi kenyamanan dengan apa adanya. Membuat saya enggan untuk pulang ataupun beranjak pergi dari kekaguman. Tetapi berkemah bagaimanapun senantiasa berarti sementara, satu masa, satu momen, satu kesempatan dan kemudian setelah itu selesai…

Berkemah berganti kata menjadi berkemas…

Mengepak kembali barang-barang saya, melipat tenda-tenda berwarna, mematikan sekam api dengan tanah yang basah dan menyeruput teh terakhir sebelum ia berasa dingin.
Saya membawa pulang semua beban, ransum dan sampah.

Serta meninggalkan satu saja hal: Masalah.

Dan itu lebih dari cukup untuk meringankan perjalanan pulang saya.