Anjing!

Saya tidak pernah menyukai hewan ini. Setidaknya dulu, hingga beberapa waktu yang lalu. Merunut ke belakang, semuanya bermula ketika saya masih kecil. Mungkin saya memiliki fobia atau mungkin juga sekadar rasa takut yang berkepanjangan saja.

Saya yang tumbuh besar di daerah pasar di barat kota Makassar, tinggal di rumah yang terletak di gang lebar berbatas tembok belakang rumah sakit serta sebuah gudang milik saudagar Tionghoa yang tak sekalipun pernah saya temui rupanya. Ia memiliki empat ekor anjing berukuran besar dan bertampang garang. Dua diantaranya berwarna hitam beledu dengan mata kuning keemasan, telinga mereka runcing dengan monjong panjang, bulunya yang pendek tampak menyerupai kulit telanjang dari kejauhan.

Setiap hari mereka rutin berpatroli di gang kami, menggonggongi siapa saja yang melintas dalam radius kerja mereka. Satu dari mereka galaknya minta ampun, si betina berwarna cokelat – yang kala melonglong di malam hari membuat saya seketika meminta izin tidur di bawah ranjang Ayah – tak jarang mengejar siapa saja yang diendusnya mengeluarkan aura ketakutan. Continue reading