Lhokseumawe – Indonesia, 10 Agustus 2015 [03:06pm]
Seperti yang dikisahkannya pada saya…
Hidupnya tidak jauh dari periuk, sumur dan sepetak warung. Saat muda dulu, sekali-kali ia menghias mata dengan celak hitam tapi itu saat suaminya belum purna. Lama-lama sekali, ia membeli sarung baru di pasar Minggu kota Lhokseukon dan dikenakannya saat hari raya tiba. Walau tinggal tak jauh, saat muda dulu tempat ini urung dikunjunginya. “Tak pantas” katanya.
Anaknya dua, satu wanita ikut suaminya hijrah ke Pidie sejak tahun 2002 dan satunya lagi pria yang terhanyut dalam romansa maskulinitas Aceh di akhir 90an. Saat konflik usai, alih-alih pulang, ia memilih merantau ke Balikpapan. Satu salam saat Lebaran tahun 2005 menjadi perjumpaan terakhir si Mamak dan Buyungnya. Continue reading
You must be logged in to post a comment.