Oasis Huacachina: Elegi Cinta yang Bertahan Terlalu Lama

Photo 10-29-15, 05 23 19.jpg

Oasis Huacachina – Peru, 29 Oktober 2015 [08:33 PM]

Matahari telah meluruh sempurna saat saya dan Honney tengah duduk di La Case de Bamboo. Kami sengaja memilih restoran vegetarian ini setelah mendengar desas desus tentang Quinoa Atamalada yang konon membuat turis yang mengunjungi Huachachina akan kembali lagi dengan dituntun oleh aroma masakan ini, yang menjadi penyatuan antara ají amarillo, jinten dan kacang pinus.

Di piring datar berwarna putih, Quinoa Atamalada yang berwarna lembayung tampak menyilaukan. Ají amarillo –yang sejatinya adalah cabai kecil berwarna jingga yang ditumbuk halus- memberi warna pada quiona yang pucat. Gurihnya kacang pinus terkecap saat saya menggigit potongan-potongan kecilnya. Sama sekali tidak ada yang salah dengan statemen itu, semua yang telah mencoba Quinoa Atamalada akan senantiasa ingat rasa dan tampilannya seperti mereka mengingat terik matahari yang memanggang tengkuk mereka di gurun-gurun terpanas dunia yang memagar Ica.

We made our own ají amarillo. To keep the taste fresh, we order the chilli from Huánuco every week. Restoran yang baik akan selalu menyiapkan ají amarillo-nya sendiri.” Perempuan bertubuh tambun yang menjadi pelayan sekaligus koki di restoran ini bercerita.

“Nenek moyang kami akan menghindari garam, seks dan ají amarillo selama beberapa hari sebelum membuat persembahan kepada dewa Inca. Legend says, the gods can’t stand the heat and spicy taste of ají amarillo haha!” kata-katanya terhambur bersama dengan gelak tawa.

*** Continue reading

Tentang Pasir dan Kupu-Kupu di Tengkuknya

Photo 10-28-15, 15 59 15.jpg

WHUZZZ!

Huachachina Sand Dunes – Peru, 28 Oktober 2015 [03:15 PM]

Gravitasi seakan terjungkal dan menarik segenap organ dalam rongga dada saya ke angkasa. Tubuh saya babak belur terhantam angin yang datang bagai peluru, mengiris tiap jengkal kulit dan menyisakan nyeri yang menggantung. Teriakan saya terbenam oleh raungan mesin mobil yang seakan menertawai penumpangnya. Dua puluh menit yang panjang dan tetes-tetes keringat yang berdesis sebelum menguap hilang kala ia menyentuh kerangka baja dune buggy yang kami kendarai.

Lima orang penumpang –dengan lutut masih gemetaran dan pegangan yang goyah- melompat keluar sedetik setelah mesin motor dimatikan. Mereka tak seharusnya menghabiskan seporsi besar lomo saltado siang tadi, kini gravitasi seakan menagih kerakusan mereka dan meminta irisan daging gurih dengan aroma bawang dan merica yang pekat itu untuk dikeluarkan dari perut mereka.

Tapi Honney tampaknya tidak terpengaruh sama sekali, matanya liar memandang puncak demi puncak bukit pasir yang seakan tak bertepi. Ia merayakan tiap partikel pasir yang menyusup di rambutnya dan radiasi matahari yang memanggang kulitnya sama rata dengan gurun yang kami jejaki.

“Husni stop raving and hurry up! We don’t have a lot of time, Angelito only agree to stop for 30 minutes in extremo sur. We have to keep moving”.

Continue reading