ROHINGYA: In a State of The Stateless

“We need you to go to Aceh ASAP?”

It takes just one phone call before I found myself ready for my next assignment. Since I started working in the humanitarian field, there is always a dream of  going back to Indonesia and serve the nation, little did I know that the dream hasn’t been too far away?

I never been to Aceh before, but it is always on the list of province that I would love to visit since my trip to Sumatra back in 2008. I’ve heard fascinating stories about Aceh – The Mecca Solarium (Negeri Serambi Mekah) – where the nation’s heroines born and lived as a legend. When one dig deeper surpasses the Syariah Law, at the tipping point of Indonesia, you can indulge into mile after mile of white sand beach of Weh Island, a world famous dive site and Indonesia’s gem of marine biodiversity.

This special region talks turkey of politique et intric. Most of the adult still solidly remembers the dark and twisted story of the insurgence of Aceh Freedom Movement (Gerakan Aceh Merdeka) that was spread across the region, along with the fall and rise of Aceh during 2004 Tsunami.

Maybe it was the fond memory of sheer kindness of humanity experienced by people in Aceh during Tsunami that moves a group fisherman on the morning of 15 May 2015, that despite being prohibited by the sea police,bravely rescued the boats crammed with Rohingya Refugees and Bangladeshi that have been stranded in Strait of Malacca for weeks.

That was the first arrival of Rohingya refugee in Indonesia.

*** Continue reading

Kepada Rumi, Saya Patah Hati

Konya – Turkey, 28 Desember 2014 [07:40am]

 Hujan rintik-rintik menyisakan embun di kacamata saya.

Jujur saja saya paling tidak suka saat tak mampu melihat dengan sempurna. Kacamata yang berembun membuat saya pincang, buram jalan dan manusia melebur layaknya santan putih yang dituang di semangkok bubur ketan hitam. Insting pun seketika menjadi pelakon utama yang menuntun saya berjalan. Samar-samar saya melihat rupa menara hijau tinggi di seberang jalan, satu-satunya warna cerah yang mencuat di balik berundak-undak awan di atas kota Konya.

Subuh tadi seorang karib mengirimi saya sebuah surel panjang berisi refleksi dirinya setahun terakhir. Natal yang baru saja berlalu menjadi kuil untuknya berkontemplasi tentang hidup, kepercayaan, mati dan cinta. Sayang 2014 bukanlah tahun terbaiknya, karib saya ini baru saja ditinggal pergi kekasihnya. Bukan dia saja yang patah hati, saya pun dibuatnya ikut patah hati. Bagi saya keduanya adalah pasangan sempurna, layaknya lonceng kecil dan leher domba. Dalam perbedaan mereka saling melengkapi, bahkan ketika saling membenci mereka berjanji untuk tetap saling mencintai.

Surelnya adalah ungkapan patah hati, tulisannya mengingatkan saya pada hari dimana mereka berpisah dan percakapan lintas benua kami yang berlangsung hingga dini hari kebanyakan berisi hening dan seguk tangisnya di seberang sana.

The wound is the place where light enters you

Ia mengutip sajak favorit kami, disela-sela baris surelnya. Continue reading