Chintheche District, 9th September 2012 [05:33pm]

Bus AXA ini kembali berhenti untuk ke tujuh kalinya dalam rentang waktu 7 jam perjalanan saya, tepat di kilometer 368 dari Lilongwe Ibukota Republik Malawi di sebuah ibukota distrik kecil bernama Chintheche. Sekali lagi saya dan penumpang lain harus turun untuk menjalani pemeriksaan satu persatu oleh polisi perbatasan.

Hal yang lumrah bagi mereka? Tapi tidak bagi saya…

Ini untuk ketujuh kalinya saya dijejali pertanyaan yang seragam dalam sehari, semua dengan format yang sama walau penyampaian yang berbeda…

Show me your passport…”

“Where do you come from? China? Japan? Korea?”

“Where are you going?”

“What are you doing in Malawi?”

”Diving? What is Diving?!”

Ini membuat saya berpikir, seandainya saya memilih untuk tidak menumpang bus umum, mungkin hal ini tidak akan saya alami. Sayang kali ini saya tidak mempunyai pilihan lain. Bus umum menjadi satu-satunya transportasi langsung antara Lilongwe dan Nkhata Bay, teluk tujuan saya.

Untuk beberapa hari kedepan saya akan melewatkan liburan disana. Menyelam dan melepas kerinduan serta rasa penasaran akan kehidupan bawah air di ujung utara danau Nyassa…

Beberapa detik saya tercengang, saat pertama kali menjejakkan kaki di Old Town Interbus Terminal Lilongwe. Otak saya memutar gambaran logika, berusaha menolak kenyataan pemandangan yang terpajang.

Jangan membayangkan jejeran bangku lapang dengan mesin pendingin yang memberi kesejukan di kotak besi berjalan, bus umum Malawi adalah perpaduan antara sauna, pasar dan kebun binatang!

 “INI GILA!” saya meracau dalam hati saat memasuki bus…

Di depan saya tampak manusia berjejal dengan koper-koper besar di atas kepala mereka, saling berusaha mendapatkan kursi ternyaman di barisan terdepan. Rombongan ibu-ibu dengan motif chitenje yang seragam sibuk meletakkan berkarung-karung sayur dan buah di lorong bus. Di belakang sana terdengar suara Cosa (kambing afrika), babi dan ayam saling sahut-sahutan. Bus ini tidak hanya memuat manusia dan bagasi mereka, sayur dan hewan pun menjadi pemandangan biasa.

“Is this a bus to Nkhata Bay?” saya mencoba bertanya, memastikan sekali lagi bahwa saya tidak salah menaiki bus.

“Yes, this is the bus” kondektur di depan pintu memberi saya penjelasan.

Dan setelah bersusah payah saling geser dalam lorong bus yang sempit, akhirnya saya berhasil mendapatkan sepetak tempat duduk di samping tumpukan sawi yang menggunung.

Saya tidak perlu meminta lebih, sedikit kenyamanan dalam beratnya perjalanan selalu cukup berarti.

Kasungu District, 9th September 2012 [10:22am]

“Wake up mzungu, we need to get out from the bus. Police will check the passengers!” Seorang wanita menepuk pundak saya, butuh lebih dari panasnya hawa bus, pekatnya aroma keringat dan bau pesing kotoran hewan untuk membangunkan saya dari tidur kali ini. Masih berusaha meraba keadaan, wanita itu kembali mengulang intruksi yang sama. Kami diminta turun dari bus untuk menjalani pemeriksaan oleh polisi perbatasan.

Kazungu, Chikangawa, Kande, Bandawe, Chinthece, Mukwiya hingga terakhir Nkhata Bay. Terhitung tujuh kali kami harus turun dari bus dan menjalani pemeriksaan satu persatu.

Tidak ada yang aneh dari pemeriksaan itu, kecuali bahwa kemudian pemeriksaan harus berulang tiap kali kami memasuki distrik baru.

Tapi kembali naik ke bus adalah hal yang sama sekali berbeda…

Tidak adanya nomor bangku dan sistem pertiketan yang terorganisir membuat siapa pun berhak untuk duduk dimana saja sepanjang bangku itu kosong. Maka siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia yang berhasil. Saling sikut dan lengkungan nada tinggi serta suara kasar menggema memenuhi bus dalam dua puluh menit pertama tiap pemeriksaan selesai dilakukan. Bahkan beberapa orang sempat terdorong dan terinjak saat berlomba memasuki bus.

Dua distrik pertama saya berhasil mendapatkan celah di bangku-bangku yang di jejali tumpukan kardus dan buah, beberapa distrik berikutnya saya harus berdiri di pinggir pintu. Prinsip saya, dimanapun itu saya rela sepanjang tidak berbagi ruang dengan hewan-hewan di bagian belakang bus.

Bus umum juga tidak memiliki sarana hiburan, maka perjalanan kami dihiasi oleh nyanyian para wanita yang mendendangkan lagu panen dan kesejahteraan. Satu-satunya hiburan pengukir lengkung senyum dalam perjalanan panjang kali ini….

Waktu tempuh tujuh jam yang dijanjikan kondektur bus meregang hingga sembilan jam perjalanan. Saya tiba Nkhata Bay dengan rasa lelah yang pekat, perjalanan kali ini jauh dari menyegarkan.

Tapi mungkin tidak bagi kambing, babi dan ayam yang juga menjadi penumpang. Karena mereka tidak perlu berjejal dan berdesak-desakan demi sepetak bangku di deretan depan. Tempat mereka telah tersimpan aman dan istimewa di bagian belakang.

Manusia saling sikut-sikutan dan berjuang, sementara hewan di istimewakan! Aneh memang.

Tapi inilah Afrika, selalu ada yang membuat saya mengernyitkan dahi dan memicingkan mata…

 

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s