Hai Dokter; Singsingkan Lengan Bajumu, Kejarlah Mimpi dan Matilah Sendiri!

Hidup untuk mengabdi dan mengabdi untuk mati, cukup satu kali.

***

Karachi – Pakistan, 17 Juni 2015 [00:30am]

Kala seseorang meninggal, sebagian besar dari kita senang mencari tahu tentang bagaimana ia berpulang, mengulik sisi drama dan berspekulasi tentang elegi yang ditinggalkan almarhum untuk sanak saudaranya? Tapi seringnya saya senang merayakan kehidupan, memutar kenangan baik yang berbekas dalam ingatan serta untuk sekali saja mengizinkan diri saya merasa kehilangan.

Sebagai seorang dokter, saya pun sering berjumpa dengan kematian, mungkin lebih sering dibandingkan probabilitas kamu bertemu dengan teman masa kecilmu saat reuni sekolah berlangsung. Bagi saya, kematian layaknya kawan akrab yang kau temui di warung kopi lewat pukul lima kala waktu kerja telah usai.

Elisabeth Kübler-Ross menulis dalam bukunya bahwa tiap-tiap manusia melewati lima tahapan kala dirundung duka. Berawal dari penyangkalan hingga berujung pada penerimaan, tiap-tiap individu pun melewati tahapan ini dengan jenjang waktu yang berbeda Tetapi tahapan-tahapan itu tampaknya tidak berlaku bagi dokter; kami paham bahwa mati sepasti inti atom matahari yang berfusi, ia berlaku mutlak dan tak ada sangkalan disana. Maka ketika kematian berkunjung, kami mempersilahkannya masuk, memberinya ruang dan mengizinkannya pergi membawa kemenangan atas satu kehidupan yang tak dapat kami selamatkan…

*** Continue reading

Hai dinda…

Satu-satunya tempat yang ingin saya kunjungi saat ini adalah ruangan kecil di Lantai 2 Fakultas Kedokteran UNHAS. salah satu tempat yang saya sebut rumah, tempat pertama kali saya tertarik akan bidang kemanusiaan. saya lahir dari janji yang terpatri di rumah kecil itu, di TBM Calcaneus FK UNHAS.

Banyak cerita yang menggantung indah disana, tempat saya belajar bahwa memang tidak mudah melebur, memecah tiap partikel ke-Aku-an kemudian mencipta wujud “Kita”, tempat saya belajar berhenti bersikap sinis akan mimpi dan kebersamaan, tempat saya belajar bahwa tidak ada kata tidak untuk menolong sesama dan tak ada kata “nanti” hanya ada sekarang dan saat ini. Tempat saya belajar bahwa janji yang sependek tarikan napas akan mengalir seumur hidup.

Sore ini di Afrika, saya teringat para prajurit-prajurit kecil yang kami sebut saudara telah menuntaskan baktinya setahun menjaga rumah kecil kami. ingin rasanya menyalami dan memeluk mereka satu-persatu, kembali tenggelam dalam ruang kecil di lantai dua itu.

Tapi rindu masih menggantung tinggi dan belum tersapu oleh pertemuan, biarlah sore ini saya mengirim salam melalui catatan Hai dinda. semoga sampai tepat waktunya, sebelum mentari tenggelam esok hari.

***

Continue reading