Tahun dua ribu tiga adalah kali pertama saya mendaki. Saat itu saya mengikuti proses penerimaan anggota baru di sebuah organisasi kampus. Saya yang baru dan tak mengenal alam sama sekali berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin sebagai jawaban akan begitu banyak keraguan yang saat itu saya rasakan.
Layaknya vitamin, senior-senior saya dengan telaten dan tanpa jeda mencekoki saya dengan gambaran indahnya alam di luar sana, sebagai penyemangat bagi kami untuk tak mundur dari prosesi ini. Walau terkadang secara tak sadar umpatan akan beratnya pendakian juga sering terlontar dalam candaan-candaan bebas mereka.
Lebih dua bulan saya mempersiapkan diri, mengikuti olahraga bersama rekan-rekan kelompok pendakian dan berburu perlengkapan gunung yang sebagian besar namanya tak pernah saya dengar sebelumnya.
Saat waktu pendakian tiba, tubuh saya yang ceking dijejali dengan tas raksasa yang mampu memuat sebuah tenda dan perlengkapan masak layaknya dapur ibu saya. Sepatu berat yang menderap seperti milik para tentara bersanding dengan sebuah botol air minum kecil yang saya ragukan isinya dapat bertahan memenuhi dahaga saya hingga tiba di tujuan kami nantinya.
Kemudian kami mulai berjalan, ke tempat yang sejak beberapa bulan yang lalu telah menjadi satu-satunya target hidup saya. Sungguh saya buta arah, saya hanya tahu mengekor mereka yang melangkah di depan. Kaki saya melangkah berat, pelan dan goyah
Perjalanan itu menjadi perjalanan terberat dan terlama dalam hidup saya saat itu, semangat saya mengendur dan menguap pelan-pelan. Senyum berganti dengan umpatan, dan saat itu saya berjanji tak akan pernah mendaki lagi!
Waktu berganti dan janji tinggallah janji…
Ini kali keberapa saya mendaki? Saya pun sudah tak tahu pasti. Umpatan itu masih tetap saya lontarkan, berjanji untuk tidak akan pernah mendaki lagi. Tetapi ada sesuatu di ujung perjalanan yang selalu membuat saya mengingkari janji itu.
Sekali lagi, kemudian sekali lagi… Continue reading
You must be logged in to post a comment.