Loe Valley: The Camp

Tahun dua ribu tiga adalah kali pertama saya mendaki. Saat itu saya mengikuti proses penerimaan anggota baru di sebuah organisasi kampus. Saya yang baru dan tak mengenal alam sama sekali berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin sebagai jawaban akan begitu banyak keraguan yang saat itu saya rasakan.

Layaknya vitamin, senior-senior saya dengan telaten dan tanpa jeda mencekoki saya dengan gambaran indahnya alam di luar sana, sebagai penyemangat bagi kami untuk tak mundur dari prosesi ini. Walau terkadang secara tak sadar umpatan akan beratnya pendakian juga sering terlontar dalam candaan-candaan bebas mereka.

Lebih dua bulan saya mempersiapkan diri, mengikuti olahraga bersama rekan-rekan kelompok pendakian dan berburu perlengkapan gunung yang sebagian besar namanya tak pernah saya dengar sebelumnya.

Saat waktu pendakian tiba, tubuh saya yang ceking dijejali dengan tas raksasa yang mampu memuat sebuah tenda dan perlengkapan masak layaknya dapur ibu saya. Sepatu berat yang menderap seperti milik para tentara bersanding dengan sebuah botol air minum kecil yang saya ragukan isinya dapat bertahan memenuhi dahaga saya hingga tiba di tujuan kami nantinya.

Kemudian kami mulai berjalan, ke tempat yang sejak beberapa bulan yang lalu telah menjadi satu-satunya target hidup saya. Sungguh saya buta arah, saya hanya tahu mengekor mereka yang melangkah di depan. Kaki saya melangkah berat, pelan dan goyah

Perjalanan itu menjadi perjalanan terberat dan terlama dalam hidup saya saat itu, semangat saya mengendur dan menguap pelan-pelan. Senyum berganti dengan umpatan, dan saat itu saya berjanji tak akan pernah mendaki lagi!

Waktu berganti dan janji tinggallah janji…

Ini kali keberapa saya mendaki? Saya pun sudah tak tahu pasti. Umpatan itu masih tetap saya lontarkan, berjanji untuk tidak akan pernah mendaki lagi. Tetapi ada sesuatu di ujung perjalanan yang selalu membuat saya mengingkari janji itu.

Sekali lagi, kemudian sekali lagi… Continue reading

Loe Valley: A Prolog

Saya percaya walaupun masa depan tampak lamat-lamat dan menggelap, saat kita menderap langkah maju menuju kesana tak ada kata mundur ataupun berbalik arah…

***

Lengkese, 15 Februari 2013 [11:24pm]

Malam telah pekat saat rombongan kami tiba di desa Lengkese, desa terakhir yang dapat dijangkau oleh jalur transportasi. Sebuah rumah kayu yang telah sering kami kunjungi menjadi persinggahan sementara, sebelum kami memulai perjalanan panjang menuju Lembah Loe keesokan subuhnya.

Rombongan kami berjumlah sembilan orang,  kedelapan orang lainnya bukanlah karib saya, pun umur kami terpaut sedemikian jauhnya tapi kami semua terlahir dari rahim organisasi kampus yang sama, membuat kami terikat sebuah persaudaraan unik yang menghapus segala sekat pembeda.

Continue reading

Gua dan Jejak Sejarah

“A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots” ~ Mark Garvey

 Leang-Leang – Maros, 15 November 2012 [8:33am]

Karst Maros adalah salah satu destinasi liburan favorit saya, jaraknya yang dekat dari rumah dan pesona bentangan pegunungan kapur yang meliuk panjang di tengah area persawahan hijau yang luas membuat karst terluas di dunia -setelah Karst Guilin di Cina- ini seakan tidak ada habisnya untuk di jelajahi. Di balik pegunungan hitam yang menjulang tinggi, terdapat ratusan gua bentukan alam yang jauh melintas perut bumi menyembunyikan pesona lain daerah ini: jutaan stalagtit dan stalagmit yang berpadu dengan sungai, air terjun serta danau bawah tanah.

Saya senang menenggelamkan diri ke dunia di bawah sana, menemukan diri saya dalam konstelasi alam nan megah yang menanti untuk di pendarkan oleh cahaya senter. Di dalam gua, kesunyian adalah ketentraman absolut dan pekat gelap adalah teman perjalanan yang paling ideal.

Tapi rupanya ada gugusan gua yang sering saya alpa. Leang-Leang namanya, sebuah gugusan gua prasejarah yang menyimpan misteri kehidupan manusia zaman Mesolitikum. Atas ajakan rekan saya Achied yang tengah berkunjung ke Makassar, hari ini kealpaan saya seketika terhapuskan.

Setelah perjalanan 40 menit meninggalkan Makassar, kami telah disajikan pemandangan alam yang terbentang luas di kiri kanan jalan. Karst-karst hitam legam yang diselubungi hijaunya pohon membentuk formasi bentangan alam yang sangat mengagumkan. Tidak  jarang kami menemukan formasi karst di tengah area persawahan, tak berubah, tak bergerak, tak pula dipindahkan. Manusia telah beradaptasi dan menerima kontur alam ini sebagai bagian dari tanah mereka. Sesekali kami melintas gerombolan sapi yang merumput dengan santai seakain ingin bersaing dengan para ibu yang tengah asik menikmati matahari pagi sambil bercengkrama di beranda warung-warung mereka.

Selalu ada rasa iri yang menjejak masuk melihat manusia yang dapat bersinergi dengan alam dalam suasana pedesaan seperti di sini, tak berlebih dan tak juga kekurangan. Dicukupkan.

Tak lama kemudian, kami telah sampai di kawasan Leang-leang.

Leang sejatinya berarti gua, kawasan ini memiliki dua gua yang menyimpan bukti akan adanya kehidupan manusia di jaman Mesolitikum; Salah satu periode di zaman pra-sejarah saat manusia masih hidup dalam gua dan berburu demi kelangsungan hidupnya. Pagi ini ditemani seorang polsus, kami akan merunut dan menyaksikan bukti keberadaan mereka

Beberapa menit berjalan dari pagar kawasan, kami telah tiba di atas sebuah tebing yang berfungsi sebagai pintu masuk gua. Lantai gua menjorok keluar berhiaskan bebatuan kapur berwarna putih, sangat kontras dengan karst di sekelilingnya yang berwarna hitam legam. Sulur-sulur tanaman menempel di permukaan stalagtit, menggantung jauh di atap gua seakan berusaha mencapai lantai. Memberikan kesan liar yang indah.

“Kerang-kerang ini adalah bekas sisa santapan mereka…” Sembari berjalan,polsus yang menemani kami memberi penjelasan.

Saya berhenti dan memandang fosil-fosil kerang yang membatu di pelataran mulut gua. Saya menyentuhnya dan masih dapat merasakan gulir-gulir yang menghiasi permukaan kerang. Seketika saya merinding karena takjub membayangkan 5000 tahun yang lalu ras manusia purba yang menjadi nenek moyang saya pernah bermungkim disini. Rasa takjub saya semakin menjadi saat menyadari keberadaan fosil kerang ini menjadi bukti bahwa kawasan tebing yang tengah kami daki, dahulunya adalah daerah pesisir dan lautan!

Masa ribuan tahun dilewatkan alam dengan bermetamorfosis secara sempurna, dari lautan menjadi pegunungan kapur yang menjulang tinggi. Sungguh ajaib!

Memasuki gua, suhu seketika berubah menjadi lebih dingin dan lembab. Pintu gua yang lebar memungkinkan cahaya matahari untuk masuk dan menyinari hingga ke langit-langit gua. Disana, terdapat sekumpulan lukisan berbentuk telapak tangan berjari lima -ada pula yang hanya berjari empat-, berlatarkan warna merah kekuningan. Lembab dan basah, seakan baru saja dilukis dan menanti untuk dikeringkan…

“Manusia gua memilih dedaunan khusus yang dilebur bersama batu untuk menghasilkan pewarna alami. Mereka kemudian menempelkan telapak tangan di dinding gua dan menyemburkan pewarna melalui mulutnya” polsus memberi penjelasan…

“Apa manusia purba dahulunya ada yang berjari empat?” dengan penasaran saya menunjuk lukisan telapak tangan yang hanya terdiri dari empat jari.

“Manusia purba memotong jari, sebagai tanda duka cita saat ada kerabat mereka yang meninggal, lukisan berjari empat menandakan salah satu anggota kelompok mereka ada yang telah meninggal” polsus kembali menjelaskan.

Saya bergidik!

Sesaat saya tertegun memandang lukisan-lukisan di dinding gua, silih berganti saya memandang lukisan telapak tangan yang berpadu dengan lukisan hewan menyerupai babi berwarna merah darah. Saya menyadari, kini saya tengah berhadapan langsung dengan bukti nyata keberadaan ras manusia purba di tanah ini.

Sejarah sungguh memainkan alur yang sangat apik, menyimpan misteri yang menanti untuk dikulik.

Saya tersenyum menyadari fakta bahwa kita manusia, tak peduli bentangan zaman ribuan tahun, manusia purba ataupun dengan tingkat intelegensi tinggi seperti saat ini. Kita memiliki satu kesamaan, kita semua butuh eksistensi.

Karena mereka yang tidak merekam jejak keberadaannya, akan terhapus dalam alur sejarah planet ini.

 …

Akankah kita demikian? Semoga saja tidak…