Loe Valley: A Prolog

Saya percaya walaupun masa depan tampak lamat-lamat dan menggelap, saat kita menderap langkah maju menuju kesana tak ada kata mundur ataupun berbalik arah…

***

Lengkese, 15 Februari 2013 [11:24pm]

Malam telah pekat saat rombongan kami tiba di desa Lengkese, desa terakhir yang dapat dijangkau oleh jalur transportasi. Sebuah rumah kayu yang telah sering kami kunjungi menjadi persinggahan sementara, sebelum kami memulai perjalanan panjang menuju Lembah Loe keesokan subuhnya.

Rombongan kami berjumlah sembilan orang,  kedelapan orang lainnya bukanlah karib saya, pun umur kami terpaut sedemikian jauhnya tapi kami semua terlahir dari rahim organisasi kampus yang sama, membuat kami terikat sebuah persaudaraan unik yang menghapus segala sekat pembeda.

Sudah lama saya ingin mengunjungi Lembah Loe. Sewaktu saya masih menyandang status mahasiswa baru, senior-senior kampus saya sering mendendangkan kisah tentang tanah yang digambarkannya menyerupai surga. Terbersit keinginan untuk menjejakkan kaki disana suatu hari nanti, sayang longsor hebat di tahun 2003 membuat Lembah Loe tak dapat lagi di akses. Hingga beberapa tahun terakhir saat tanah kembali tenang tanpa gejolak, harapan mengunjungi tempat itu kembali terbuka.

Perjalanan kesana tidaklah seindah gambaran akan tempatnya. Di saat matahari menyengat, perjalanan ke Lembah Loe menyerupai titian neraka, surya terasa hanya sejengkal dari kepala. Tapi apa yang kami hadapi di hari itu jauh dari semua yang pernah digambarkan! Hujan dan badai silih berganti menjadi payung langit, menaungi perjalanan kami dari pagi hingga pagi lagi. Abu-abu dan pekat kelabu menjadi warna yang mendominasi hari.

Menuju ke Lembah Loe, kami harus melewati tiga bukit sebelum berbelok ke timur dan mulai mendaki kaki gunung Bawakaraeng. Ditengah lengkung pertemuan punggung gunung, tepat di ketinggian 1900 dpl-lah Lembah Loe terletak.

Saya mulai menyusuri bukit demi bukit yang berbaris rapi menyerupai punuk unta. Permukaannya hijau diselubungi rumput dan lebatnya perdu semak. Tinggi tiap bukit tidaklah seberapa, tetapi beberapa jejas longsoran masih membekas dengan jelas di permukaannya. Saya berjalan dengan awas, memantapkan langkah demi langkah, memastikan tiap undakan yang saya tapak telah akurat dan tidak berakhir dengan bergulirnya batu-batu besar yang dapat dengan mudah mengenai rekan saya yang berjalan di bawah.

***

Tepat di atas bukit pertama saya mengedarkan pandangan ke segala arah…

Di sebelah kanan, saya memandang bahu gunung yang berdiri pongah tertutup awan, tinggi menjulang menyisakan misteri akan puncaknya: Gunung Bawakaraeng. Gunung legendaris yang secara harfiah berarti mulut Tuhan, dikeramatkan oleh para penganut sinkretisme di tanah ini, tiap tahunnya mereka berbondong-bondong ke puncak dan melakukan ritual penyembahan kepada Pencipta. Bagi mereka, puncak Bawakaraeng adalah buana tertinggi yang dapat dicapai kaki, tempat terdekat dengan singgasana penguasa bumi ini. Beruntunglah saya, dalam satu cerita pernah menjejak langkah disana.

Pandangan saya melegar ke depan, tertumbuk kaku pada lanskap di hadapan saya, tanpa terasa napas saya tertahan..

“Ini belum ada kak saat terakhir kami kesini, pasti ini baru terjadi!” Dera rekan perjalanan saya mencoba memberi penjelasan.

Seharusnya mata saya telah dimanjakan dengan sapuan panorama hijau dataran tinggi yang berpagar barisan pegunungan, begitu luas hingga ujungnya tak dapat lagi ditangkap sel-sel retina mata.  Tapi disini bumi tampak baru saja ditumpahi tinta pekat berwarna hitam kecoklatan…

Longsor meretakkan tanah, membagi bumi layaknya kepingan puzzle acak. Jalan setapak kami terputus tak menyisakan satu pun tanda. Tanah ini tak setenang yang kami kira. Dibawah sana suara air menderu, aliran sungai berkelok di antara sela-sela longsoran, mengangkut material tanah yang memberi warna gelap pada air yang sejatinya jernih tak berwarna.

Beberapa detik saya memandang kebawah kemudian mengalihkan pandangan ke rekan-rekan saya yang tengah beristirahat, sayup suara angin bergemerisik dari sela-sela mantel kami. Hujan terus mengguyur, membasahi tiap sela tubuh kami yang tak tertutup. Kami semua bergeming, mengumpulkan keping-keping tenaga. Sedikit keraguan akan perjalanan ini menyergap masuk, menyadari ada bahaya yang menggeliat gusar dan dapat terbangun kapan saja. Tapi melihat wajah-wajah rekan perjalanan saya yang bersemangat, rasa ragu pun menguap sirna.

Hati-hati kami melangkah, silih berganti derap sepatu kami menyentuh lantai bumi. Pelan kami berjalan melintasi retakan tanah akibat longsor, tak jarang kami harus berjalan di pinggir longsoran ataupun menyeberangi sungai yang baru terbentuk akibat derasnya hujan. Butuh beberapa lama sampai akhirnya kami dapat melintas daerah rawan tersebut dengan sentosa.

***

Beberapa puluh menit melangkah dari daerah longsoran, kami tiba di perhentian kami berikutnya, sebuah danau yang menyudut di dinding-dinding pegunungan hijau…

Danau ini tampak luas, permukaannya dipenuhi jutaan riak kecil akibat rintik hujan yang jatuh memecah ketenangannya. Cahaya redup matahari yang menembus pekatnya awan memperjelas warna biru kehijauan danau tersebut.

Layaknya pembuluh nadi, sebuah aliran air mengular dari puncak air terjun di selatan kemudian tumpah di salah satu sudut danau. Sudut mata saya tak sanggup menangkap keduanya dalam satu pigura pandangan, membuat saya sejenak menjadi bimbang apakah akan memilih danau atau air terjun sebagai pemanja mata yang paling utama, sungguh bukan pilihan mudah!

Kami kemudian memilih untuk melambatkan waktu, sejenak memberi jeda dalam perjalanan dan menikmati konstelasi alam nan indah ini. Rasa awas kembali di istirahatkan, saya melepas beban punggung akibat ransel yang semakin lama terasa semakin berat dan berjalan pelan menuju tepi danau. Pelan-pelan saya lepaskan kedua sepatu dan merendam telapak kaki saya kedalam air danau yang bukan main dinginnya, ruas-ruas kaki saya memutih seketika.

Tak dapat dipungkiri bahwa saya lelah. Menggigil oleh dinginnya angin dan hujan yang menerpa tanpa reda, tapi ada rasa puas dan senang yang datang seketika. Karena di tempat ini saya semakin percaya bahwa Tuhan itu Maha Adil! Disembunyikannya banyak keindahan dunia jauh dari jangkauan manusia, sebagai hadiah bagi mereka yang bersungguh-sungguh mencari dan berjalan untuk menemukannya.

***

Dan saya tak sabar menanti, hadiah apa yang disiapkan Tuhan di ujung perjalanan ini..

image

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s