Satu-satunya yang bisa saya jadikan alasan dan persalahkan atas dugaan dan gambaran saya tentang Afrika mungkin adalah film-film yang mewarnai layar kaca saya sedari kecil. Mungkin seperti juga kalian alami, Afrika yang tandus, dengan savana bergulir, hewan-hewan liar memenuhi oase, suhu serta humiditas yang tinggi, penduduk kulit gelap dengan tingkah pribumi bersahaja. Lengkap sudah! Sepertinya Tuhan meluangkan waktu dan terlena saat memasak benua hitam ini. Itu pandanganku dulu.
Kemudian, Malawi merubah segalanya. Sudah lupa saya, ini pagi keberapa saya dibangunkan oleh dingin yang menembus selimut tebal yang membungkus rapat tubuh saya dari atas hingga bawah. Di negara kecil di timur Afrika ini. Seandainya saya jenazah, mungkin saya adalah jenazah yang terindah dibalut kafan dari selimut berlukiskan bunga-bunga merekah berwarna merah. Tapi meluangkan waktu untuk berfikir, semenjak hidup jauh dari masjid, ada-ada saja cara alam membangunkanmu untuk meluangkan waktu sejenak untuk sujud di subuh hari.
Bulan ini April, dingin di Malawi tidak terkira teman! Mereka berkata ini adalah akhir dari musim hujan dan awal dari musim dingin. Bisa kau bayangkan? Musim hujan selesai, terbitlah musim dingin. Alam-pun senang menantang manusia dan kemampuan adaptasinya. Tapi saat angin timur Mozambique berhembus menurunkan suhu di negara kecil dengan kebun teh tertua di belahan Afrika ini, saat itulah salah satu pemandangan termagis yang Tuhan bisa lukis dapat saya nikmati…
Saya tinggal di pelosok desa kecil di dataran Malawi, rumah saya pun mungil adanya, ruang kecil di tengah rumah saya memungkinkanmu untuk makan,memasak, dan sujud menghadap kiblat setiap harinya. Hampir tidak ada tempat untukmu bergerak. Tapi pemandangan magis April selalu membuat saya ingin berdansa riang di rumah kecil ini. Itu semua karena kabut.
Ya, kabut! Bayangkan saat pagi dingin, kau membuka pintu rumahmu dan aliran kabut perlahan membungkusmu dan memenuhi ruang di rumahmu. Putih, seperti kapas. Dingin seperti butiran es. Kabut yang sangat tebal, sehingga kau bisa menyentuh dan berusaha menyingkirkannya dari pandanganmu. Awalnya saya merasa bermimpi dan berfikir entah bagaimana caranya saya bisa terlempar ke negeri diatas awan. Tapi tidak, kaki saya masih menapak keset kusam di depan rumah. Iya, ini sungguhan. Kabut membungkus desa ini seperti batang bambu dibungkus gulali merah jambu.
Hampir mustahil untuk melihat sesuatu lebih dari semeter di depanmu. Layaknya berenang dalam lautan kabut raksasa. Semuanya putih, dingin, dan berbayang abu-abu. Awalnya saya takut, jalan kemana saja berusaha menapak hati-hati, takut menabrak orang ataupun terperosok ke lubang. Dijalanan dan dipasar riuh kau bisa mendengar orang berbicara dimana-mana tanpa melihat sosoknya. Semua terhalang kabut. Bahkan pohon baobab besar di tengah desa tak tampak lagi wujudnya.
Kenapa bisa? Dari mana datangnya kabut ini? Dan itu tidak hanya terjadi di pagi hari, lazim saya mendapati kabut mulai dari pagi hingga petang. Bahkan matahari pun sulit menembus, sehingga apabila kau tidak mengenakan jam tangan, maka mungkin bisa terkena disorientasi waktu. Semua sama, semua putih, semua kabur.
Lama-lama saya mulai terbiasa, pagi hari bangun dan menyapa kabut yang berhamburan di tengah rumah. Jalan pun mulai tampak santainya, suara orang di sekitar menjadi penanda, sedikit demi sedikit indraku-pun mulai terasah. Kemudian semua menjadi jelas, walau kabut masih tetap memenuhi desa kami.
Hidup itu seperti juga kabut, kadang kita tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana masa depan. Beberapa hidup dengan penuh kekhawatiran akan apa yang ada didepannya. Hingga kadang kita lupa, beberapa hal dalam hidup ini ada untuk tidak dimengerti, tapi cukup untuk dirasakan, dimaknai DAN dinikmati.
Seperti berjalan di dalam kabut tebal, semakin kau berjalan maka semakin jelas apa yang ada didepanmu, suara-suara yang kau dengar akan tampak wujudnya, dan tujuan yang kau tuju semakin dekat adanya. Hidup kadang juga hanya perlu untuk dijalani dan dalam prosesnya wujud esensi perjalanan dan tujuan hidup akan tampak. Maka jangan ragu menapak dalam kekaburan sepanjang kita masih mempunyai indera dan hati. Toh, kita perlu sedikit tantangan! Bukan begitu teman?
Pagi ini masih sama, kabut belum juga sirna. Saya berjalan menuju klinik, dan berhenti di depan dapur terbuka tempat para keluarga pasien memasak shima untuk kerabatnya. Orang-orang berhenti beraktifitas, ibu-ibu yang menyanyikan lagu penyembuhan pun terdiam, kami semua tertegun memandang satu peristiwa magis pagi itu.
Kabut perlahan mengalir, menipis, kemudian menghilang. Tebaran sinar matahari menyeruak menyentuh kulit, menyilaukan. Dalam waktu singkat, seperti pesta kejutan yang baru berakhir kami pun bisa memandang semuanya dengan jelas. Dan tepat dihadapan saya, kabut membelah dan memperlihatkan lembah dan lansekap yang indah, layaknya hadiah yang baru dibuka. Saya gembira!
Mungkin Afrika tidak lagi seperti bayangan saya yang pertama, tapi Tuhan tidak meluangkan waktu lebih lama untuk memasak benua hitam tanpa alasan. Sungguh sajian yang diberikan, tidak ada yang mengalahkan! Lezat di pandangan dan mengenyangkan hati.
Kemudian saya teringat perkataan seorang teman, “bukankah bagian terbaik dari perjalanan adalah menemukan?”
Maka jangan sampai kabut keraguan menghalangimu menapak mimpi masa depan teman, karena kamu mungkin tidak akan pernah tahu. Kejutan apa yang menantimu didepan sana… 🙂