[Give Away] Memento from Malawi

Almarhum ayah saya sering mengingatkan untuk tak pernah lupa melafal “terima kasih” kepada mereka yang telah menoreh jasa dalam hidup kita. Beliau percaya bahwa gugusan aksara pendek itu menginfiltrasi jauh ke dalam sanubari tiap orang, memberi rasa senang teruntuk mereka yang kita tujukan dan menjadi jangkar bagi kita agar senantiasa membumi.

Kini, saya ingin mengucap terima kasih kepada kalian. Orang-orang yang tak semuanya sempat saya sapa dengan kata saat berkunjung ke rumah maya saya yang sederhana ini. Kepada kalian, baik yang meninggalkan jejak aksara di kolom komentar atau pun yang hanya memberi sedikit ruang di girus otaknya untuk merekam gambar ataupun susunan kata di halaman ini. Seandainya tangan saya bisa menjangkau keluar dari batasan dunia maya, saya ingin menyalami kalian satu persatu dan mengucapkan “terima kasih”.

Continue reading

Family!

Thyolo District, 26 October 2012 [03:44pm]

Saya sering menuliskan kisah tentang hidup jauh dari rumah, berbagi halaman ini dengan cerita tentang mereka yang saya temui tiap hari di  klinik kecil di pedalaman Afrika. Tanpa saya sadari, ada mereka yang kisahnya tak pernah tertulis dalam huruf dan rangkaian kata. Mereka, para tokoh yang berbagi cerita dengan saya dalam misi kali ini…

Mengemban tugas menjadi pekerja kemanusiaan di negeri ini, saya tidaklah sendiri. Misi kami mempekerjakan lebih dari 150 staf nasional yang bertugas di kantor ataupun di lapangan layaknya saya. Tapi berbanding terbalik dengan itu, kami hanya terdiri dari 7 orang pekerja asing. Mereka menyebut kami expatriat, saya menyebutnya keluarga…

Hidup sendiri dan jauh dari rumah, bagi saya mereka adalah rekan kerja, teman dan saudara. Kami berasal dari latar belakang, ras dan kebangsaan yang berbeda tapi dalam keberagaman kami menemukan sebuah sinergisme dalam hidup dan bekerja. Dari mereka saya belajar banyak hal, bagaimana saling menghargai dan bagaimana kemajemukan dapat mencipta rasa penghormatan. Continue reading

Semangkok mie, sate dan segelas teh di sudut foto sempat membuat saya tertegun beberapa saat. Kembali mengingat kapan terakhir saya menikmati sajian sederhana berbahan tepung dan kuah hangat ini, sepertinya sudah lama sekali…

Saya bukanlah penggemar berat hidangan ini, tapi lidah saya tidak pernah dikecewakan oleh liatnya adonan dan kuah hangat semangkok mie. Tidak perduli apakah itu disajikan di warung pinggiran pasar atau di ruang-ruang mewah bangunan tinggi penghias kota. Continue reading

Saya rindu berada di sana, di kedalaman samudera di ruang biru pekat tanpa suara. Laut memanggil tanpa bisa saya menjawab. Karib perjalanan saya ini bergurau mengibaratkan saya bagai ikan, ingsang saya mengerjap dan sisik saya mengering di dataran Afrika.

Ya, sungguh saya ingin sekali pulang kesana. Ke laut, tempat yang senantiasa saya sebut rumah… 

This day, I feel I lose all of them – a family

A woman of around twenty years old wearing a black dress and shabby flowerish chitenje is in the consultation room. A baby is sleeping on her lap. She hands me a small orange book with a torn cover.

Unlike in Indonesia, here in Malawi, patients keep their own medical records – a little book we call “health passport.” The soiled dull papers show that it was long time ago since her last visit to our health centre.

She has been suffering from fever and abdominal pain for two days already and decided to come to our health centre. But there is something else that catches my attention – printed on the front page of her health passport, there is an inscribed red oval shape with two horizontal lines.

She is HIV positive… Continue reading

Setiap kali saya melihat pohon Baobab raksasa, saya selalu membayangkan saat awal penciptaan mungkin Tuhan sedang bercanda dan menanamnya terbalik hingga daunnya tenggelam di tanah dan akarnya mencuat…

Tapi pohon khas Afrika ini selain ukurannya yang gigantis juga penuh dengan selaput mistis. Masyarakat Afrika percaya bahwa baobab itu bernyawa dan segala bagian tubuhnya bisa dimanfaatkan mulai dari buah, batang, serabut, dan akar. Bahkan dahulu baobab dilubangi dan dijadikan kuburan bagi penderita penyakit misterius yang kini kita kenal dengan sebutan Lepra. Buahnya unik bertekstur mirip beledu dan daunnya berguguran tidak tersisa saat musim dingin menerpa.

Selain lokasi camp kami yang unik yang diapit oleh dua pohon baobab raksasa. Saya beruntung dapat melihat salah satu pohon baobab tertua di Afrika yang terletak ujung timur taman nasional Liwonde dan merasa lebih beruntung lagi dapat memungut beberapa buah yang jatuh dari pohon baobab berusia 4000 tahun ini!

hmm, berharap untuk dibawa pulang dan dijadikan buah tangan bagi kalian 🙂

Thyolo dari Pinggir Jalan

Distrik Thyolo nama kota kecil di selatan Malawi ini, tempat kantor kami berpusat. Kota kecil di dataran tinggi dengan kebun teh tertua di Afrika. Ya Teh, tanaman hijau yang menjadi salah satu alasan Kerajaan Inggris menjadikan Negeri Nyassa ini sebagai daerah kolonisasinya.

Kehidupan disini amatlah sederhana, sepeda menjadi alat transportasi utama. Baik pribadi maupun bycyle taxi. Satu yang menarik perhatian saya adalah tidak adanya papan reklame yang umum saya dapati di kota-kota lainnya. Membuat tiap reklame yang terpasang di toko-toko kecil keperluan masyarakat menjadi adalah seni yang dilukis oleh tangan-tangan terampil.

….

Mungkin waktu berhenti di distrik ini, tapi tak mengapa. saya senang terjebak di dalamnya… 🙂

A Journey to Thekerani.

A typical Monday for me begins with a 4WD ride over unpaved roads from the small town of Thyolo heading to Thekerani village where I spend most days of every week working.

 Nowadays, it has been very cold already. Last May, the rainy season has ended and the thick fog marked the beginning of winter.

Similar to many Asians, Africa in my imagination is barren, dry land, scorching hot weather, and packed with wild animals. It never crossed my mind that winter exists here. There is no snow but temperatures can drop to 6 degree celcius!. It is cold enough to make my tropical blood shiver. I am not prepared. Continue reading

92 Hari yang Lalu di Cape Maclear

I need a holiday soon!” ujarku pada Andy beberapa hari yang lalu saat memandang antrian pasien yang tiada berujung.  Entah mengapa, hiburan paling menyenangkan walau hanya berupa pikiran adalah liburan. Dan itu membuat saya kembali memutar rekaman kenangan 92 hari yang lalu ke Cape Maclear di Lake Malawi.

Saya sebagaimana layaknya orang Indonesia lain yang lahir dan besar bertemankan laut dan garam, selalu ada kerinduan akan pantai dan ombak. Sayangnya di landlocked country ini yang berbataskan daratan negara lain, pantai dan laut adalah hal yang mustahil ditemui. Lake Malawi adalah satu-satunya tempat dimana saya bisa berenang dalam kolam renang raksasa buatan Tuhan.

Tepat libur paskah, saya dan beberapa kolega dari MSF Belgium dan MSF Paris memutuskan untuk berkunjung ke Cape Maclear, salah satu titik di sepanjang garis pantai danau yang menempati posisi ketiga sebagai danau terbesar di Afrika. Saking luasnya danau ini, sehingga dia memuat 1//3 bagian dari Republik Malawi. Beberapa kali saya sempat tertidur dalam mini van yang kami kendarai saat memasuki wilayah distrik Manggochi, dimana birunya danau telah terlihat, terbangun beberapa jam kemudian dan masih mendapati pemandangan yang sama. Dan Cape Maclear yang kami tuju masih beberapa jam lagi jauhnya.

Hamparan pemandangan pulau-pulau kecil tersebar di sepanjang jalan serta horizon yang tak berujung. Apabila tak ada yang memberi tahu sebelumnya, saya akan dengan mudah menyangka bahwa Lake Malawi yang dikenal juga sebagai Lake Nyassa sesungguhnya adalah lautan. Malawi berbagi danau raksasa ini dengan Mozambique dan juga Tanzania. Continue reading

No Money, No Cry

Dalam tiga hari sejak diumumkannya mantan Presiden Bingu Wa Mutharika terkena serangan jantung, wakil presiden Jocye Banda merubah wajah negara kecil ini dengan menjadi presiden wanita pertama di Republik Malawi.

Dan banyak yang menarik untuk diperhatikan dari kepemimpinan Joyce Banda. Setelah mengembalikan bendera nasional Republik Malawi ke desain bendera lama [yang oleh almarhum presiden Bingu Wa Mutharika sempat diganti] kali ini dia mengeluarkan uang dalam pecahan dan desain baru!

Bagi saya desain baru ini cukup menarik, mengingat desain lama yang monoton (hanya bergambar satu orang yang sama yaitu John Chilembe, pejuang kemerdekaan Malawi) serta cukup besar (lupakan untuk menyimpannya dengan rapi dalam dompet). Desain baru lebih variatif dan ukurannya lebih bersahabat. 🙂

Selain itu adanya tokoh wanita Rose Chibambo yang mendapat kehormatan untuk tertera di pecahan 200 Kwacha yang baru, bagi negara yang sebagian penduduknya masih memandang emansipasi dan kepemimpinan wanita dengan sebelah mata cukup memberi angin segar bagi para A mai- A mai pendukung kesetaraan gender.

Sayangnya devaluasi membuat nilai mata uang Malawi merosot tajam, menyebabkan harga-harga melonjak naik dan masyarakat semakin tercekik oleh kokohnya dominasi mata uang asing.

Saya masih menunggu warna-warni mata uang baru ini bisa sedikit memberi harapan bagi kelabunya kehidupan masyarakat marginal Malawi…

Setidaknya untuk membeli sebotol Kuchi-Kuchi dan bernyanyi. 🙂