Romance of Pakistan

Karachi – Pakistan, December 13th 2014 [10:22am]

 Jika kalian lelah seperti saya, mari sebentar saja berjalan-jalan dalam cerita…

***

Ayah saya pernah bercerita tentang destinasi impiannya; Hippie Trail, sebuah jalur alternatif yang membentang dari negara-negara di Eropa, melintas Iran, Syria, Pakistan, Afghanistan dan India sebelum berakhir di pinggir-pinggir pantai di Bangladesh atau Thailand. Jalur ini menjadi salah satu favorit para pejalan hippie atau bagi mereka yang mencari pencerahan dari filsuf-filsuf timur.

Hingga awal tahun 70an Iran, Syria dan Pakistan membuka pintunya lebar-lebar bagi para pelancong lintas benua. Negara-negara itu menjadi surga yang dapat dijangkau hanya dengan menumpang kereta. Anak-anak muda Eropa dengan tampang kucel dan baju seadanya dengan mudah dijumpai sedang bersantai sembari menghisap Hashish di atap-atap motel murah di Peshawar ataupun Lahore.

Cerita berubah saat Rusia menginvasi Afghanistan dan Iran terlibat sengketa dengan tetangganya Irak, Hippie Trail menjadi terlalu berbahaya untuk disebut sebagai destinasi wisata. Pintu surga itu pun tertutup rapat-rapat saat gelombang revolusi Islam memasuki Pakistan. Wajah negara ini pun berubah, sejak saat itu hingga kini.

***

Sedari dulu saya telah memasukkan Pakistan dalam destinasi impian saya. Desa-desa di Khyber Pakhtunkhwa yang berpagar gugusan puncak-puncak Himalaya dengan gadis-gadis pashtun bermata senada jedi dibalik cadar-cadar berwarnanya, keindahan lembah Swat yang konon dapat dipertandingkan dengan gugusan lembah di Switzerland dan Kashmir yang menjadi patron bagi para pecinta olahraga berburu mengundang rasa ingin tahu saya.

Maka saat saya ditawarkan untuk bertugas ke Pakistan selama beberapa bulan, sulit bagi saya untuk berkata tidak. Saya sempat merasa was-was saat memberi tahu Ibu saya, meminta restunya untuk menetap di negara yang menduduki salah satu peringkat tertinggi negara paling berbahaya di dunia. Negara di mana teroris dan gerilyawan bersenjata menemukan rumah dengan mudah. Tapi rupanya beliau merasa lega, “Pakistan negara Islam, Insyaallah kamu akan baik-baik saja” ujarnya.

Saya mengamini…

Perjalanan saya dimulai di Islamabad; Ibukota Pakistan yang terletak di utara. Hari jumat, kota administratif ini sangat lengang. Saya menduga sebagai negara Islam, hari ini adalah hari libur nasional layaknya minggu bagi kebanyakan negara yang lain. Tapi rupanya saya salah, kota ini lengang sebab para penduduknya urun keluar rumah.

MQM  yang merupakan salah satu partai politik Pakistan tengah melancarkan demonstrasi besar-besaran, menyambut kedatangan pemimpinnya Altaf Hussain yang selama ini mengasingkan diri ke Inggris akibat ancaman pembunuhan.

Para tamu di hotel yang saya tumpangi pun sepanjang hari bergeming memandangi layar kaca di ruang makan, menyaksikan gelombang demonstran bersitegang dengan polisi dan suara dentuman senapan yang berselang-seling dengan takbir yang berkumandang.

Saya yang semula harus meninggalkan Islamabad menuju Karachi terpaksa melewatkan satu ekstra malam sebab bandara internasional Benazir Bhutto ditutup dan semua penerbangan baik lokal dan internasional dibatalkan.

***

Pakistan adalah negerinya para lelaki!

Ujar saya dalam hati saat bergegas keluar dari bandara internasional Jinnah di Karachi. Sejauh mata saya memandang, jumlah perempuan dapat dihitung dengan jari dan jangan pula berharap menemukan perempuan yang berjalan sendiri. Pria berparas layaknya pedagang-pedagang sutera timur tengah ataupun berkulit legam seperti pelaut-pelaut Bangladesh berseliweran dimana-mana. Semua mengenakan Shalwar Kameez yang menjadi pakaian nasional negara ini.

Kota ini menjadi salah satu kota terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk mencapai 20 juta jiwa dan terdiri dari beragam etnis dari daerah selatan Asia dan timur tengah. Di Karachi, si kaya dan si miskin sekontras hitam dan putih. 30 menit dari pusat kota, Katchi Abadi/pemungkiman kumuh terserak dimana-mana, menjadi rumah para gelandangan, benteng perlindungan imigran gelap Afghanistan, markas gerombolan militan Taliban dan ruang kerja saya selama sembilan bulan kedepan…

Saat Asghar; pria yang menjemput saya di bandara berkata bahwa Karachi menyandang predikat kota paling berbahaya di dunia saya menduga bahwa itu hanya ungkapan metafora semata. Hingga akhirnya saat melihat pria-pria bersenjata yang berseliweran dimana-mana serta kakek-kakek tua yang duduk bersantai mengirup Chai dengan shotguns diselempengkan di punggungnya, saya pun mengangguk setuju.

Saya sempat meragu, mungkin kali ini firasat ibu saya terpaut jauh dari benar…

***

Saya tak habis pikir, bagaimana seorang Benazir Bhutto dapat berkuasa di negara ini? Terlahir sebagai wanita Syiah di negara maskulin yang didominasi pengikut Sunni? Atau si kecil Malala Yousafzai berdiri kokoh di bawah todongan senjata-senjata besar Taliban?

Jawaban itu kemudian saya temukan setelah beberapa bulan menetap di negara ini.

Pakistan rupanya melipat romantismenya rapat-rapat!

Ada ruang cinta dibalik diamnya para pria Pashtuns berjanggut lebat yang duduk sabar sepanjang hari menemani istrinya mengatri di klinik kami. Atau para pria-pria muda yang terpanggang surya diatas bus-bus antar kota demi memberi ruang kecil sempil di dalam bus bagi wanita-wanita tua yang tak kuat berdiri.

Bagi masyarakat Sindhi, Pashtuns, Balochi ataupun Bengali, jabat tangan erat atau pelukan hangat dengan mudah dijumpai oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Senapan tak ubahnya sebuah selendang saat para pria Pashtun mulai melingkar dan menarikan tarian Mahsud Attan, melangkah berirama sembari mengokang bedilnya.

“ You should come and visit Swat someday, you and Daniel. I will show you around” Jehangir, salah satu perawat di klinik saya berujar.

“I would love to. I heard it’s picturesque!”

 “It’s too much beautiful, the food is delicious and the people are friendly” berapi-api Jehangir mempromosikan daerah asalnya.

“Too much, haha I like it when you refer a majestic place with “too much beautiful”“  sembari berkelakar saya berujar.

“But I heard it also very conservative, like other part of Pakistan no? I mean, do you feel confortable with that, do you feel free?“ dengan hati-hati saya bertanya, berusaha tidak menyinggung perasaannya.

“I think freedom either a conservative or liberal is a matter of perception. You can be liberal but it doesn’t mean you are a liberate man with options. Someone might be conservative but with a freedom of choice and they chose to be a conservative.” Jehangir mencoba menjelaskan.

As my question, are you free to choose your freedom doctor shab?” Kali ini ia balik bertanya.

“I think so…” Jawab saya.

“Do you think so? Or do you feel so?” lanjutnya memburu jawaban.

***

Saya pun terdiam dan melemparkannya sebuah senyuman…

3 thoughts on “Romance of Pakistan

  1. saya kadang sedih melihat negeri-negeri yang mayoritas penduduknya muslim kini banyak yang tidak seindah dulu lagi karena konflik. Keamanan seakan menjadi harga yang mahal untuk didapatkan, sehingga banyak orang yang berpikir 100 kali kalau mau berkunjung kesana.
    terlepas dari itu, Pakistan masih menjadi salah satu negeri impian saya, entah kapan.

    Like

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s