Janus dalam Mozaik-Mozaik Kecil

Processed with VSCO with acg preset

Some people call me a polluter, others say I’m an artist. I prefer to think of myself as an invader.” ~ Invaders, 1973

***

Brussels – Belgia, 23 Desember 2017 [09:23am]

Brussels bagi saya layaknya bangku di peron stasiun kereta, tempat saya menunggu dan menuju perhentian berikutnya. Ia disinggahi kemudian melesap tanpa pernah benar-benar saya kenali. Tetapi itu pula yang membuat kota ini – tempat kantor saya berlokasi- istimewa, di persimpangan ini saya bertemu dengan banyak orang yang menorehkan cerita dan kisah dalam hidup saya, maka pertemuan dengan mereka di Brussels senantiasa menjadi hal yang saya nantikan tatkala kembali ke kota ini.

Apa yang menarik dari Brussels?

Saat menuliskan ini, saya mencoba-coba mengingat beberapa objek wisata yang pernah saya kunjungi. Tetapi layaknya kota lain di benua biru, bangunan bergaya Renaisans dan patung-patung kolosal yang menghias pusat kota tampak begitu generik dan tak bermakna. Mungkin saya perlu memberitahumu tentang Bia Mara, sebuah restoran yang menyajikan olahan ikan dan kentang yang membuat sajian khas Inggris dan Irlandia menjadi tampak kecil di negara asalnya ataupun tentang Le Fin de Siècle; restoran Belgia yang tersembunyi di lorong kecil Rue des Chartreux yang tak pernah sepi. Sajian kelinci berbalut saus beri yang begitu gurih membuat saya senantiasa kembali. Menziarahi kedua tempat ini menjadi hal wajib tiap kali saya mengunjungi Brussels.

Tetapi selain itu, saya tidak menemukan hal yang menarik. Atau mungkin lebih tepatnya, saya belum menemukan hal yang menarik…

***

Continue reading

Tatkala Ia Bersolek, Saya pun Terpana!

Processed with VSCO with a5 preset

London – Inggris Raya, 10 Desember 2017 [11:22am]

Salju pertama turun delapan hari yang lalu, ia kasar dan tak beraturan. Terlalu tipis untuk memutihkan pekarangan dan lantai kota. Ia menguap hilang berganti hujan tebal yang menggantung lama. Salju tak pernah bersahabat dengan kota ini, begitu pikir saya.

Lebih setahun menamai kota ini sebagai rumah, salju adalah barang langka yang hanya singgah beberapa menit saja, teman-teman saya yang tumbuh dan besar di kota ini pun mengamininya. Beberapa dari mereka melewatkan dekade – dekade hidup dengan dapat menghitung jari berapa kali hujan salju berkunjung.

London yang muram dan kelabu adalah gambaran yang setiap harinya saya dapatkan, tetapi itu pula yang membuat saya mencintai kota ini. Karena dibalik bilik-bilik rumah di ruas jalan, terdapat lampu dan pemanas yang senantiasa dinyalakan, ruang makan senantiasa diliputi aroma masakan, pub yang bingar, kedai kopi yang menghangatkan serta orang-orang yang membuat saya merasa pulang.

Tetapi pagi ini saya terbangun di tengah hujan salju yang lebat, begitu lebatnya ia memutihkan kisi-kisi jendela saya dalam sekejap. Matahari yang biasanya muncul sesaat sebelum pukul sembilan tidak lagi tampak, langit layaknya diselubungi kelambu tipis. Dari puncak-puncak rumah yang berbagi pagar, cerobong asap memuntahkan uap perapian, pohon-pohon yang mengering kini berdaunkan bunga es, jalan serta gorong-gorong pun berselaput tua.

Wajah London berubah dalam semalam dan untuk sesaat saya tidak mengenali kota ini!

*** Continue reading

Ikan Mas Turut Menertawakan Kelemahan Kita

Processed with VSCO with c6 preset

Mungkin ini saatnya untuk berhenti mengumpulkan dan mulai perlahan melepaskan…

London – Inggris Raya, 12 November 2017 [03:04pm]

Satu pagi enam bulan yang lalu saya bangun lebih awal dari biasanya dan bergegas mengeluarkan sebagian besar baju yang menggantung di lemari. Saya memilah pakaian, sepatu, topi, hingga kaos kaki yang terlipat rapi di laci-laci kayu dan memindahkannya ke kantong hitam yang dengan cepat terisi dan menggelembung.

Kotak kardus yang tergeletak di lantai perlahan mulai penuh dengan lembaran kartu pos dari kerabat, beragam hadiah, suvenir yang rutin saya kumpulkan dari berbagai kota dan negara, serta foto yang selama ini telah mengekalkan kenangan saya tentang orang-orang penting yang pernah bersinggungan. Setelahnya, saya menutupnya rapat-rapat, membawanya ke tempat pengumpulan donasi dan melepaskannya pergi mencari tuan yang baru.

Pagi itu saya memandang kamar yang kosong…

Meja belajar saya tak lagi bersolek dengan banyak benda, hanya tumpukan buku yang masih tertinggal di sana.

Lemari saya pun kini tampak telanjang, hanya terisi beberapa lembar baju, celana serta sepatu.

Saya tercenung untuk sesaat, mencoba menelaah keputusan saya satu jam yang lalu untuk melepaskan sebagian besar benda yang telah saya kumpulkan selama beberapa dekade.

Dan saya tidak pernah merasa lebih lapang dan bebas dari saat itu!

*** Continue reading

Tak Ada Filosofi di dalam Kopi Kami Pagi Ini

Processed with VSCO with a2 preset

Matahari di musim gugur layaknya gadis perawan di sarang penyamun, ia menjadi begitu berharga, sehingga kala ia terbit tak ada pekerjaan lain yang lebih penting dibanding menikmati sekejap waktu saat ia bertahta.

***

Winchester – Hampshire, 28 Oktober 2017 [10:25am]

Saat ramalan cuaca memberi tahu bahwa Sabtu ini wilayah tenggara Inggris akan dihujani cahaya matahari, saya dan rekan saya Nick menanggalkan pekerjaan rumah yang menumpuk dan memutuskan untuk mengunjungi Wincester, sebuah kota kecil berjarak 68 mil di tenggara London. Nama Winchester muncul seperti kelinci dari topi pesulap, Nick tetiba teringat nama kota yang pernah didengarnya ini dan menyarankan kami untuk berkunjung kesana.

“I’ll drive us to Winchester, we can go for a walk and lunch before heading back to London in the afternoon” katanya. Saya yang hanya pernah ke tiga kota lain di Inggris selain London tidak akan menolak sebuah ajakan mengunjungi kota baru. Berbekal GPS yang menjadi penunjuk arah dan dua cangkir kopi, kami bergerak meninggalkan London di Sabtu pagi. Saya menyukai kopi yang dikawinkan dengan susu kedelai dan Nick senantiasa memilih kopi pekat yang diseduh cepat.

Bagi saya, kopi adalah ritual, layaknya segelas air dingin saat bangun pagi dan sebait ucapan “selamat malam” yang saya kirimkan saat beranjak tidur untuk adik-adik dan ibu saya. Kopi pun tidak memiliki identitas, kopi yang enak bukan berasal dari biji kopi yang ditanam di tanah dengan nama unik ataupun diseduh dengan beragam metode yang hingga kini tak mampu saya hapalkan satu persatu. Sebagai pembuka hari, kopi cukup dengan sekadar hadir, tak peduli ia terseduh dari teko di dapur, tersedia dalam tiga puluh detik dari restoran cepat saji di sudut jalan, ataupun hadir dalam cangkir tanah liat berhias latte art dari gerai kopi masa kini yang tumbuh layaknya cendawan di musim hujan.

Adalah waktu dan pengalaman yang dihabiskan tatkala mengecap kopi yang menjadikan ia bermakna.

Dan pagi ini, kopi kami berpasangan dengan sejarah dan agama…

*** Continue reading

Kidung Malam Ini

Processed with VSCO with a5 preset

London – Inggris Raya, 25 Desember 2016 [05:20 PM]

Kau dan aku adalah lantunan bait-bait yang dinyanyikan alam raya dalam bisunya…

***

Saya melewati gang kecil di sisi selatan Stasiun Euston kala segerombolan anak kecil tengah berbanjar rapi dan melantunkan Christmas Carol. Topi-topi santa menghiasi kepala mereka, tampak sesuai dengan senyum yang mereka kembangkan. Seorang anak berkulit gelap menenteng ember plastik berisi beberapa receh koin dan kertas.

“Would you share your spare for children with Cancer Sir?”

Ia menodongkan ember tersebut ke arah saya yang memelan dan menikmati lantunan nyanyian mereka.

“Sure…” Beberapa receh koin pun saya letakkan.

Tebak saya, usia mereka rata-rata tak lebih dari sepuluh tahun. Gigi mereka bergemeletuk memberi irama pada lagu “Silent Night” yang tengah mereka nyanyikan. Mungkin bagi mereka ini adalah sebentuk kesenangan dan hiburan, tapi tak ada yang dapat menepis sebait pengorbanan disana, berdiri dengan kaki kecilnya, menantang suhu musim dingin London yang senantiasa menggerutu dan tak bersahabat. Semua untuk manusia yang tak mereka kenali nama dan rupanya.

Perayaan agama senantiasa memperlihatkan sisi baik dari manusia, ia hadir dalam rupa Natal ataupun Lebaran yang dapat saya jumpai di belahan bumi manapun saya bersinggungan dengan bulan suci itu. Pada kebiasaan nenek saya yang berbagi setengah pesangon pensiun suaminya sang tentara, untuk pengemis-pengemis yang berderet di pagar kantor pos saat hari raya tiba. Pada kebiasaan rekan saya, seorang pria Malawi bernama Andy yang senantiasa menyelipkan kwacha – kwacha (mata uang Malawi) untuk para wanita tua penderita HIV-AIDS, yang berbagi bangku gereja dengannya kala misa Natal berlangsung. Dan pada tiap-tiap rekan kerja saya, yang meninggalkan kenyamanan dan hangatnya keluarga untuk menjawab panggilan kemanusiaan di sudut-sudut bumi tempat kami bertemu.

Dari mereka saya belajar bahwa dengan berbagi, manusia mencukupkan dirinya.

Continue reading

Today I’m with Liberia

Monrovia – Liberia, 08 October 2015

Dolo was nine when he first time wandering the hospital alley. Back at that time his papa carries the job of a registrar cum clerk. He used to sat after his class until the hospital bus carried them both back to Gbanga in the evening.

“I met my wife in the ER, she was a nurse student who’d taken care of my friend. He’s severely drunk after passed 9 bottles of Club. The drink is serious eh!” He chuckled while told me the story.

Dolo was twenty when he married the love of his life. They had a ceremony at the county’s chapel and held a small ball at the hospital cafetaria. “I danced with her mother and my father took my wife’s hand after the third song.” He reminisced.

Back then, the hospital was his childhood, his romance and his best friend.

Dolo was twenty five when his wife and father were passed away due to Ebola.

I saw them carried my wife to the ETU, five days later it was my dad. Five days later, I saw them in a body bags…”

I looked at him with admiration of the extent patience and courage he has.

Sorry to hear that, I could imagine it wasn’t easy for you…” 

His smile sparsed.

I stand for my daughter, after all the lost, I stand for what left…”

Aren’t we all the same…

Satu Cerita dalam Ratusan Langkah 

Pernah empat kali dalam hidup saya menandai batas kemampuan fisik dan mental saya dengan pencapaian yang tidak pernah saya duga sebelumnya…

***

Yang pertama di tahun 2004, kala itu usia saya 19 tahun, dengan tubuh ceking dan fisik pas-pasan saya ditugaskan sebagai tim medis di sebuah Lomba Cross Country Wisata. Semua rencana menjadi bencana tatkala saya dan seorang adik kelas terpisah dari rombongan utama, membuat kami harus menjelajah rimba dan melintas dua lembah dalam dua malam, tanpa tenda, peta dan penerang. Tak ada api untuk mengubah berliter-liter beras di pundak saya menjadi nasi, serta tak ada jubah tenda untuk membangun kerangka-kerangka besi di tas saya menjadi tempat berteduh kala hujan deras di malam pertama, kami tidur beralaskan tanah dan berselimut satu ponco.

Dua hari kami bertahan dengan air hujan dan segumpal gula merah yang kami jilati kala perut keroncongan atau kepala mulai pening akibat kekurangan energi. Kesialan bertambah saat sepatu adik kelas saya rusak, kami yang berusaha memburu jejak matahari harus melambat mengikuti ritmenya. Saya pun memutuskan untuk memberikan sepatu saya padanya dan berjalan dengan satu kaos kaki bolong melintas hutan, gunung, menyisir lembah dan menepis semut-semut merah dan lintah yang tak henti-hentinya bergantungan di sela-sela kaki dan betis saya.

Beruntung di malam kedua kami bertemu dengan rombongan utama dan berhasil pulang dengan selamat. Sejak itu saya belajar; Agar jangan pernah mendaki gunung tanpa kaos kaki cadangan dan senantiasa menyelipkan gula merah dan doa di sela-sela langkah.

Yang kedua di tahun 2013. Kala itu saya dan dua orang teman bersepeda melintas desa Tikongko menuju kota Bo di Sierra Leone. 50 kilometer seakan meregang saat matahari di atas kami menguapkan tiap jengkal keringat. Suhu siang itu mencapai 40 derajat dan Ramadhan tak membuat hari menjadi lebih mudah.

Kerongkongan saya kering kerontang tapi saya berusaha sekuat tenaga untuk menepis rasa haus jauh-jauh. Sial lagi-lagi menghampiri dan salah satu rekan saya tak lagi kuat mengayuh pedal, menyisakan saya dan seorang wanita yang harus menggotong sepeda dan menopangnya hingga temaram lampu kota terlihat di kejauhan.

Sejak saat itu, tak lagi-lagi saya menerima ajakan bersepeda!

Yang ketiga kala usia saya 22 tahun. Di ICU salah satu rumah sakit, ayah saya menghembuskan napas terakhirnya. Setelah berbulan-bulan berjuang melawan Leukimia akhirnya di satu siang perjalanan beliau pun purna. Waktu seakan berhenti kala monitor di sisi kirinya tak lagi menandakan ia ada. Saya masih membisikinya lantunan ayat suci, genggamannya pun masih hangat terasa. Isak tangis Ibu dan adik-adik saya membuncah seketika, tak lama berselang tubuh kaku beliau telah basah oleh tangis hangat kerabat dan saudara.

Tapi ada sesuatu yang membuat saya tak meneteskan air mata, sesuatu yang tak saya ketahui mengapa. Saya memeluk keluarga saya yang kini tak lagi sempurna, menimang adinda saya yang terkecil dan tak urung menangisi kepergian ayah saya.

Beberapa minggu berselang setelah pemakamannya dan saya tengah merapikan jejelan baju yang menggunung, saya terantuk pada potongan tiket bioskop terakhir yang saya dan ayah saya kunjungi, beberapa hari sebelum ia pergi. Saya memandangnya lekat-lekat dan tanpa saya sadari air mata saya pun jatuh pelan-pelan.

Saya menangis. Terisak sendiri menyadari besarnya tanggung jawab yang kini saya emban, menyadari tak ada lagi ayah yang menjadi pelarian segala remeh temeh masalah hidup, enam kepala yang kini akan mendongak kepada saya saat dirudung masalah dan masa depan yang mau tak mau harus saya tantang sendiri. Sejak saat itu saya menutup lembaran hidup sebagai pemuda dan melangkah menjadi lelaki dewasa serta kepala keluarga.

Yang keempat?

Saya akan menceritakan sedikit lebih panjang tentang itu…

*** Continue reading

Cerita Tentang Kamu. Dan Hal-hal yang Tak Terlisankan.

 
 Lima – Peru, 27 Oktober 2015 [00:07am]

Saya melintas setengah lingkar bumi dalam empat puluh jam terakhir! 

Dan masih belum percaya bahwa saya baru saja menggenapkan daftar penerbangan tergila saya; Afrika ke Latin Amerika! Dari Atlantis ke Pasifik, transit di empat negara, saya bisa memberimu hipotesa baru tentang cara menilai sebuah bandara dari empuknya jejeran kursi di ruang tunggu atau menornya dandanan petugas informasi. 

Tapi mari menyimpan cerita itu untuk lain waktu karena malam ini untukmu.

Cerita tentang kamu. 

Ya kamu yang telah menyempatkan diri dan membagi waktumu untuk berkunjung kesini. 

Saya teringat beberapa tahun yang lalu saat pertama kali mulai berbagi cerita di blog, pekerjaan yang pada mulanya adalah media bagi saya untuk mencegah stress dan berkontemplasi tentang hidup saya dan hidup orang-orang di sekitar saya tak lebih dari ruang pribadi. Hingga kalian datang dan menjadikannya rumah kalian, cerita kalian dan kisah-kisah yang melengkapi kisah yang bertunas disini.

Di saat saya merasa jatuh, membaca pesan dan apresiasi kalian senantiasa menyemangatkan. Tak jarang pesan-pesan yang kalian berikan bagi orang-orang di blog ini, pasien-pasien yang pernah saya tuliskan disini sebisa mungkin saya antarkan ke tujuannya. Dan untuk itu saya harus memberitahumu tentang betapa bahagianya mereka mengetahui bahwa di balik batas-batas yang mereka kenal, ada orang asing yang menyampaikan salam dan  mendoakan. Oh Tuhan! Seandainya saja kalian bisa melihat semburat senyum atau gelak demi gelak tawa mereka, dua hal yang tak dapat saya temukan padanan diksi sempurna untuk menggambarkannya. 

Terima kasih!

Continue reading

Aturan Aritmatika di Pantai Monrovia

Monrovia – Liberia, 24 Oktober 2015 [09:12am]

Pagi-pagi sekali saya merapikan diri dan bergegas ke teras belakang penginapan. Jalan pagi itu sedang lengang-lengangnya dan pokok bunga kamboja yang ditanam pemilik hotel masih basah oleh hujan semalam.

Sudah dua bulan saya menetap di Liberia tapi belum sekali pun pernah menginjakkan kaki di daerah pesisirnya. Sebagai anak yang besar di pantai, saya seakan menjadi pecundang dan ingin menutup muka karena malu layaknya seorang kemenakan kualat yang saban kali bertandang ke kota tak pernah singgah di rumah tantenya.

Tiap kali ke Monrovia, saya meniatkan diri untuk berziarah ke pantai, tetapi tiap kali pula pekerjaan membuat saya alpa – alasan ini pun terdengar pengecut – . Kesempatan itu akhirnya datang saat rekan saya Emmanuel menawarkan diri untuk menunjukkan saya pesisir Monrovia, keberuntungan kuadrat saat kantor menempatkan saya di salah satu hotel yang bertetangga dengan batas laut.

Pantai-pantai yang memagar barat Afrika cukup melegenda, ombaknya yang ganas dan cekungan teluk yang curam kala air pasang datang menjadikannya objek wisata yang diminati banyak peselancar. Dikala perang sipil berhenti, gelombang peselancar mulai sering terlihat di sepanjang pantai ELWA, Roberton dan Silver. Bisnis penginapan, bar dan rumah makan di sepanjang pesisir pun tumbuh satu persatu. Lantunan reggae dan pop Nigeria terdengar tiap malam, bersahut-sahutan seakan meneriaki lautan.

Pesisir pantai di Monrovia
Pesisir pantai di Monrovia

Semua itu berubah sejak setahun terakhir, wabah Ebola seakan menyapu bersih ekonomi negeri ini, membalik banyak kursi dan menutup pintu-pintu rejeki.

*** Continue reading

The Science of Smile [ Ebola; Past and Present]

Phebe – Liberia, 15th October 2015 [05:09PM]

Back in the 19th century, the great American psychologist William James proposed that our facial expression and other bodily changes are not the consequence of our emotional feelings, but the cause. There is also evidence that our facial expressions change the way we perceive the world. More theory, hypothesis and reseacrh have been published in the following years.

Unanimously, science has debunked the face of happiness.

Continue reading