Bangunan ini berdinding bata merah, tiga ruang kecil memuat beberapa matras yang di selimuti kelambu usang berwarna hijau. Di bangunan ini tiap harinya saya menyapa pasien yang kami rawat, sayang bangunan ini tidak cukup besar untuk menampung semua pasien, hingga kadang beberapa dari mereka harus rela tidur beralaskan lantai.

Bangunan ini tidak pernah sepi dari riuh tangis para balita atau tawa kecil para ibu mereka tiap kali kami datang dengan porsi suntikan penilisin atau pun quinine bagi anak mereka.

Di bangunan ini banyak yang datang kemudian pergi dan kembali lagi.

Tapi dibangunan ini juga ada yang datang kemudian pergi dan tak akan dapat kami sapa lagi…

 

A LOST-CEPTION

Dia seorang wanita usia dua puluhan datang dengan pakaian hitam dan chitenje lusuh bermotif bunga, seorang bayi tertidur pulas di pundaknya. Sesaat setelah dia duduk, dia menyodorkan buku mungil bersampul orange, health passport miliknya. Dari sampul yang telah sobek dan halaman kertas usam dan kotor terkena tanah menjelaskan bahwa dia sudah lama tidak berkunjung ke klinik. Disini tidak sepertinya layaknya di Indonesia, pasien membawa rekam medik mereka masing-masing, sebuah buku mungil yang di namakan health passport.

Sudah dua hari dia mengeluh demam dan nyeri perut sebelum dia datang mengunjungi klinik kami. Tapi bukan keluhannya yang menarik perhatian saya, tetapi sebuah bentuk oval bergaris dua yang ditulis dengan tinta merah, tertera di halaman depan health passport-nya. Dia penderita HIV… Continue reading