Dia seorang wanita usia dua puluhan datang dengan pakaian hitam dan chitenje lusuh bermotif bunga, seorang bayi tertidur pulas di pundaknya. Sesaat setelah dia duduk, dia menyodorkan buku mungil bersampul orange, health passport miliknya. Dari sampul yang telah sobek dan halaman kertas usam dan kotor terkena tanah menjelaskan bahwa dia sudah lama tidak berkunjung ke klinik. Disini tidak sepertinya layaknya di Indonesia, pasien membawa rekam medik mereka masing-masing, sebuah buku mungil yang di namakan health passport.
Sudah dua hari dia mengeluh demam dan nyeri perut sebelum dia datang mengunjungi klinik kami. Tapi bukan keluhannya yang menarik perhatian saya, tetapi sebuah bentuk oval bergaris dua yang ditulis dengan tinta merah, tertera di halaman depan health passport-nya. Dia penderita HIV…
Tidak ada catatan pengobatan apapun disana, kecuali satu kunjungan yang hampir dua tahun yang lalu saat dia di tes dan terdata untuk pertama kalinya. Saya menyimpulkan dia salah satu pasien yang hilang dari pemantuan.
“A Mai, where have you been?” Penasaran saya bertanya. Rupanya selama ini dia mengikuti suaminya yang tinggal di perbatasan Mozambique sebelum akhirnya memutuskan mencari pengobatan karena keluhan demam serta nyeri yang tidak kunjung reda. Sekali dua kali dia terbatuk selama saya memeriksa dan berbincang dengannya. Menurut catatan tubuhnya semakin kurus, sejak terakhir dia datang dibandingkan sekarang. Lebih 10 kilogram berat badannya berkurang. Saya kemudian memutuskan akan memulai terapi ARV padanya.
Saat saya menuliskan instruksi di health passport, dia perlahan menyusui bayinya yang menangis lemah. Perlahan dia menyibak chitenje yang menutupi bayi tersebut dan seketika saya tertegun. Bayi itu begitu mungil, usianya saya perkirakan belum genap setahun tapi tubuhnya kurus tersisa belulang, tangan mungilnya rapuh mencoba berpegang pada ibunya. Rangka wajahnya tercetak jelas di balik kulit kering dan keriput bayi tersebut. Dan mirisnya wanita ini tidak sadar akan kondisi kritis bayinya.
Saya meminta bayinya untuk di tes juga. Setelah lima belas menit berselang sebuah bentuk oval bergaris dua yang ditulis dalam tinta merah, tertera di halaman depan health passport bayi itu. Dia pun telah terinfeksi virus HIV…
Saya memutuskan untuk mengirim bayi itu ke rumah sakit distrik, sayangnya kendaraan tercepat baru tersedia esok hari. Mereka masih harus menunggu malam berlalu pergi.
Keesokan harinya, pagi dimulai seperti biasa. Laporan berlangsung dalam pertemuan rutin kami di sebuah ruang di kamar bersalin. Asisten medis yang semalam bertugas, melaporkan bahwa seorang pasien meninggal subuh ini. Saya terdiam, pikiran saya kemudian berlari liar mencari segala kemungkinan dan menebak siapa yang berpulang? “Is it a baby?” saya bertanya pada asisten medis, berharap dia menjawab bukan. “Yes, it’s the baby from that HIV-Positive woman that we planned to refer today”
Ya, bayi itu meninggal subuh tadi…
Kami tidak memiliki ruangan khusus bagi jenazah. Apabila ada yang meninggal, maka pasien yang lain dengan sukarela memberi ruang sepenuhnya bagi keluarga dan jenazah. Membuat mereka harus sementara “mengungsi” ke pelataran klinik. Menanti jenazah di pulangkan ke rumah mereka. Tapi pagi itu tampak tidak ada pasien yang berbaring di pelataran klinik…
Wanita dan jenazah bayinya telah pergi sebelum pagi.
Hari itu dia kehilangan bayinya. Dan intuisi saya kuat merasa, saya kehilangan mereka semua, sebuah keluarga. Wanita itu dan suaminya mungkin tidak akan pernah lagi kembali lagi ke klinik kami.
…
…
Seketika otak saya kembali memutar gambaran bentuk oval bergaris dua yang ditulis dengan tinta merah di halaman depan health passport-nya…