Next Adventure: Ocean!

Indian Ocean, 7 July 2013 [10:56am]

 Debur ombak, angin barat yang membakar, bau garam, lautan biru tak berujung. Saya pulang!

***

Manusia dan laut senantiasa memiliki hubungan yang unik, setidaknya itu menurut saya. Manusia dan rasa keingintahuannya berusaha menjelajahi laut, mencari tahu apa yang ada di balik horizonnya. Dibangunnya kapal-kapal besar dari batang kayu terkuat, di bentangkannya layar-layar terlebar dari rajutan kain-kain terbaik. Tapi pada akhirnya manusia tak pernah dapat menaklukkan lautan, para pelaut pun bergantung pada bintang sebagai penunjuk arah, atau bias cahaya merkusuar dari daratan terdekat. Di hembusan angin barat dan timur yang silih berganti mereka meletakkan harapan, berharap angin memeluk layar-layar mereka dan mengantarkan hingga tiba di haribaan tujuan

Manusia sebagai entitas tercerdas di bumi pun tidak dibekali dengan kemampuan untuk hidup di air, yang sayangnya menjadi daerah terluas di planet biru ini. Agama-agama Samawi turut bercerita tentang Musa yang mampu membelah lautan ataupun Isa yang dibekali kemampuan untuk dapat berjalan di atas air. Tapi tampaknya hanya mereka, dua manusia istimewa dari miliaran penduduk daratan yang dikisahkan memiliki kemampuan seperti itu, tapi saya yakin, ada jutaan orang lainnya yang berharap diberi mukjizat yang sama. Continue reading

Dar Es Salaam dan Rahasia Besarnya

Dar Es Salaam, 06 July 2013 [11:44am]

“He who wanders around by day a lot, learn a lot.” ~ Old African Proverbs

***

 Dua hari saya lewatkan di Dar Es Salaam, sebuah kota metropolis di Timur Afrika. Ibukota Republik Tanzania, rumah bagi Kilimanjaro; Satu dari tujuh puncak tertinggi di dunia. Dalam bahasa Swahili, mereka menyebut Dar Es Salaam dengan  “Bongo” atau “Otak”, satu-satunya hal yang membuat seseorang dapat bertahan dalam kota dimana lebih dari 70% penduduknya hidup tanpa sanitasi, air ataupun listrik yang memadai.

Dar Es Salaam tidak tercipta dalam semalam,  sejarah panjang kota ini mengular dari masa keemasan dinasti-dinasti Yaman hingga ke tapak-tapak kaki para penguasa Eropa. Dalam rentang masa Dar Es Salaam berevolusi panjang, tertidur sekejap saat karavan budak dihentikan hingga kemudian kembali bangun dalam keriuhan pembangunan sejak abad ke 19 dimulai.

Sebelum matahari meninggi, saya telah turut berjejalan dengan penduduk Dar Es Salaam di atas Dala-Dala, angkutan umum yang menyusuri tiap lekuk kota ini. Membiarkan diri saya terlarut dalam alunan musik India, aroma tubuh khas Afrika, rombongan perempuan tinggi semampai yang tertutup burqa, serta anak muda dengan gaya ghetto khas Amerika. Sekejap saya takjub dengan kemampuan bus kecil ini menyatukan berbagai kultur yang tampaknya saling berseberangan.

Masih terngiang percakapan saya dengan Vicki (tuan rumah saya) pagi tadi, olehnya dibagi sekeping rahasia kota ini. Continue reading