Next Adventure: Ocean!

Indian Ocean, 7 July 2013 [10:56am]

 Debur ombak, angin barat yang membakar, bau garam, lautan biru tak berujung. Saya pulang!

***

Manusia dan laut senantiasa memiliki hubungan yang unik, setidaknya itu menurut saya. Manusia dan rasa keingintahuannya berusaha menjelajahi laut, mencari tahu apa yang ada di balik horizonnya. Dibangunnya kapal-kapal besar dari batang kayu terkuat, di bentangkannya layar-layar terlebar dari rajutan kain-kain terbaik. Tapi pada akhirnya manusia tak pernah dapat menaklukkan lautan, para pelaut pun bergantung pada bintang sebagai penunjuk arah, atau bias cahaya merkusuar dari daratan terdekat. Di hembusan angin barat dan timur yang silih berganti mereka meletakkan harapan, berharap angin memeluk layar-layar mereka dan mengantarkan hingga tiba di haribaan tujuan

Manusia sebagai entitas tercerdas di bumi pun tidak dibekali dengan kemampuan untuk hidup di air, yang sayangnya menjadi daerah terluas di planet biru ini. Agama-agama Samawi turut bercerita tentang Musa yang mampu membelah lautan ataupun Isa yang dibekali kemampuan untuk dapat berjalan di atas air. Tapi tampaknya hanya mereka, dua manusia istimewa dari miliaran penduduk daratan yang dikisahkan memiliki kemampuan seperti itu, tapi saya yakin, ada jutaan orang lainnya yang berharap diberi mukjizat yang sama.

Saya menyenangi laut, seperti saya senang mengucapkannya berkali-kali. Bagi saya, terpisah dari laut seperti terpisah dari pelukan ibu saya; sesuatu yang tak pernah mudah dilakukan. Besar dalam kultur bahari, darah pelaut bugis membuat saya senantiasa merasakan dahaga terhadap samudera. Dan kini, sembilan puluh menit sudah kapal ferry yang membawa saya melintasi Samudera Hindia meninggalkan bandar Dar Es Salaam.

Dahaga saya terhadap laut akhirnya terbasuh sudah, saya senang. Bukan main senangnya!

Saya bukanlah para pelaut yang mahir dalam berlayar pun para nabi yang diberi mukjizat istimewa. Tapi sama saja dengan yang lainnya, saya senang menemukan apa yang laut hamparkan di balik horizonnya atau sajikan di kedalaman palung-palungnya. Kini saya kembali bersua dengan laut, merasakan hembusan angin, melihat buih-buih putih di ujung gulungan ombak, melambaikan tangan ke para nelayan yang melintas. Hal-hal sederhana yang memberi letupan-letupan kebahagiaan.

Ferry yang saya tumpangi bernama Flying Horse, tak ada satupun buku-buku perjalanan pun para turis yang menyarankan ferry ini sebagai moda transportasi. Bukan tanpa alasan tentunya, tak ada yang percaya bahwa Flying Horse dapat melintasi lautan secepat namanya. Perjalanan  yang semestinya berjarak satu jam bisa merentang hingga lima kali lebih lama. Tapi oleh karena itu saya memilihnya, semakin lama melintasi laut bagi saya semakin menyenangkan.

Langit pagi ini pun sedang cerah-cerahnya, tak ada barisan awan yang berarak pelan, membuat matahari meraja di atas sana. Saya memandang noktah hitam di batas horizon, semakin lama semakin membesar. Merkusuar pulau yang berwarna keabu-abuan pun mulai menampakkan wujudnya, perjalanan saya sebentar lagi menemukan perhentian berikutnya.

***

Zanzibar, mereka menyebutnya. Sebuah pulau di samudera hindia, dengan kota tua bernama Stone Town yang menjadi pusatnya. Pulau hitam yang kaya rempah dan sejarah panjang perbudakan di semenanjung Arab dan daratan Afrika, pulau dimana perang tersingkat dalam sejarah manusia pernah terjadi. Zanzibar tertulis dalam lembar-lembar papirus tua kekaisaran Persia, Arab dan Eropa. Tiap-tiap dari mereka yang berkuasa kemudian menulis kehebatannya dalam bentuk seni, tradisi serta bangunan di pulau itu.

“I think that island will be a perfect remedy for you. The sea, foods and buildings will fill your eager” rekan saya David pernah berujar tentang alasan mengapa saya harus mengunjungi pulau ini. Dia tahu saya menyenangi laut, makanan serta bangunan.

Saya tersenyum saja saat mendengarnya, karena kali ini saya sama sekali tak berharap apa-apa. Saya hanya butuh rehat sejenak, lelah sudah terlampau lama menggantung di langit-langit keseharian saya tanpa bisa saya sapu pergi. Saya rindu tidak melakukan apa-apa, tertidur tanpa perlu terbangun oleh suara radio yang  memanggil nama saya hampir tiap malamnya, terbangun tanpa  perlu merasa gelisah tentang berapa banyak nyawa yang akan melayang hari ini dan sejenak melupakan yang pergi meninggalkan tanpa kata.

Terompet Flying Horse berdengung pelan, saya melepaskan pandangan ke selatan. Dermaga Zanzibar telah ada dalam jangkauan pandang.

Ahh, mereka tak salah mendeskripsikan pulau ini. Pantainya berserak pasir putih keemasan dengan bangunan-bangunan waterfront berdiri tegap memagar jalan. Perahu-perahu kayu mengapung diam di bibir pantai, saya melihat satu dua anak dengan rambut ikal dan kulit hitam melambai ke arah ferry ini.

Terompet Flying Horse kembali berdengung, awak kapal meminta penumpang untuk bersiap turun…

Saya masih bergeming, menikmati menit-menit yang tersisa. Saya senang menunggu getaran halus saat kapal bersentuhan dengan dermaga untuk pertama kalinya, saat awak kapal mulai merentangkan tali-tali kekarnya ke daratan, dan memandang wajah-wajah sumringah penumpang yang merasa berhasil menaklukkan lautan, hal yang senantiasa menandai sebuah akhir dari perjalanan.

Saya memandang dermaga Zanzibar yang di dominasi warna biru berhias relik-relik beraneka warna, antrian penumpang mengular di bawah sana menunggu tangga ferry digelar. Hmm, mungkin sudah saatnya saya turun, menambatkan lelah dan meringankan beban serta sekali lagi mencoba untuk tidak berharap apa-apa.

So Zanzibar, come what may…

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s