Dar Es Salaam dan Rahasia Besarnya

Dar Es Salaam, 06 July 2013 [11:44am]

“He who wanders around by day a lot, learn a lot.” ~ Old African Proverbs

***

 Dua hari saya lewatkan di Dar Es Salaam, sebuah kota metropolis di Timur Afrika. Ibukota Republik Tanzania, rumah bagi Kilimanjaro; Satu dari tujuh puncak tertinggi di dunia. Dalam bahasa Swahili, mereka menyebut Dar Es Salaam dengan  “Bongo” atau “Otak”, satu-satunya hal yang membuat seseorang dapat bertahan dalam kota dimana lebih dari 70% penduduknya hidup tanpa sanitasi, air ataupun listrik yang memadai.

Dar Es Salaam tidak tercipta dalam semalam,  sejarah panjang kota ini mengular dari masa keemasan dinasti-dinasti Yaman hingga ke tapak-tapak kaki para penguasa Eropa. Dalam rentang masa Dar Es Salaam berevolusi panjang, tertidur sekejap saat karavan budak dihentikan hingga kemudian kembali bangun dalam keriuhan pembangunan sejak abad ke 19 dimulai.

Sebelum matahari meninggi, saya telah turut berjejalan dengan penduduk Dar Es Salaam di atas Dala-Dala, angkutan umum yang menyusuri tiap lekuk kota ini. Membiarkan diri saya terlarut dalam alunan musik India, aroma tubuh khas Afrika, rombongan perempuan tinggi semampai yang tertutup burqa, serta anak muda dengan gaya ghetto khas Amerika. Sekejap saya takjub dengan kemampuan bus kecil ini menyatukan berbagai kultur yang tampaknya saling berseberangan.

Masih terngiang percakapan saya dengan Vicki (tuan rumah saya) pagi tadi, olehnya dibagi sekeping rahasia kota ini.

“You should see Dar like how old people used to see it. The city once a grand design Apartheid of “Uzunguni” “Uhindini” and “Uswahilini” The term is no longer used, but you can still see the stamp on architecture and feeling in each zone”.

Rupanya catatan panjang kota ini pun pernah menuliskan kisah tentang paham rasial dalam bentuk tata kota dan arsitekturnya, sungguh menarik!

Benar saja, saat dala-dala membawa saya ke Kariakoo yang menjadi “Uswahilini” atau area Afrika. Saya dapat merasakan aroma kemiskinan dan pembangunan yang tersengal-sengal. Jejeran rumah serta toko kecil saling berdempetan. Sesekali saya menjumpai pria masaai yang tengah menggelar lapak dagangannya di pinggir jalan, mencoba peruntungannya pada mereka yang masih percaya pada pengobatan tradisional Afrika.

Beberapa kilometer dari situ, “Uhindini” atau area India tampak hiruk pikuk dengan berbagai macam aktivitas ekonomi, ratusan toko di daerah ini layaknya toserba, menjual hampir semua hal yang dibutuhkan manusia. Sebesar ban traktor cina ataupun sekecil sekrup-sekrup yang menempel di gagang kacamata.  Toko-toko berbagi tanah di daerah ini dengan jejalan kuil dan mesjid seperti saya berbagi sebilah bangku kayu kecil di warung teh masala siang ini dengan seorang muslim sunni yang baru selesai dari sholatnya.

Segelas teh dan percakapan singkat mengenai Obama yang berkunjung ke Tanzania, menjadi pelepas lelah sebelum saya kembali berkendara di atas dala-dala yang membawa saya ke area terakhir “Uzunguni” atau area Eropa.

Uzunguni cantik dan asri, berhias bangunan-bangunan tinggi nan putih. Dua buah gereja memagar kedua ujungnya, jejeran hotel berbintang, toko-toko dengan etalase kaca serta kantor-kantor bertaraf internasional hanya berjarak beberapa langkah saja. Dari dermaga ferry, saya memandang bangunan-bangunan tua yang menjadi rangkaian bangunan pertama yang di didirikan di tanah ini. The White Father’s House tampak berkilau di terpa sinar matahari siang itu, dalam bisu bangunan putih itu menghamparkan kisah tentang rumah para selir sultan yang kemudian “disucikan” oleh gereja Katolik Roma dan masih dipergunakan hingga sekarang.

Dalam sebuah perjalanan, saya senang mengunjungi bangunan. Bagi saya bangunan sangat pandai bercerita, saat masa menuliskan sejarah bangunan merekamnya. Drama, intrik, cinta, ataupun pencapaian penghuninya, semua terekam dalam tiap-tiap ruang dan dindingnya dan di Dar Es Salaam banyak bangunan yang menanti seseorang datang untuk mendengarkannya berkisah. Cukup meluangkan sedikit waktu dan saya pun pulang dengan pengetahuan baru!

***

Melintas tiga area, berjalan menyusuri lekuk-lekuk masa dan ikut larut dalam irama penduduknya. Kini saya melihat Dar Es Salaam dalam wujud yang berbeda, bukan lagi sebuah kota metropolis besar di timur Afrika tetapi rumah bagi jutaan jiwa dengan sejarah panjang. Saya ingin kembali ke kota ini sekali lagi, untuk sekadar mencicipi paan Tanzania yang legendaris ataupun berbagi cerita serta kelakar di warung teh masala.

Dan siapa tahu, mungkin saja saya akan kembali menemukan sekeping rahasia kota di sudut-sudut jalannya…

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s