Maban County; Day before The Rain Starts…


Saat kita sedikit saja mau membuka mata, banyak hal diluar sana yang mampu di tangkap jutaan sel retina. Sekecil barisan semut yang berjalan dalam satu kesatuan aksis sempurna ataupun sebesar lukisan mega mendung yang menghias langit hingga ke ujung cakrawala.

***

Sehari sebelum hujan turun di negeri ini untuk pertama kalinya, mobil saya melintasi desa Bunj; Daerah tertandus yang pernah saya jumpai dalam hidup saya. Saking keringnya, sumur-sumur bor tercanggih pun tak mampu menjumpai air di tanah ini. Anehnya, suku yang mendiami daerah ini tak sedikit pun bergeming untuk berpindah, tak perduli bahwa tak ada satu pun entitas kehidupan yang dapat tumbuh dari tanahnya. Bagi mereka tanah ini adalah rumah, tempat di mana akar pohon kehidupan mereka menancap kuat…

Pernah sekali saya bertanya kepada salah satu sheik disana, bagaimana mereka dapat bertahan hidup di tempat ini. “We get used to it, just be patient. God won’t testing his servant more than what they can cope” jawabnya. Walaupun itu berarti mereka harus berjalan jauh untuk mencapai air ataupun bermandikan sengat matahari Sudan Selatan lebih banyak dari tempat yang lain. Sungguh kemampuan manusia untuk beradaptasi dan bersabar, membuat saya sering tercengang.

Mereka menggembala domba-domba mereka ke tengah padang, kemudian mengantarkannya ke anak sungai Nil yang melintasi daerah ini setiap harinya. Saya tak ingin membayangkan sejauh apa defenisi jauh mereka. Karena sejauh mata saya mampu memandang dan langkah saya mengeksplorasi, tak ada jejak kehidupan ataupun liukan anak sungai yang pernah saya temui. Continue reading

Safari adalah hal pertama yang muncul di benak saya saat mendengar kata Kenya! Sudah menjadi impian saya sejak pertama kali menonton film Out in Africa bahwa suatu hari nanti saya akan berkunjung ke benua hitam dan bersentuhan dengan hewan-hewan liar.

Maka kesempatan berkunjung ke Kenya tidak saya sia-siakan. Ingin rasanya berkendara di atas 4WD melintas Masaai Mara dan melihat migrasi ribuan wilderbeest dan zebra. Sayang, musim hujan mengungkung hewan-hewan jauh di dalam rimbunnya semak savana.

Beruntunglah saya bisa mengunjungi Nairobi National Park, satu-satunya taman nasional di dunia yang terletak di hiruk pikuk kota dan kondisinya masih sangat terjaga.

Jiwa kanak-kanak saya seketika kembali saat pertama kali saya berjumpa Jerapah yang sedang menggapai jumput dedaunan atau sekumpulan zebra yang saling menyisir leher satu dan lainnya. Berusaha sekuat tenaga untuk mengenali singa yang bersembunyi ataupun leopard yang tertidur malas di puncak pohon besar, dan mengendap-endap pelan di balik Buffalo yang berjalan pelan dan keluarga Rhino yang pemalunya sungguh luar biasa.

sungguh hewan-hewan ini anggun dan menarik dalam caranya masing-masing, tak heran beberapa dari kita tega berburu untuk mengabadikan keindahannya.

sayang…

[I upload the series of my trip to Nairobi National Park at Nairobi National Park 14 on Flickr. To you who loves cute animal, ENJOY!] 🙂

Karibu Kenya!

Masih jelas di ingatan saya, suatu hari di pertengahan Mei. Daniel, kordinator saya mengirimkan sebuah pesan singkat yang isinya meminta saya kembali ke kota Thyolo hari itu juga. “packed your stuff, sign your holiday form. You’re going to Kenya for 3 weeks starting tomorrow” ucapnya setiba saya di kantor.

Masih terkejut, saya coba menalar apa yang terjadi, liburan gratis dan tiba-tiba ini terlalu sulit untuk dipercaya. Menerka-nerka apa penyebabnya dan akhirnya saya tergelak sendiri. Ahh! visa saya di Republik Malawi sudah hampir habis masa berlakunya. Saya harus keluar dari negara ini sementara waktu.

Dan kali ini saya akan berbagi sedikit keruwetan…

Sebagai pemegang paspor hijau, hidup di Afrika susah-susah gampang. Banyaknya negara yang tidak memiliki kedutaan di Indonesia (negara-negara yang dahulunya tidak pernah saya dengar namanya termasuk republik Malawi) menjadi penyebabnya, sehingga bagi warga negara Indonesia saya harus mengajukan aplikasi visa di negara lain. Jepang salah satu negara “terdekat” di Asia dimana kita bisa mengajukan visa. Kali ini saya beruntung bisa mengajukan dan mendapat visa Republik Malawi di kedutaan mereka di Brussels-Belgia.

Untuk perpanjangan visa kali ini, mau tidak mau saya harus kembali mengajukannya di negara lain. Kenya menjadi tujuan saya, karena merupakan salah satu negara “terdekat” dari Republik Malawi. Untuk memasukinya, warga Indonesia cukup membeli visa on arrival. 

Republik Malawi memiliki kedutaan di Nairobi ibukota Kenya, para pelancong dapat mengajukan visa disini. Permasalahan berikutnya adalah, sebagai warga negara Indonesia yang tidak berstatus temporary resident of Kenya, saya tidak bisa mengajukan permohonan visa Republik Malawi melalui kedutaan mereka di Kenya. Sehingga satu-satunya cara adalah saya harus kembali mengajukan permohonan visa di kedutaan mereka di Brussels-Belgia.

Membayangkan harus kembali ke Eropa di penghujung musim dingin, sungguh bukan hal yang menarik bagi saya.

Beruntunglah saya hanya perlu terbang ke Kenya menikmati liburan dengan matahari musim panas sambil menanti paspor saya kembali dari perjalanannya ke Eropa dengan selembar visa Republik Malawi kembali tertempel disana.

Bukankah ini sangat sempurna?! 🙂

Satu-satunya penerbangan ke Kenya adalah melalui Lilongwe, ibukota Republik Malawi dan perjalanan dari distrik Thyolo ke Lilongwe menempuh waktu  6 jam melewati luasnya plateu-plateu dan savana gundul memberi landscape berwarna coklat yang tidak pernah membosankan. Bunga kuning khas musim dingin sudah mulai tampak bermekaran saat itu…

….

Sesampainya di Kenya,

“Karibu!” seorang pria yang membawa kertas putih bertuliskan nama saya menyapa seketika saat saya keluar dari terminal kedatangan di bandara Jomo Kenyatta International Airport.

“Karibu is welcome in swahili, so welcome to Kenya” dia mencoba menjelaskan sambil mengantarkan saya melintasi kemacetan Nairobi menuju MSF Guesthouse, tempat saya bermungkim hingga tiga minggu ke depan. Nancy housekeeper di guesthouse telah menanti dan memberikan pelukan hangat selamat datang.

Pagi itu saya terbangun di desa kecil di selatan Republik Malawi dan malamnya saya tertidur di salah satu guesthouse di tengah hiruk pikuk kota Nairobi.

Ahh, hiruk pikuk kota dan kemacetan dimana-mana, entah mengapa rasanya mirip pulang ke rumah…  🙂

Thyolo dari Pinggir Jalan

Distrik Thyolo nama kota kecil di selatan Malawi ini, tempat kantor kami berpusat. Kota kecil di dataran tinggi dengan kebun teh tertua di Afrika. Ya Teh, tanaman hijau yang menjadi salah satu alasan Kerajaan Inggris menjadikan Negeri Nyassa ini sebagai daerah kolonisasinya.

Kehidupan disini amatlah sederhana, sepeda menjadi alat transportasi utama. Baik pribadi maupun bycyle taxi. Satu yang menarik perhatian saya adalah tidak adanya papan reklame yang umum saya dapati di kota-kota lainnya. Membuat tiap reklame yang terpasang di toko-toko kecil keperluan masyarakat menjadi adalah seni yang dilukis oleh tangan-tangan terampil.

….

Mungkin waktu berhenti di distrik ini, tapi tak mengapa. saya senang terjebak di dalamnya… 🙂

92 Hari yang Lalu di Cape Maclear

I need a holiday soon!” ujarku pada Andy beberapa hari yang lalu saat memandang antrian pasien yang tiada berujung.  Entah mengapa, hiburan paling menyenangkan walau hanya berupa pikiran adalah liburan. Dan itu membuat saya kembali memutar rekaman kenangan 92 hari yang lalu ke Cape Maclear di Lake Malawi.

Saya sebagaimana layaknya orang Indonesia lain yang lahir dan besar bertemankan laut dan garam, selalu ada kerinduan akan pantai dan ombak. Sayangnya di landlocked country ini yang berbataskan daratan negara lain, pantai dan laut adalah hal yang mustahil ditemui. Lake Malawi adalah satu-satunya tempat dimana saya bisa berenang dalam kolam renang raksasa buatan Tuhan.

Tepat libur paskah, saya dan beberapa kolega dari MSF Belgium dan MSF Paris memutuskan untuk berkunjung ke Cape Maclear, salah satu titik di sepanjang garis pantai danau yang menempati posisi ketiga sebagai danau terbesar di Afrika. Saking luasnya danau ini, sehingga dia memuat 1//3 bagian dari Republik Malawi. Beberapa kali saya sempat tertidur dalam mini van yang kami kendarai saat memasuki wilayah distrik Manggochi, dimana birunya danau telah terlihat, terbangun beberapa jam kemudian dan masih mendapati pemandangan yang sama. Dan Cape Maclear yang kami tuju masih beberapa jam lagi jauhnya.

Hamparan pemandangan pulau-pulau kecil tersebar di sepanjang jalan serta horizon yang tak berujung. Apabila tak ada yang memberi tahu sebelumnya, saya akan dengan mudah menyangka bahwa Lake Malawi yang dikenal juga sebagai Lake Nyassa sesungguhnya adalah lautan. Malawi berbagi danau raksasa ini dengan Mozambique dan juga Tanzania. Continue reading

Hari ini teman-teman dari grup #duaranselwannabe berkumpul untuk pertama kalinya!

Dan selalu ada yang istimewa dari pertemuan pertama. tidak sabar rasanya menanti cerita apa yang bakal tertuang dari riuhnya suara-suara yang akhirnya melebur nyata, bukan hanya kata demi kata yang berbaris rapi di chat grup bbm.

Berharap bisa ikut menikmati malam bersama mereka disana, tapi mungkin untuk saat ini. biarlah salam hangat tersampaikan, melalui canggihnya teknologi. Hingga nanti kerinduan maya terhapus oleh perjumpaan nyata.

Selamat bertemu dan berbagi mimpi teman-teman #duaranselwannabe

ps: fotonya kabur harap dimaklumi, yang memotret baru pertama kali memegang kamera.