Machar Colony – Karachi, September 20th 2014 [08:22pm]
Kemana saja selama ini?
Untuk sekian kali pertanyaan ini berdering menyertai ikon kecil pesan di ponsel saya.
Kemana saja selama ini?
Menjadi pertanyaan surel yang ditujukan ke email ataupun blog saya oleh beberapa orang yang senantiasa setia berkunjung.
Kemana saja selama ini?
Menyertai segudang pertanyaan lain dari orang-orang terdekat saya, mereka yang mengikuti rentetan cerita yang tertulis pun lisan tersampaikan. Mereka yang rutin mengingatkan untuk senantiasa berkirim kabar dan mereka yang merindu dalam nada kesal dan pesan-pesan dalam huruf kapital.
Saya sedang tidak kemana-mana. Lebih tepatnya, saya sedang memutuskan untuk berdiam sementara. Bukan berarti saya berhenti, karena tepatnya saya masih berjalan dan bermukim ribuan mil dari tempat yang senantiasa saya sebut rumah sesungguhnya.
Tapi saya memutuskan berdiam dari bercerita, memutuskan untuk tidak berjalan-jalan dalam rentetan kisah. Menikmati hari-hari yang biasa, menyimpan hal-hal menarik dan baik untuk diri saya sendiri. Setidaknya untuk saat ini.
Banyak hal yang terjadi dalam rentan waktu 90 hari, saya menikmati ruang baru dalam pekerjaan saya, bertemu dengan banyak orang yang memperkaya saya dengan pengalaman. Beberapa memberi saya masalah tidak sedikit memberi saya rasa lega dan seperti biasa saya selalu bisa tersenyum mendengar cerita lepas para pasien yang duduk di depan meja praktek ataupun tawa lepas rekan-rekan saya di teras atas rumah kami.
Satu malam, saat kota ini sedang dalam kondisi siaga selepas serangan Taliban di bandara internasional Jinnah-Karachi. Tim kami di isolasi dan untuk memastikan keamanan, kami tidak diperbolehkan untuk meninggalkan rumah. Malam yang biasanya lengang menjadi panjang. Saya terlibat perbincangan dengan rekan saya Pauline. Kami mendiskusikan bagaimana dia memandang manusia begitu terikatnya dengan tehnologi.
“People loves to share and what we crave more than acknowledgement? A single notification or likes in our social media filled our hunger more than a bowl of hot rice.” Ujar saya memulai.
Tehnologi sejatinya menjadi pembunuh jarak, menghubungkan yang jauh tanpa menjauhkan yang dekat. Menjadi pencerah dan meretaskan ketidaktahuan. Membuat manusia dapat berbicara dengan lapang tanpa menjadi gagu dalam realita.
Tapi teknologi dan beragam sosial media tanpa disadari membuat saya merasa kehilangan. Kehilangan sentuhan sosial sesungguhnya, kehilangan rasa rindu akan jarak dan pertemuan yang sejatinya sangat berharga menjadi tidak bermakna.
Oleh karena itu saya memutuskan untuk berhenti sementara, membiarkan diri saya dipenuhi rasa rindu untuk berkisah. Juga untuk menghargai fakta bahwa hidup ini tidak sebatas layar kecil komputer maupun ponsel yang senantiasa saya pandang hampir tiap hari.
Demikian juga dirimu, semoga sejenak saja dapat menghargai waktu dan realita. Memberi ruang untuk menikmati luasnya taman kota, menikmati jabat tangan erat rekan lama ataupun senyum tetangga belakang rumah dan sejenak saja berhenti berkeliling dunia melalui layar maya dan berkirim peluk cium virtual yang tak mewakili apa-apa.
Tenang saja, saya pasti kembali. Mungkin dalam satu, dua hari, sebulan lagi atau mungkin saat tahun berganti.
Dan saat kita bertemu lagi, saat kita saling berbagi cerita akan hidup yang kita yang menjadi asing, kita bisa menyadari betapa berharganya sebuah perpisahan…
Often we don’t realize that we live in the world where we don’t actually live in…
See you when I see you!
Benar~
LikeLiked by 1 person