ROHINGYA: In a State of The Stateless

“We need you to go to Aceh ASAP?”

It takes just one phone call before I found myself ready for my next assignment. Since I started working in the humanitarian field, there is always a dream of  going back to Indonesia and serve the nation, little did I know that the dream hasn’t been too far away?

I never been to Aceh before, but it is always on the list of province that I would love to visit since my trip to Sumatra back in 2008. I’ve heard fascinating stories about Aceh – The Mecca Solarium (Negeri Serambi Mekah) – where the nation’s heroines born and lived as a legend. When one dig deeper surpasses the Syariah Law, at the tipping point of Indonesia, you can indulge into mile after mile of white sand beach of Weh Island, a world famous dive site and Indonesia’s gem of marine biodiversity.

This special region talks turkey of politique et intric. Most of the adult still solidly remembers the dark and twisted story of the insurgence of Aceh Freedom Movement (Gerakan Aceh Merdeka) that was spread across the region, along with the fall and rise of Aceh during 2004 Tsunami.

Maybe it was the fond memory of sheer kindness of humanity experienced by people in Aceh during Tsunami that moves a group fisherman on the morning of 15 May 2015, that despite being prohibited by the sea police,bravely rescued the boats crammed with Rohingya Refugees and Bangladeshi that have been stranded in Strait of Malacca for weeks.

That was the first arrival of Rohingya refugee in Indonesia.

*** Continue reading

And When The Words Dance!

I’m writing a passion. A flame and dust such inexplicable, I want you the get lost in a labyrinth of phrases, vanish before the page ends.I want you to stop before the dot, exhaling your excitement between the commas.

You are my apostrophe without a word. 

Let them write a tale about us, you will be the greatest epoch and I am mere a shadow, a simple phrase in the majestic of your story.

@justHityou

Morning Elegance

Saat pagi menguap dari balik tenda-tenda berwarna dan selesap teh hangat mengusir dingin yang meringkuk nyaman sepanjang malam adalah momen yang paling saya senangi dari berkemah. Tak perduli saat itu berarti sebuah pendakian panjang berhari-hari lamanya atau sebuah perjalanan singkat di akhir minggu, bau sekam dari sisa-sisa api unggun semalam yang basah oleh rintik hujan bekerja layaknya kafein pekat yang diteguk para pecandu kopi, memberi semangat! Saat berkemah, alam memainkan peran seorang wanita ramah yang bekerja sebagai pelayan di kedai-kedai kecil di ujung kota, memberi kenyamanan dengan apa adanya. Membuat saya enggan untuk pulang ataupun beranjak pergi dari kekaguman. Tetapi berkemah bagaimanapun senantiasa berarti sementara, satu masa, satu momen, satu kesempatan dan kemudian setelah itu selesai…

Berkemah berganti kata menjadi berkemas…

Mengepak kembali barang-barang saya, melipat tenda-tenda berwarna, mematikan sekam api dengan tanah yang basah dan menyeruput teh terakhir sebelum ia berasa dingin.
Saya membawa pulang semua beban, ransum dan sampah.

Serta meninggalkan satu saja hal: Masalah.

Dan itu lebih dari cukup untuk meringankan perjalanan pulang saya.

Romance of Pakistan

Karachi – Pakistan, December 13th 2014 [10:22am]

 Jika kalian lelah seperti saya, mari sebentar saja berjalan-jalan dalam cerita…

***

Ayah saya pernah bercerita tentang destinasi impiannya; Hippie Trail, sebuah jalur alternatif yang membentang dari negara-negara di Eropa, melintas Iran, Syria, Pakistan, Afghanistan dan India sebelum berakhir di pinggir-pinggir pantai di Bangladesh atau Thailand. Jalur ini menjadi salah satu favorit para pejalan hippie atau bagi mereka yang mencari pencerahan dari filsuf-filsuf timur.

Hingga awal tahun 70an Iran, Syria dan Pakistan membuka pintunya lebar-lebar bagi para pelancong lintas benua. Negara-negara itu menjadi surga yang dapat dijangkau hanya dengan menumpang kereta. Anak-anak muda Eropa dengan tampang kucel dan baju seadanya dengan mudah dijumpai sedang bersantai sembari menghisap Hashish di atap-atap motel murah di Peshawar ataupun Lahore.

Cerita berubah saat Rusia menginvasi Afghanistan dan Iran terlibat sengketa dengan tetangganya Irak, Hippie Trail menjadi terlalu berbahaya untuk disebut sebagai destinasi wisata. Pintu surga itu pun tertutup rapat-rapat saat gelombang revolusi Islam memasuki Pakistan. Wajah negara ini pun berubah, sejak saat itu hingga kini.

***

Continue reading

[Dis]connected

Machar Colony – Karachi, September 20th 2014 [08:22pm]

 Kemana saja selama ini?

Untuk sekian kali pertanyaan ini berdering menyertai ikon kecil pesan di ponsel saya.

Kemana saja selama ini?

Menjadi pertanyaan surel yang ditujukan ke email ataupun blog saya oleh beberapa orang yang senantiasa setia berkunjung.

Kemana saja selama ini?

Menyertai segudang pertanyaan lain dari orang-orang terdekat saya, mereka yang mengikuti rentetan cerita yang tertulis pun lisan tersampaikan. Mereka yang rutin mengingatkan untuk senantiasa berkirim kabar dan mereka yang merindu dalam nada kesal dan pesan-pesan dalam huruf kapital.

Continue reading

Summit Is [not] The Limit

Bo – Sierra Leone, 15th January 2014 [11:40am]

“… And I’ll come to Indonesia this August, I hope you will be there!”

Menjadi penutup surat eletronik singkat yang dikirimkan oleh rekan saya Lorna pagi tadi. Suratnya yang hangat menjadi oasis diantara timbunan surat elektronik lain yang harus saya baca dan balas dalam beberapa jam pertama hari ini.

Ini pertama kalinya saya mendengar kabar dari Lorna sejak pertemuan pertama dan terakhir kami di langit Tanzania beberapa bulan yang lalu. Saya yang saat itu dalam penerbangan dari kepulauan Zanzibar menuju Kenya duduk berdampingan dengan seorang gadis berkebangsaan Belanda yang baru saja menamatkan seri perjalanannya melintas dataran selatan Afrika.

Saya bukanlah orang yang senang bercakap dalam pesawat pun bukan orang yang menyenangi transportasi udara. Sebagian besar waktu dalam penerbangan pendek maupun panjang saya lewatkan dengan terlelap, membaca ataupun berdiam diri. Tapi siang itu pandangan saya terkunci oleh pemandangan dari balik jendela saat pesawat kami terbang melintas Kilimanjaro yang berdiri gagah. Pesawat terbang tak terlalu tinggi, bergerak pelan layaknya berenang dalam kumparan awan rendah yang menyelimuti salah satu atap dunia ini. Dengan mata telanjang saya mampu memandang hamparan tipis salju abadi di puncaknya. Siang itu langit membirukan sisi-sisi Kilimanjaro dan saya tak henti-hentinya menekan tombol shutter kamera.

Saya menyenangi cerita akan perjalanan, menyenangi kalimat-kalimat yang meletup dengan semangat dari para muzafir, pejalan dan peziarah. Tiap-tiap dari mereka memiliki titik mula dan tujuan, jarak yang berusaha mereka tebas dengan langkah dan seribu satu alasan untuk memulai sebuah perjalanan. Tapi ujung-ujungnya perjalanan selalu mengantarkan mereka ke penemuan.

Dan penemuan senantiasa bercerita tentang sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sederhana.

Penemuan membuat para pejalan menjadi layaknya bayi yang baru menikmati kelima inderanya berfungsi. Saat mereka melihat sisi lain dunia, mengecap petualangan di balik ruang-ruang nyaman mereka, membaui udara, tanah dan busuknya kesenjangan hidup di batas-batas sebuah negeri ataupun merasakan kenyamanan dari sebuah penerimaan dalam budaya yang berbeda.

Lorna salah satu dari mereka, perempuan berusia 19 tahun itu baru menuntaskan perjalanannya dan dalam perjalanan itu ia menemukan satu masa dimana ia memutuskan untuk mereset hidupnya kembali ke titik nol, mengejar sesuatu yang selama ini bahkan tidak pernah terpikir untuk dikejarnya.

“Have you climbed a mountain Husni?” Menjadi kalimat tanya pertama setelah ia tuntas bercerita.

“Yes, several time” Jawab saya.

“Have you climbed Kilimanjaro?” “Ujarnya sembari memandang lepas ke jendela.

“I climbed several mountain in my country but Kilimanjaro indeed is on my bucket list” ujar saya sembari turut memandang keluar.

Kilimanjaro mulai lesap dari pandangan kami, pesawat telah melintas jauh melewati sisi terluar gunung itu. Continue reading

Loe Valley: The Camp

Tahun dua ribu tiga adalah kali pertama saya mendaki. Saat itu saya mengikuti proses penerimaan anggota baru di sebuah organisasi kampus. Saya yang baru dan tak mengenal alam sama sekali berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin sebagai jawaban akan begitu banyak keraguan yang saat itu saya rasakan.

Layaknya vitamin, senior-senior saya dengan telaten dan tanpa jeda mencekoki saya dengan gambaran indahnya alam di luar sana, sebagai penyemangat bagi kami untuk tak mundur dari prosesi ini. Walau terkadang secara tak sadar umpatan akan beratnya pendakian juga sering terlontar dalam candaan-candaan bebas mereka.

Lebih dua bulan saya mempersiapkan diri, mengikuti olahraga bersama rekan-rekan kelompok pendakian dan berburu perlengkapan gunung yang sebagian besar namanya tak pernah saya dengar sebelumnya.

Saat waktu pendakian tiba, tubuh saya yang ceking dijejali dengan tas raksasa yang mampu memuat sebuah tenda dan perlengkapan masak layaknya dapur ibu saya. Sepatu berat yang menderap seperti milik para tentara bersanding dengan sebuah botol air minum kecil yang saya ragukan isinya dapat bertahan memenuhi dahaga saya hingga tiba di tujuan kami nantinya.

Kemudian kami mulai berjalan, ke tempat yang sejak beberapa bulan yang lalu telah menjadi satu-satunya target hidup saya. Sungguh saya buta arah, saya hanya tahu mengekor mereka yang melangkah di depan. Kaki saya melangkah berat, pelan dan goyah

Perjalanan itu menjadi perjalanan terberat dan terlama dalam hidup saya saat itu, semangat saya mengendur dan menguap pelan-pelan. Senyum berganti dengan umpatan, dan saat itu saya berjanji tak akan pernah mendaki lagi!

Waktu berganti dan janji tinggallah janji…

Ini kali keberapa saya mendaki? Saya pun sudah tak tahu pasti. Umpatan itu masih tetap saya lontarkan, berjanji untuk tidak akan pernah mendaki lagi. Tetapi ada sesuatu di ujung perjalanan yang selalu membuat saya mengingkari janji itu.

Sekali lagi, kemudian sekali lagi… Continue reading

Raja Ampat [A prolog]

Seandainya traveling adalah suatu sistem kepercayaan, maka saya dapat berkata bahwa negeri saya Indonesia adalah kuil sucinya. Bentangan alam negeri saya mampu memikat siapa saja untuk berjalan dan menjejaki tiap sudutnya. Sungguh saya sedang tidak bercanda! Negeri saya bukanlah daratan yang berbalut empat musim layaknya Eropa atau negeri yang terkungkung jazirah berselimut debu dan retakan tanah seperti Afrika.

Negeri saya memanjang dari barat ke timur membentuk formasi gugusan ribuan pulau hijau yang dikelilingi lautan berwarna nan kaya. Matahari yang manunggal pun enggan pindah dan menyirami negeri saya dengan cahaya hampir sepanjang tahun. Banyak yang mengibaratkan negeri saya kepingan surga, saya pun mengamininya.

Bagi mereka yang senang menenggelamkan diri dalam misteri dan keajaiban bawah laut, akan dengan mudah dibuat terpesona oleh Indonesia. Tersebutlah beberapa lokasi penyelaman di negeri saya yang namanya tersohor jauh melintas jarak dan bentangan benua. Salah satunya adalah Raja Ampat… Continue reading