Kisah Tiga dan Dewasa

Palu – Sulawesi Tengah, 23 Maret 2009 [08:50am]

Senja belum beranjak kala tiga orang sahabat duduk dengan tampang resah sembari memandang lurus cakrawala di pantai itu. Air muka si Bulan yang manis, senja itu tampak redup. Sang Surya yang senantiasa perkasa, luluh terduduk. Ia Tak bergeming walau sapuan ombak telah membasahi setengah batang kakinya. Sedang Awan yang periang belum mengerti resah yang tengah menggumuli kedua karibnya itu.

Aku takut” ujar si Bulan memecah senyap senja itu.

Sebentar lagi dewasa akan datang, ia akan menelan mimpiku. Aku cuma punya satu dan masih ingin bersamanya” ujarnya pelan. Kata-katanya yang lembut memeluk sore layaknya seorang gadis memeluk boneka kesayangannya, semakin lama semakin erat.

Mengapa dewasa harus datang?” Ia terisak.

Konsentrasinya tertuju pada mimpi dan cita-nya, ia tak ingin melepasnya dan takut bahwa dewasa akan merenggutnya sebentar lagi.

“Ia ingin lari bersama mimpinya, mimpi mungilnya….”

Malam ini kala purnama mulai bergulir ke uguk, aku akan terbang meraih bintang-bintang cita-ku itu. Akan kubungkus ia dengan kain blacu lalu kuletakkan di bawah bantalku. Setelah itu aku akan kembali tidur dengan bintang cita itu di bawah bantalku, rapi serapi mungkin hingga dewasa tak menyadari bahwa bintang cita-ku akan bersamaku malam nanti.

Senyum bulan perlahan membusur, ia telah menemukan cara untuk melindungi mimpinya direnggut dewasa.

Surya yang sedari tadi duduk tiba-tiba berdiri tegak, pelan tapi tegas ia pun berujar pada kedua sahabatnya “Aku sudah punya rencana!”

Sebelum Fajar subuh terbit dan si Jago berkokok, ia akan mengendap-endap pelan, menaruh cita-citanya dalam kotak hitam kelam, sekelam tanah pekarangan. Kotakmya akan ia kubur sedalam tanah yang masih dapat ia gali dengan kedua tangan mungilnya, bersama dengan sebenih tanaman yang akan menjadi penanda tempatnya menanam cita-citanya.

Saat dewasa datang, ia tak akan bisa menemukannya, pikirnya.

“Aman!” Surya pun bergumam.

“Bagaimana denganmu Awan? Apa kau sudah punya rencana?”

Ditanya seperti itu , Awan pun tersenyum.

“Malam ini aku akan bersamamu Bulan, tidurlah dengan nyenyak hingga malam melintas setengah gulita. Aku akan tetap terjaga, mengamati sang Purnama, hingga saat ia mulai bergulir ke timur aku akan membangunkanmu. Aku akan menjahit kain blacu untuk kau bawa terbang nanti. Terbanglah Bulan dan raih bintang citamu, bantalmu akan kusiapkan, peraduanmu akan kurapikan hingga kau kembali ke kamar dan melanjutkan tidurmu dengan bintang cita itu dibawah bantalmu. Tenang saja, aku akan tetap terjaga hingga kau terbangun nanti.

Setelah itu aku akan berlari sekencang-kencangnya untuk menemui Surya. Akan aku pahatkan sebuah kotak cokelat terindah berulir cahaya pelita sebagai wadah tempat cita-citamu yang paling berharga akan bertahta. Akan kuberikan kau sebuah benih pohon kamboja yang akan menjadi penanda tempat citamu itu bersemayam. Tiap hari akan aku siram, hingga Kamboja tumbuh dan berbunga. Tenang saja, dewasa tak akan menemukannya, ia akan kuperlakukan seperti tanaman mama yang lainnya. Hingga nanti saat waktunya tiba, saat kau datang untuk mengambilnya. Kau akan dengan gampang mengetahu, bahwa di bawah Kamboja yang bersidar, disitulah cita-citamu tertanam.

Dengan bangga si Awan menceritakan rencananya, mimpi sang penjaga mimpi sahabat-sahabat kecilnya.

***

Mereka pun melangkah, menjauh dari pantai dan cakrawala. Siap menantang dewasa yang akan segera datang.

Processed with VSCOcam with c6 preset
Saat mentari bergulir jatuh dan tenggelam

PS: Saya terantuk pada tulisan lama ini, kala menggali-gali ke dalam tumpukan catatan lama di halaman Facebook. Boleh dikata ini pertama dan (hingga kini) terakhir kalinya saya menulis fiksi. Boleh dikata pula, ini adalah tulisan pertama yang saya bagikan dengan orang lain.

 Sifat altruisme telah lama membuat saya terkesima, ia hadir dalam sosok orang tua, sahabat hingga hewan peliharaan. Mengesampingkan egoisme, berbagi dan mementingkan kepentingan orang lain tampak bertolak belakang dengan apa yang kini sering kita lihat dan alami.  Sering saya bermimpi, seandainya kita bisa sedikit saja berbagi dan berempati. Dunia ini akan jauh lebih baik.

Semoga saja itu bukan sekadar mimpi naif saya saja.

Tabik

5 thoughts on “Kisah Tiga dan Dewasa

  1. inget sulawesi jadi inget bapak saya, kelahiran sulawesi juga..bahasa dan cara penyampaiannya bagus mas, keren..salam kenal ya mas zainal.. 🙂

    Like

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s