Summit Is [not] The Limit

Bo – Sierra Leone, 15th January 2014 [11:40am]

“… And I’ll come to Indonesia this August, I hope you will be there!”

Menjadi penutup surat eletronik singkat yang dikirimkan oleh rekan saya Lorna pagi tadi. Suratnya yang hangat menjadi oasis diantara timbunan surat elektronik lain yang harus saya baca dan balas dalam beberapa jam pertama hari ini.

Ini pertama kalinya saya mendengar kabar dari Lorna sejak pertemuan pertama dan terakhir kami di langit Tanzania beberapa bulan yang lalu. Saya yang saat itu dalam penerbangan dari kepulauan Zanzibar menuju Kenya duduk berdampingan dengan seorang gadis berkebangsaan Belanda yang baru saja menamatkan seri perjalanannya melintas dataran selatan Afrika.

Saya bukanlah orang yang senang bercakap dalam pesawat pun bukan orang yang menyenangi transportasi udara. Sebagian besar waktu dalam penerbangan pendek maupun panjang saya lewatkan dengan terlelap, membaca ataupun berdiam diri. Tapi siang itu pandangan saya terkunci oleh pemandangan dari balik jendela saat pesawat kami terbang melintas Kilimanjaro yang berdiri gagah. Pesawat terbang tak terlalu tinggi, bergerak pelan layaknya berenang dalam kumparan awan rendah yang menyelimuti salah satu atap dunia ini. Dengan mata telanjang saya mampu memandang hamparan tipis salju abadi di puncaknya. Siang itu langit membirukan sisi-sisi Kilimanjaro dan saya tak henti-hentinya menekan tombol shutter kamera.

Saya menyenangi cerita akan perjalanan, menyenangi kalimat-kalimat yang meletup dengan semangat dari para muzafir, pejalan dan peziarah. Tiap-tiap dari mereka memiliki titik mula dan tujuan, jarak yang berusaha mereka tebas dengan langkah dan seribu satu alasan untuk memulai sebuah perjalanan. Tapi ujung-ujungnya perjalanan selalu mengantarkan mereka ke penemuan.

Dan penemuan senantiasa bercerita tentang sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sederhana.

Penemuan membuat para pejalan menjadi layaknya bayi yang baru menikmati kelima inderanya berfungsi. Saat mereka melihat sisi lain dunia, mengecap petualangan di balik ruang-ruang nyaman mereka, membaui udara, tanah dan busuknya kesenjangan hidup di batas-batas sebuah negeri ataupun merasakan kenyamanan dari sebuah penerimaan dalam budaya yang berbeda.

Lorna salah satu dari mereka, perempuan berusia 19 tahun itu baru menuntaskan perjalanannya dan dalam perjalanan itu ia menemukan satu masa dimana ia memutuskan untuk mereset hidupnya kembali ke titik nol, mengejar sesuatu yang selama ini bahkan tidak pernah terpikir untuk dikejarnya.

“Have you climbed a mountain Husni?” Menjadi kalimat tanya pertama setelah ia tuntas bercerita.

“Yes, several time” Jawab saya.

“Have you climbed Kilimanjaro?” “Ujarnya sembari memandang lepas ke jendela.

“I climbed several mountain in my country but Kilimanjaro indeed is on my bucket list” ujar saya sembari turut memandang keluar.

Kilimanjaro mulai lesap dari pandangan kami, pesawat telah melintas jauh melewati sisi terluar gunung itu.

“That feeling when we’re at the summit, amazing isn’t? I was bone weary tired but feels so powerful at the same time.” Dia berusaha merunut perasaannya kala itu.

Saya mengamininya…

Mendaki bukanlah sesuatu yang mudah, kita layaknya berusaha mengalahkan sebuah tantangan besar ataupun menaklukkan sesosok raksasa. Mendaki  membutuhkan persiapan, kesiapan, niat dan tenaga. Mendaki membuat mengayunkan kaki tidak semudah melangkah, membuat menghirup udara tidak semudah bernapas dan segenap indera kita terfokus pada sebuah titik tuju yang sama: Puncak gunung.

Saat saya mencapai puncak ada rasa senang dan bangga yang meluap seketika tapi layaknya kembang api letupan rasa itu cuma bertahan sebentar saja. Setelahnya saya menyusut, kembali merasa kecil. Karena puncak yang saya taklukkan bukanlah titik tertinggi sesungguhnya. Langit masih menggantung tinggi diatas tanpa bisa saya jangkau hanya dengan langkah kaki…

“Now after Kilimanjaro I’ve decided to climb all the seven summits. That’s my new dream!”  Ujarnya mantap. Kilimanjaro menjadi titik tuju perjalanannya kali ini dan menjadi titik awal penemuan mimpinya yang baru. Perempuan Belanda itu menargetkan untuk mendaki puncak-puncak tertinggi dunia.

“Then I guess I wil see you someday in my country”

“Really? Where do you come from Husni?”

“Indonesia, the home of Carstensz Pyramid, the summit of Oceania”

“Have you been there?!” Tanyanya dengan cepat

“I’ve seen Carstensz with my bare naked eyes as I saw Kilimanjaro today…” Ujar saya singkat.

“Now it’s your turn to tell the story.” Dia merapikan posisi duduknya, sembari menebalkan nada bicaranya. Ia tidak meminta saya bercerita, ia memerintah saya bercerita….

***

Saya masih mengingat jelas dan mampu mereka ulang perasaan saya kala menjelajah Papua setahun yang lalu. Saat helikopter belt puma yang saya tumpangi mendarat di bandar udara mungil bernama Mulu di pedalaman Mimika. Saat itu butuh waktu sekejap saja untuk saya menasbihkan Mulu sebagai bandar udara tercantik di dunia!

Bukan karena fasilitas ataupun pelayanannya (bandar udara Mulu hanya terdiri dari sebuah rumah kecil tanpa listrik dan lapangan terbang tak beraspal) tapi karena Mulu layaknya sebuah inti atom di kumparan cantik neutron berupa pemandangan ajaib pedalaman hutan hujan Papua. Di salah satu sisinya Mulu berpagarkan barisan puncak-puncak pegunungan Sudirman dengan salju abadinya, hitam pekat dan berkilau saat bias matahari menghambur di permukaannya. Di sisi yang berseberangan hijaunya hutan hujan Mimika menghampar hingga ke ujung cakrawala, aliran sungai meliuk dalam lembah-lembah sempit sebelum curahnya tumpah sebagai air terjun diantara bukit-bukit kecil yang bermahkotakan kumparan awan. Cantiknya sungguh membuncah!

Mulu hanya menjadi pintu masuk bagi tim kami yang berjumlah tujuh orang, penerbangan kami kala itu berlanjut lebih tinggi lagi. Helikopter belt puma yang berwarna kuning cerah membawa kami terbang ke titik tertinggi di negeri ini; Carstensz Pyramid.

Mendaki Jaya Wijaya saya percaya bukanlah hal yang mudah pun melintasinya dengan helikopter bukan perkara yang gampang. Belt puma yang kami tumpangi kala itu kesulitan untuk beraklimatisasi, tekanan udara yang tinggi, suhu dibawah nol derajat serta saturasi oksigen yang rendah membuat kami yang berada di dalam helikopter kala itu mengigil kedinginan serta kesulitan untuk bernapas. Pilot dan co-pilot sampai harus mengeluarkan tabung oksigen dan masker.

16 ribu kaki di atas permukaan laut!

Carstensz Pyramid bergeming dengan megahnya, dinding-dindingnya cadas dengan warna hitam legam serta kebiruan. Puncaknya gundul serta dibaluri salju abadi, tak ada satupun entitas kehidupan yang berumahkan puncak Jaya Wijaya. Awan hanya mampu menutup punggungnya saja, Carstensz Pyramid menjulang kokoh dan telanjang dan hanya langit yang mampu menandingi tingginya.

Saat itu saya benar-benar percaya bahwa Tuhan meluangkan waktu sedikit lebih lama saat menciptakan Papua…

***

“That’s… incredble! Now you tickle my curiousity, for sure I will come to your home country someday. Do you want to come back to Carstensz Pyramid? Maybe climb it? Lorna kembali ke posisi duduk awalnya, Pesawat kami akan segera mendarat di Nairobi.

“Maybe, I’ve made a promise to visit to Papua again someday….”

“In a nearest time?“

“I don’t know, it’s pretty difficult for me to assure where I will be in the next one month”

Where are you heading now? Home right?”

“Haha no, I’m going back to South Sudan”

“For traveling?”

“No, same as you. For pursuing my dream….”

***

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s