Saat Kita Menggenapkan Kisah-Kisah Ganjil.

Bogor – Indonesia, 15 Februari 2016 [02:37 PM]

 From   : AR Putri

To        : Me

Halo Kak Husni, 

Perhitungan Kakak tepat sekali, kami sekarang ada di kelas 2 SMA. Beberapa dari kami memang sudah pindah ke sekolah lain, tetapi kita semua still stay in touch with each other.

Senang sekali menerima e-mail dari kakak. Hal ini membangkitkan ingatan bahwa kami pernah ingin mempublish kumpulan cerita yang kami buat berdasarkan artikel yang kakak buat tentang Suku Dani.  Continue reading

Aturan Aritmatika di Pantai Monrovia

Monrovia – Liberia, 24 Oktober 2015 [09:12am]

Pagi-pagi sekali saya merapikan diri dan bergegas ke teras belakang penginapan. Jalan pagi itu sedang lengang-lengangnya dan pokok bunga kamboja yang ditanam pemilik hotel masih basah oleh hujan semalam.

Sudah dua bulan saya menetap di Liberia tapi belum sekali pun pernah menginjakkan kaki di daerah pesisirnya. Sebagai anak yang besar di pantai, saya seakan menjadi pecundang dan ingin menutup muka karena malu layaknya seorang kemenakan kualat yang saban kali bertandang ke kota tak pernah singgah di rumah tantenya.

Tiap kali ke Monrovia, saya meniatkan diri untuk berziarah ke pantai, tetapi tiap kali pula pekerjaan membuat saya alpa – alasan ini pun terdengar pengecut – . Kesempatan itu akhirnya datang saat rekan saya Emmanuel menawarkan diri untuk menunjukkan saya pesisir Monrovia, keberuntungan kuadrat saat kantor menempatkan saya di salah satu hotel yang bertetangga dengan batas laut.

Pantai-pantai yang memagar barat Afrika cukup melegenda, ombaknya yang ganas dan cekungan teluk yang curam kala air pasang datang menjadikannya objek wisata yang diminati banyak peselancar. Dikala perang sipil berhenti, gelombang peselancar mulai sering terlihat di sepanjang pantai ELWA, Roberton dan Silver. Bisnis penginapan, bar dan rumah makan di sepanjang pesisir pun tumbuh satu persatu. Lantunan reggae dan pop Nigeria terdengar tiap malam, bersahut-sahutan seakan meneriaki lautan.

Pesisir pantai di Monrovia
Pesisir pantai di Monrovia

Semua itu berubah sejak setahun terakhir, wabah Ebola seakan menyapu bersih ekonomi negeri ini, membalik banyak kursi dan menutup pintu-pintu rejeki.

*** Continue reading

The Science of Smile [ Ebola; Past and Present]

Phebe – Liberia, 15th October 2015 [05:09PM]

Back in the 19th century, the great American psychologist William James proposed that our facial expression and other bodily changes are not the consequence of our emotional feelings, but the cause. There is also evidence that our facial expressions change the way we perceive the world. More theory, hypothesis and reseacrh have been published in the following years.

Unanimously, science has debunked the face of happiness.

Continue reading

Satu Sore di Lhokseumawe

The story teller

Lhokseumawe – Indonesia, 10 Agustus 2015 [03:06pm]

Seperti yang dikisahkannya pada saya…

Hidupnya tidak jauh dari periuk, sumur dan sepetak warung. Saat muda dulu, sekali-kali ia menghias mata dengan celak hitam tapi itu saat suaminya belum purna. Lama-lama sekali, ia membeli sarung baru di pasar Minggu kota Lhokseukon dan dikenakannya saat hari raya tiba. Walau tinggal tak jauh, saat muda dulu tempat ini urung dikunjunginya. “Tak pantas” katanya.

Anaknya dua, satu wanita ikut suaminya hijrah ke Pidie sejak tahun 2002 dan satunya lagi pria yang terhanyut dalam romansa maskulinitas Aceh di akhir 90an. Saat konflik usai, alih-alih pulang, ia memilih merantau ke Balikpapan. Satu salam saat Lebaran tahun 2005 menjadi perjumpaan terakhir si Mamak dan Buyungnya. Continue reading

Finding Sincerity in Khaosan Road

How many bottles of beer left alone after 5AM in Khaosan Road?

***

I asked myself that silly question as I was passing by different type of people equated by bottle or more of Singha beer on their hands. Every few meters, I saw a young Thais stood between clothes markets’ stall holding giant cooler of ice crammed with beer. Some of them kept waving giant board with raggedly written “Laughing Gas” or “Low Price” bucket whisky, made me wonder whoever wrote that potentially under whatever it was they’d written on it.

I had only been to Khaosan Road once before and while I didn’t remember it fondly; I could recall that it certainly was not jammed with people as this time. It was 10 minutes past 12AM and I was restlessly waiting my friends at the corner of Dang Derm Hotel. The street wasn’t change much and every minute it kept pulsating mass of humanity. Continue reading

Kepada Rumi, Saya Patah Hati

Konya – Turkey, 28 Desember 2014 [07:40am]

 Hujan rintik-rintik menyisakan embun di kacamata saya.

Jujur saja saya paling tidak suka saat tak mampu melihat dengan sempurna. Kacamata yang berembun membuat saya pincang, buram jalan dan manusia melebur layaknya santan putih yang dituang di semangkok bubur ketan hitam. Insting pun seketika menjadi pelakon utama yang menuntun saya berjalan. Samar-samar saya melihat rupa menara hijau tinggi di seberang jalan, satu-satunya warna cerah yang mencuat di balik berundak-undak awan di atas kota Konya.

Subuh tadi seorang karib mengirimi saya sebuah surel panjang berisi refleksi dirinya setahun terakhir. Natal yang baru saja berlalu menjadi kuil untuknya berkontemplasi tentang hidup, kepercayaan, mati dan cinta. Sayang 2014 bukanlah tahun terbaiknya, karib saya ini baru saja ditinggal pergi kekasihnya. Bukan dia saja yang patah hati, saya pun dibuatnya ikut patah hati. Bagi saya keduanya adalah pasangan sempurna, layaknya lonceng kecil dan leher domba. Dalam perbedaan mereka saling melengkapi, bahkan ketika saling membenci mereka berjanji untuk tetap saling mencintai.

Surelnya adalah ungkapan patah hati, tulisannya mengingatkan saya pada hari dimana mereka berpisah dan percakapan lintas benua kami yang berlangsung hingga dini hari kebanyakan berisi hening dan seguk tangisnya di seberang sana.

The wound is the place where light enters you

Ia mengutip sajak favorit kami, disela-sela baris surelnya. Continue reading

Manusia, Tuhan, Cinta dan Meja Makan yang Dibagi Dua

Selçuk – Turkey, 24 December 2014[07:12pm]

“Can I sit here? tanya dia.

Sesaat saya memandang pria itu sebelum menjawabnya dengan anggukan kepala.

“Have you ordered?” Tanyanya lagi.

“Not yet, it seems there’s only  one waiter and he’s pretty busy” jawab saya sekadarnya.

Beberapa saat kami berdua kembali sibuk dengan layar kecil ponsel kami sebelum pelayan bertubuh tambun dengan serpihan uban keperakan menyapa. Disodorkannya sebuah menu bergambar ke tengah-tengah meja, kemudian perhatiannya kembali terarah pada layar televisi yang tergantung di tengah-tengah ruangan. Continue reading

[Give Away] Memento from Malawi

Almarhum ayah saya sering mengingatkan untuk tak pernah lupa melafal “terima kasih” kepada mereka yang telah menoreh jasa dalam hidup kita. Beliau percaya bahwa gugusan aksara pendek itu menginfiltrasi jauh ke dalam sanubari tiap orang, memberi rasa senang teruntuk mereka yang kita tujukan dan menjadi jangkar bagi kita agar senantiasa membumi.

Kini, saya ingin mengucap terima kasih kepada kalian. Orang-orang yang tak semuanya sempat saya sapa dengan kata saat berkunjung ke rumah maya saya yang sederhana ini. Kepada kalian, baik yang meninggalkan jejak aksara di kolom komentar atau pun yang hanya memberi sedikit ruang di girus otaknya untuk merekam gambar ataupun susunan kata di halaman ini. Seandainya tangan saya bisa menjangkau keluar dari batasan dunia maya, saya ingin menyalami kalian satu persatu dan mengucapkan “terima kasih”.

Continue reading

Loe Valley: A Prolog

Saya percaya walaupun masa depan tampak lamat-lamat dan menggelap, saat kita menderap langkah maju menuju kesana tak ada kata mundur ataupun berbalik arah…

***

Lengkese, 15 Februari 2013 [11:24pm]

Malam telah pekat saat rombongan kami tiba di desa Lengkese, desa terakhir yang dapat dijangkau oleh jalur transportasi. Sebuah rumah kayu yang telah sering kami kunjungi menjadi persinggahan sementara, sebelum kami memulai perjalanan panjang menuju Lembah Loe keesokan subuhnya.

Rombongan kami berjumlah sembilan orang,  kedelapan orang lainnya bukanlah karib saya, pun umur kami terpaut sedemikian jauhnya tapi kami semua terlahir dari rahim organisasi kampus yang sama, membuat kami terikat sebuah persaudaraan unik yang menghapus segala sekat pembeda.

Continue reading

Reuni Bawah Air

“Apakah kalian senang bereuni, memutar waktu dan memanggil kembali kenangan yang menari?”

Saya pernah sekali berkunjung ke akuarium raksasa bernama Seaworld, saat itu saya masih kecil. Mungkin karena kegemaran memotret saya telah memperlihatkan wujudnya, maka hari dimana kami berkunjung ke Seaworld ibu mengamanahkan sebuah kamera saku dengan sebuah rol film berkapasitas 36 kutipan kepada saya. Saya pun di daulat menjadi tukang foto keluarga.

Seaworld yang dipenuhi lampu temaram dan ikan beraneka ragam dengan mudah memikat perhatian saya. Bola mata saya yang kecil membelalak kagum tiap kali ikan-ikan besar berenang berseliweran.  Saya ingin memotret tiap-tiap dari mereka tapi kemudian meragu. Mengingat tiap shutter yang saya tekan berarti satu rekam gambar yang tak bisa lagi di ulang ataupun di hapus layaknya kamera digital masa kini. Maka saya bersabar, menanti momen terbaik dan ikan paling cantik… Continue reading