Half Page of Northern Rhodesia

Livingstone City, 20 September 2012 [1:55pm]

Hari ini hari terakhir saya menikmati hangatnya matahari Zambia, seharusnya saya menuliskan kisah betapa megahnya negeri utara Rhodesia ini dengan Mosi-O-Tunya yang menggelegar serta Zambezi yang menggeliat panjang. Tapi biarlah halaman itu saya sisihkan sementara, untuk berbagi cerita tentang manusia-manusia yang bersinggungan dalam perjalanan saya kali ini.

Siapapun yang pertama kali berucap “the strangers you meet on the way will leave you a memory that will linger forever” benarlah adanya. Bagi saya, tempat yang kita tuju hanyalah separuh dari cerita perjalanan separuhnya lagi adalah orang-orang yang kita temui dan berbagi lintasan waktu sepanjang perjalanan.

Saya tidak pernah menyangka bahwa alam Zambia bukan hanya menarik para pejalan yang hendak bergumul dengan liarnya Afrika. Tapi juga para pencinta yang hendak menuliskan kisah mereka di hilir-hilir zambezi ataupun savana kering South Luwanga. Saya pun demikian, walau hanya dapat mengecap rasa cinta yang dibagi mereka dalam cerita. Tetapi ada keterikatan, yang membuat saya tersenyum senang saat mereka berbagi kisah manis dan tersenyum getir saat ikut merasakan kisah  pahit yang dibagi…

***

African Queen Cruise Boat – Zambesi River, 17th September 2012 [05:38pm]

Kembali ke awal minggu, sore yang temaram. Saya sedang menikmati matahari terbenam di atas kapal yang melaju tenang di hilir-hilir Long Island, Zambezi. Belum habis takjub saya bahwa saya sedang melintas sungai yang sama dua hari yang lalu, membuat keputusan tertolol dalam hidup saya untuk menantang jeram zambezi yang digdaya. Tapi beruntung hidup masih terlalu enggan untuk berpisah dari jasad ragawi dan memberi saya kesempatan untuk bertemu dengan pasangan Nicolette dan Armaund…

Hmm, pasangan mungkin bukan kalimat yang tepat untuk menggambarkan mereka. Sudah empat belas  tahun mereka berpisah. Dan kali ini untuk sebuah kejutan kecil ulang tahun anak mereka yang bekerja sebagai geologis di pertambangan tembaga Zambia, mereka mengarungi setengah lingkar bumi bersama-sama.

“We’ve planned this since March and fortunately both of our partner is OK with this and George really got a big suprise!” sambil menyeruput Mosi, bir khas Zambia, Armaund menjelaskan kepada saya tentang bagaimana mereka merencanakan perjalanan ini.

“You guys don’t feel… awkward?” Saya bertanya dengan polos. Masih belum bisa mencerna bagaimana mereka yang dulu pernah saling mencintai kemudian berpisah dan kini kembali lagi dalam sebuah perjalanan panjang bersama-sama.

“Well, we always become a good friend, even after we divorced. At this age, you will understand that love is not only about lust and all sweet things like fancy dinner. I always love Armaund, it just different now. He is my brother, my friend but still a father of my son”  Nicolette menimpali setelah tertawa mendengar pertanyaan saya.

Kemudian saat mereka bercerita bahwa perjalanan kali ini layaknya reuni dua sahabat karib dan berakhir dengan sebuah reuni keluarga sungguh membuat saya kagum. Kemampuan mereka mentransformasi cinta menjadi sebuah rasa yang tetap hidup bahkan setelah perpisahan merenggut tidak sering saya jumpai.

Mungkin begitulah seharusnya perpisahan tidak berarti kehilangan baik cinta maupun hubungan. Sesederhana menulis akhir dari sebuah kisah lama, membuka halaman berikutnya dan mulai menuliskan cerita baru bersama-sama.

Cerita mereka melengkapi senja zambezi, ginger ale dan daging panggang sore itu. Penutup hari yang sempurna!

 

           

Livingstone Island, 19 September 2012 [04:30pm]

Di hari Rabu, Devils Pool mempertemukan saya dengan Sascha dan Karina. Dua anak muda asal Denmark yang telah menempuh perjalanan panjang hampir sebulan di atas truk, melintas jazirah selatan Afrika. Kisah mereka dimulai dari kelulusan mereka di sebuah institut tehnologi di Jerman, berbekal sisa beasiswa yang mereka dapat selama kuliah mereka memutuskan merayakan “kebebasan” dengan bertualang di benua hitam. Memulai perjalanan mereka di Johannesburg Afrika Selatan dan bermimpi menuntaskan perjalanan tiga puluh hari mereka dengan menikmati matahari pasifik di kepulauan Zanzibar.

“What country is your favourite amongst all?” saya bertanya, mencoba berbasa-basi sembari menghapus kecemasan, gambaran bahwa kami akan berenang di kolam paling berbahaya di dunia yang terletak tepat di ujung Victoria Falls  cukup membuat kadar adrenalin meningkat.

“BOSTWANA!” kompak mereka menjawab.

“? Why Bostwana? Great Safari Park I heard” saya melanjutkan pertanyaan…

“Well, that also the reason but we’re officially in a relationship there” tersipu Karina menjawab ada nada malu dalam suaranya.

Sejak itu cerita mereka mulai mengalir, kemudian saya baru mengetahui bahwa mereka memulai perjalanan sebagai sepasang karib kuliah bukan sepasang kekasih seperti yang saya duga sebelumnya. Bahwa awalnya mereka berjanji untuk menjadikan liburan kali ini sebagai “perpisahan” mereka, Karina akan kembali bekerja di Denmark sedangkan Sascha belum memiliki rencana apa-apa sampai kemudian Tuhan telah menuliskan sebuah skenario yang menarik bagi mereka, karena pada akhirnya di tempat yang paling asing hati mereka di pertemukan.

“I’ll try to search for a job in Copenhagen after this, looking to stay together with her” Sascha melengkapi jawaban akan masa depannya hari itu.

Memang benar tiap orang punya alasan untuk memulai sebuah perjalanan tapi bukan mereka yang menentukan apa yang nanti mereka akan dapatkan. Layaknya menebak isi bungkusan hadiah warna-warni di bawah pohon berhias saat natal tiba, kita hanya perlu menikmati kejutannya. Mungkin sebuah kisah manis seperti pasangan ini ataupun cerita pahit yang dibawa pulang nanti. Tapi apapun itu, mari mencoba menikmati.

Karena tidaklah sopan untuk menolak hadiah bukan?

Jollyboys Backpacker Hostel, 19 September 2012 [08:33am]

Bagi saya, tempat terbaik untuk memulai hari di Zambia adalah dapur umum hostel kami. Disanalah pusat informasi terlengkap dapat saya dapatkan, informasi tentang tempat wisata dan aktivitas yang menarik mengalir seirama dengan desiran telur di atas penggorengan dan harum bubuk kopi yang tersiram air hangat. Awal minggu saya adalah mereka yang mencari informasi dan kini tiba saatnya saya menjadi si pemberi informasi.

Semalam, hostel ini kedatangan dua orang tamu baru. Dua orang pemuda asal Bangladesh yang bekerja di Republik Kongo. Rahad dan Tarek adalah sepasang sahabat yang sama-sama bekerja sebagai tentara perdamaian PBB di negeri yang terletak di sentral Afrika itu. Walau lokasi bertugas mereka yang berjauhan (Rahad bertugas di Kinshasa sedangkan Tarek bertugas di Pointe-Noire) mereka memutuskan untuk mengambil cuti bersama untuk mengunjungi Victoria Falls.

“The first week-off we went to Tunisia and then Egypt now this is the 3rd time we traveled together, just like a couple haha” Rahad berkelakar sembari menyeruput kopi. Pagi itu kami saling berbagi cerita dan informasI.

“How’s Congo? I heard the country is heating up” saya bertanya tentang situasi Republik Kongo. Tiap berita yang saya baca tentang salah satu negara terluas di sentral Afrika itu selalu saja membuat saya prihatin. Malaria yang mewabah, virus Ebola yang kembali muncul dan menelan korban jiwa hingga pertikaian yang berakhir dengan perang saudara.

“Life it’s not easy in Congo but it’s always fun if you with a right person” Rahad menjawab sembari melirik ke Tarek.

Kemudian mereka menceritakan pengalaman mereka menjelajah Tunisia berdua dan bagaimana mereka akhirnya harus menghabiskan liburan di Mesir dengan “bekerja” di barak tentara PBB karena berkunjung pada saat demonstrasi besar-besaran di negara tersebut.

“Anywhere is fun for us basicly” Tarek menjawab

“As long as they have a good beer and nice girl haha” Rahad menimpali sembari berkelakar dan menutup percakapan kami pagi itu.

Mungkin mereka benar, bahwa sebuah tempat tidak menjadi begitu bermakna saat akhirnya kita menemukan teman perjalanan terbaik.

Karena saat lintasan perjalanan dilewati dengan orang yang tepat, percayalah tak ada masa yang tak indah!           

Leave a comment