Aturan Aritmatika di Pantai Monrovia

Monrovia – Liberia, 24 Oktober 2015 [09:12am]

Pagi-pagi sekali saya merapikan diri dan bergegas ke teras belakang penginapan. Jalan pagi itu sedang lengang-lengangnya dan pokok bunga kamboja yang ditanam pemilik hotel masih basah oleh hujan semalam.

Sudah dua bulan saya menetap di Liberia tapi belum sekali pun pernah menginjakkan kaki di daerah pesisirnya. Sebagai anak yang besar di pantai, saya seakan menjadi pecundang dan ingin menutup muka karena malu layaknya seorang kemenakan kualat yang saban kali bertandang ke kota tak pernah singgah di rumah tantenya.

Tiap kali ke Monrovia, saya meniatkan diri untuk berziarah ke pantai, tetapi tiap kali pula pekerjaan membuat saya alpa – alasan ini pun terdengar pengecut – . Kesempatan itu akhirnya datang saat rekan saya Emmanuel menawarkan diri untuk menunjukkan saya pesisir Monrovia, keberuntungan kuadrat saat kantor menempatkan saya di salah satu hotel yang bertetangga dengan batas laut.

Pantai-pantai yang memagar barat Afrika cukup melegenda, ombaknya yang ganas dan cekungan teluk yang curam kala air pasang datang menjadikannya objek wisata yang diminati banyak peselancar. Dikala perang sipil berhenti, gelombang peselancar mulai sering terlihat di sepanjang pantai ELWA, Roberton dan Silver. Bisnis penginapan, bar dan rumah makan di sepanjang pesisir pun tumbuh satu persatu. Lantunan reggae dan pop Nigeria terdengar tiap malam, bersahut-sahutan seakan meneriaki lautan.

Pesisir pantai di Monrovia
Pesisir pantai di Monrovia

Semua itu berubah sejak setahun terakhir, wabah Ebola seakan menyapu bersih ekonomi negeri ini, membalik banyak kursi dan menutup pintu-pintu rejeki.

*** Continue reading

The Science of Smile [ Ebola; Past and Present]

Phebe – Liberia, 15th October 2015 [05:09PM]

Back in the 19th century, the great American psychologist William James proposed that our facial expression and other bodily changes are not the consequence of our emotional feelings, but the cause. There is also evidence that our facial expressions change the way we perceive the world. More theory, hypothesis and reseacrh have been published in the following years.

Unanimously, science has debunked the face of happiness.

Continue reading

Fortune One: Ode of Sierra

Sekeras apa sebuah surel dapat menamparmu?!

Tidak, saya sedang tidak menyampaikan retorika bukan pula berusaha memberimu sebuah pertanyaan filsuf yang mungkin kau temukan jawabannya saat membuka kitab-kitab suci Plato.

Saya sekadar meresonansi sebuah kalimat tanya yang terbersit di dalam otak saya. Pertanyaan itu pun tidak pernah terlintas sebelumnya mengingat surel secara harfiah tidak memiliki massa untuk dapat memberi sebuah rasa.

Pertanyaan itu hadir mengikuti jawabannya saat satu sabtu yang lalu kotak email saya menampilkan sebuah surat dari rekan di benua hitam.

“We are close to win the war Husni, all I can think is how much you want to be here now to end it…”

Pipi saya memerah dan berbagai macam perasaan menggelegak keluar, rasa iri pun bercampur rasa senang, rasa lega bercampur rasa iba, rasa tenang bersinggungan dengan rasa gelisah. Ebola yang menjadi mimpi buruk kami berbulan-bulan lamanya, perlahan mulai kalah.

Saya merasa tertampar tak bisa turun tangan bersama rekan-rekan saya di garis depan melawan salah satu virus paling mematikan di dunia ini.

***

Continue reading

If a tiny fragment of ARVs could work simultaneously to fight the giant pandemic of HIV. Then you wonder why all nations on this giant blue planet couldn’t do the same with the tiny Ebola virus?

my though and love to my dearest colleagues at the frontline, fighting the war against ebola and world’s ignorance!

Satu Koma Enam Satu Delapan

Begini awal mulanya…

Di suatu petang di bulan November, di tengah perjalanan panjang trans-liberia yang tengah saya tempuh, rombongan kami berhenti sejenak di sebuah desa bernama Lombe. Kala itu kami berniat melewatkan sebuah pekan di pulau Tiwai, sebuah pulau besar di tengah-tengah sungai Moa yang melintasi Sierra Leone, Liberia dan berakhir di delta niger – Nigeria.

Pulau Tiwai menjadi salah satu dari sedikit destinasi alam liar yang dapat dijangkau dengan jalan darat dari kota tempat saya bermungkim. Sejak dahulu, Tiwai telah dikenal sebagai daerah suaka bagi primata. Pulau yang luasnya tak lebih dari dua lapangan bola menjadi rumah bagi sebelas jenis primata dan great apes. Peneliti eropa sejak awal tahun 50an menasbihkannya menjadi salah satu daerah dengan kekayaan primata terbesar di dunia.

Tiwai menjadi rumah bagi  monyet Diana yang langka, menjadi ekosistem alami bagi monyet Kolobus Merah beserta koloninya dan juga tempat persembunyian Chimpanzee Hitam Afrika yang semakin sulit ditemui.

Saya menyebut Tiwai sebagai daerah suaka, tempat perlindungan bagi primata yang terancam punah, sungai Moa yang lebar serta buaya-buaya Nigeria yang mendiaminya menjadi pelindung alami para primata dari pemangsa utama mereka; Manusia. Continue reading

Satu Pagi di Barat Afrika

Freetown – Sierra Leone, 9 February 2014 [06:06am]

Tiap-tiap manusia berkisah dengan inderanya pun dengan lakunya. Tiap-tiap dari kita adalah sebuah buku yang terbuka dan dapat dibaca oleh siapa saja yang dapat menerjemahkan aksara tak tertulis. Manusia menorehkan cerita hidup dalam ruang bidang yang beragam, seperti kota ini serta misteri pagi yang disembulkannya setiap hari.

Kabut bergulir dari puncak-puncak bukit yang memagar peninsula jauh sebelum matahari terbit, bertingkat-tingkat layaknya gulungan ombak kemudian meluruh hilang saat menyentuh pesisir-pesisir pantai yang mengecup pinggir samudera Atlantis, sebuah pertujukan alam maha megah yang ditampilkan setiap pagi.

Sepuluh tahun yang lalu, saya tak akan mampu berdiri disini sembari memandang kota, karena sebutir peluru akan dengan mudah terbenam di batok kepala saya. Saya akan menjadi salah satu dari ratusan ribu manusia tanpa nama yang hanya terekam sebagai bagian sejarah dari salah satu perang saudara terburuk di benua Afrika.

Perang tak pernah mengenal kata belas kasihan dan toleransi, ia layaknya sebatang besi panas yang melelehkan tiap balok es yang disentuhnya hingga tak menyisakan satu pun atom yang mewujud benda ataupun layaknya titik yang menamatkan tiap cerita, tanpa menyisakan satu pun kata sesudahnya. Continue reading

Saya senang berlari!

Berlari membuat saya dapat mempercepat perpindahan, mengubah lampau menjadi kekinian. Berlari pun memperpendek jarak, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan kegagalan.
Di rumah sakit ini saya berlari hampir setiap saat, saat kode merah menyala dan salah satu dari ratusan anak di bangsal kami kembali meregang nyawa. Mungkin pengantar pizza atau pak pos yang sering bertandang ke rumah akan kagum melihat saya begitu seringnya berlari dari satu bangsal ke bangsal lain, layaknya mereka.
Saat berlari saya tak pernah menatap ke bawah pun menoleh ke belakang. Berlari memfokuskan tujuan, memaksa saya meninggalkan segala sesuatu yang bukan menjadi proritas.
Tapi akhir-akhir ini saya mulai menyadari bahwa berlari membuat waktu tampak memelan dan terkadang saya ingin sebentar saja berjalan pelan…

Little Adult

“For in every adult there dwells the child that was, and in every child there lies the adult that will be.” ~ John Connolly

***

Sewaktu saya kecil, saya sering bertanya-tanya berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk menjadi dewasa? Saat itu saya mengartikan dewasa sebagai sebuah puncak kebebasan, selebrasi atas pencapaian usia yang membuat saya dapat melewati batasan-batasan yang selama ini mengungkung saya.

Saat saya dewasa tak ada lagi bapak yang akan mempertanyakan kenapa saya pulang pagi hari ini, tak ada lagi rasa was-was harus mengendarai motor tanpa takut di tilang karena tak memiliki SIM, saya bebas berpacaran tanpa malu-malu bergandengan tangan dan akhirnya mengantongi kartu tanda penduduk serta ikut pemilihan umum untuk pertama kalinya.

Dewasa sejatinya merunut usia, tolak ukur yang paling mudah untuk dijadikan acuan. Saat usiamu mencapai bilangan tertentu maka kedewasaan seharusnya ikut ditasbihkan ke dalam dirimu. Tapi seringnya saya mendengar bahwa dewasa itu adalah sebuah pilihan, bahwa tidak semua yang menua semerta-merta ikut menjadi dewasa, saya merasa itu ada benarnya juga. Dewasa dan usia layaknya Theseus dan Centaur dalam Labirin Kreta, di mana ia harus memilih lorong tepat sembari berpacu dengan Centaur yang terus menerus memburunya. Pilihan ada dimana-mana beberapa mengajarkanmu kebijakan sisanya hanya menjerumuskanmu pada penyesalan.

Dewasa adalah sebuah pilihan? Bagaimana jika dewasa adalah sebuah keterpaksaan?

*** Continue reading

Di titik-titik tertinggi bumi manusia menjura langit, menyadari betapa kecil mereka dibandingkan alam semesta dan segenap isinya. Di kedalaman palung-palung lautan, manusia menjura kegelapan saat mereka menyadari bahwa sungguh sangat sedikit yang mereka ketahui. Manusia memandang tingginya gunung dan dalamnya laut sebagai media untuk ditaklukkan, banyak yang berhasil tapi tidak semua dari mereka akan pulang dengan pelajaran bahwa sesungguhnya mereka tak pernah menaklukkan alam.

Tetapi sejatinya alam menempa mereka untuk dapat menaklukkan batas-batas dalam diri mereka sendiri…

 

nb: picture of Sudirman Range – Mimika, Papua

Summit Is [not] The Limit

Bo – Sierra Leone, 15th January 2014 [11:40am]

“… And I’ll come to Indonesia this August, I hope you will be there!”

Menjadi penutup surat eletronik singkat yang dikirimkan oleh rekan saya Lorna pagi tadi. Suratnya yang hangat menjadi oasis diantara timbunan surat elektronik lain yang harus saya baca dan balas dalam beberapa jam pertama hari ini.

Ini pertama kalinya saya mendengar kabar dari Lorna sejak pertemuan pertama dan terakhir kami di langit Tanzania beberapa bulan yang lalu. Saya yang saat itu dalam penerbangan dari kepulauan Zanzibar menuju Kenya duduk berdampingan dengan seorang gadis berkebangsaan Belanda yang baru saja menamatkan seri perjalanannya melintas dataran selatan Afrika.

Saya bukanlah orang yang senang bercakap dalam pesawat pun bukan orang yang menyenangi transportasi udara. Sebagian besar waktu dalam penerbangan pendek maupun panjang saya lewatkan dengan terlelap, membaca ataupun berdiam diri. Tapi siang itu pandangan saya terkunci oleh pemandangan dari balik jendela saat pesawat kami terbang melintas Kilimanjaro yang berdiri gagah. Pesawat terbang tak terlalu tinggi, bergerak pelan layaknya berenang dalam kumparan awan rendah yang menyelimuti salah satu atap dunia ini. Dengan mata telanjang saya mampu memandang hamparan tipis salju abadi di puncaknya. Siang itu langit membirukan sisi-sisi Kilimanjaro dan saya tak henti-hentinya menekan tombol shutter kamera.

Saya menyenangi cerita akan perjalanan, menyenangi kalimat-kalimat yang meletup dengan semangat dari para muzafir, pejalan dan peziarah. Tiap-tiap dari mereka memiliki titik mula dan tujuan, jarak yang berusaha mereka tebas dengan langkah dan seribu satu alasan untuk memulai sebuah perjalanan. Tapi ujung-ujungnya perjalanan selalu mengantarkan mereka ke penemuan.

Dan penemuan senantiasa bercerita tentang sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sederhana.

Penemuan membuat para pejalan menjadi layaknya bayi yang baru menikmati kelima inderanya berfungsi. Saat mereka melihat sisi lain dunia, mengecap petualangan di balik ruang-ruang nyaman mereka, membaui udara, tanah dan busuknya kesenjangan hidup di batas-batas sebuah negeri ataupun merasakan kenyamanan dari sebuah penerimaan dalam budaya yang berbeda.

Lorna salah satu dari mereka, perempuan berusia 19 tahun itu baru menuntaskan perjalanannya dan dalam perjalanan itu ia menemukan satu masa dimana ia memutuskan untuk mereset hidupnya kembali ke titik nol, mengejar sesuatu yang selama ini bahkan tidak pernah terpikir untuk dikejarnya.

“Have you climbed a mountain Husni?” Menjadi kalimat tanya pertama setelah ia tuntas bercerita.

“Yes, several time” Jawab saya.

“Have you climbed Kilimanjaro?” “Ujarnya sembari memandang lepas ke jendela.

“I climbed several mountain in my country but Kilimanjaro indeed is on my bucket list” ujar saya sembari turut memandang keluar.

Kilimanjaro mulai lesap dari pandangan kami, pesawat telah melintas jauh melewati sisi terluar gunung itu. Continue reading