Hidup banyak bercerita tentang hal-hal yang indah. Tentang harapan yang menang melawan kemustahilan, cinta yang menang melawan ego dan benci, atau si miskin yang menang melawan tirani konglomerat. Bahkan kitab suci turut bercerita tentang si kecil Daud yang menang melawan sang raksasa Jalut.
Tetapi sayang beberapa kisah dalam hidup ini, saya adalah sang raksasa…
***
Doro Refugee Camp, 4 April 2013 [10:23pm]
Ini sudah malam ke empatnya, tak ada yang berbeda. Dia masih tetap terbaring bisu di tenda isolasi. Terakhir saya mengunjungi beberapa jam yang lalu, memastikan gula darahnya tetap dalam batas yang normal sebelum akhirnya berlalu pergi dengan peluh yang membanjir. Sungguh tempat ini jauh dari kata nyaman, suhu Sudan selatan tak pernah bersahabat bahkan saat malam.
Tenda isolasi bukanlah tempat favorit semua orang, sejak wabah hepatitis E menyerang daerah ini, hidup yang sejatinya telah berat menjadi lebih berat lagi. Penyakit ini menjelma menjadi momok menakutkan bukan hanya bagi mereka yang awam tapi bagi kami yang bergelut dengannya tiap hari. Tak ada yang tahu, siapakah yang kelak terbaring disini. Hari ini mereka, esok lusa mungkin saja kami…
Dia dengan kulitnya yang hitam legam tampak cantik berbalut kain biru malam ini, matanya tertutup sempurna, napasnya memelan setiap saat saya mengamatinya. Tetapi ada seorang pria yang selalu setia di sana, mengusapi dahinya yang basah oleh keringat ataupun sekedar mengosongkan kantong urine-nya yang gelap karena air seni yang pekat. Pria itu hanya mampu duduk terpaku dengan tatapan kosong, malam yang bisu seakan ikut menenggelamkannya. Saya kadang satir bergumam, sulit membedakan siapa yang sebenarnya sedang koma.
Ini sudah malam keempatnya terbaring tak sadarkan diri di dipan kayu nomor dua, empat malam pula saya telah menemaninya disini, mencoba menabur sekam di atas geram ketidak berdayaan. Menyadari tak ada lagi yang dapat saya lakukan selain mengamatinya melewatkan malam demi malam. Berharap secuil harapan muncul dari mana saja.
Empat malam saya lewatkan untuk menyusuri kehidupannya, menapaki jejak kenangan tak bernama dan mencoba mengenalnya. Wanita itu bernama Hawa, usianya baru dua puluh satu tahun. Tulang rusuk pelengkap bagi seorang pria bernama Gabriel dan ibu dari seorang bocah perempuan bernama Lola. Dia bersama suami dan keluarganya keluar dari negerinya dan menyambung hidup di kamp pengungsian ini.
Hawa, layaknya nama yang di ambil dari kitab-kitab suci agama samawi; manusia kedua yang dicipta sang Khalik untuk menemani Adam. Dia pun berperan seperti itu. Seorang wanita yang setia menemani suaminya kemana saja, melintas batas negeri, bergelung dalam selimut debu dan bermungkim di tanah tandus tanpa masa depan. Cinta baginya adalah kesetiaan menapak langkah demi langkah sebaris di belakang sang suami. Tapi empat malam sudah langkahnya terhenti, dia sekarang terbaring membisu sejak virus Hepatitis E menjangkiti tubuhnya, dan kini Gabriel yang setia mendampinginya disana. Sudah beberapa bulan kami berjuang memerangi wabah penyakit ini, berusaha percaya bahwa dibalik semua keterbatasan serta kecilnya kemampuan yang kami miliki, secercah harapan selalu ada. Karena walaupun penyakit ini telah merenggut banyak nyawa, tak sedikit pula yang berhasil sembuh sempurna.
***
Tengah malam lewat sudah, kondisinya tidak banyak berubah.
Saya memasang alat pembaca denyut nadi di jarinya yang dingin. Melakukannya dengan cepat, sembari mencoba menepis pandangan Gabriel yang sedari tadi memperhatikan saya memeriksa kondisi istrinya. Tangannya bersila memeluk telapak tangan kanan Hawa, diusapnya jari sang wanita itu satu persatu. Mungkin mencoba memberi sedikit kehangatan? Atau mengirimkan sinyal-sinyal penyemangat kepada jiwa yang melemah? Saya tak tahu pasti, bertanya pun bukan sesuatu yang menarik untuk dilakukan saat ini.
“She’s still ok, let’s hope she can awake soon…” Sembari tersenyum, saya kembali mengulang kalimat yang entah sudah keberapa kali saya ucapkan kepada Gabriel. Walaupun saya tahu, dia yang tak mampu berbahasa Inggris tak sekalipun memahami artinya, tapi saya percaya setiap harapan adalah doa dan untuk itu bahasa bukanlah pemisah.
Kembali lagi Gabriel melakukan hal yang sama, mengusap dahi Hawa yang basah oleh keringat, mengosongkan kantong urine yang kembali penuh, kemudian merapikan sudut-sudut kain biru yang menutupi tubuh istrinya, sembari sesekali menimang buah hati mereka yang tertidur nyenyak di pangkuannya.
“She’s strong…” Mary, rekan perawat yang menemani saya malam ini berujar. Saat menangkap basah saya yang tengah memperhatikan ironi kehangatan keluarga kecil itu.
“No, they are strong…” Saya menimpali. Dan kami berdua sepakat akan hal yang satu itu.
***
Lewat pukul dua, Mary membangunkan saya yang tanpa sadar tertidur di meja. Memberi tahu bahwa denyut nadi dan pernapasan Hawa tidak bisa terbaca. Saya berlari secepatnya ke tenda isolasi, berharap masih menemukan secuil kehidupan disana. Tangan saya meraih pergelangan tangan Hawa, tak ada getar halus denyut nadi yang dapat saya raba. Saya meletakkan stetoskop di dadanya, pun tak ada detak jantung yang dapat terdengar lagi.
Sial! Saya tak bisa kehilangan wanita ini, anaknya masih kecil, suaminya masih membutuhkannya.
Bergegas saya ingin melakukan tindakan bantuan hidup, menginstruksikan Mary untuk menyuntikkan Adrenalin. Tetapi Gabriel menghentikan tangan saya sebelum sempat melakukan apa-apa. Saya bergeming, memandang Hawa dan memandang Gabriel secara bergantian. Kemudian pria itu tersenyum, senyum pertama yang diperlihatkannya sejak kami berkenalan. “Khalas” Gabriel berujar tenang sembari mengelus wajah istrinya. Saya pun berhenti dan mundur perlahan.
“Call it doc…” pelan Mary meminta.
Saya terdiam. Sungguh saya benci melakukan hal ini.
“H, call it!” Sekali lagi Mary berujar, suaranya menegang.
“Time of death, 02:13am. 5 April 2013” saya berujar, mencoba menyatakannya dengan nada yang paling tenang.
Dan kami pun paham, malam-malam panjang ini berakhir sudah
***
Manusia sungguh mahluk yang unik, diciptakan dengan perasaan memiliki dan keinginan untuk saling melengkapi, tapi tak seorang pun dari kita yang dilahirkan dengan kemampuan bisa menerima kehilangan, -yang sayangnya- menjadi satu-satunya hal yang pasti dari beragam kompleksitas kehidupan. Beruntung kemudian diciptakanNya waktu, yang menjadi guru terbaik dan mengajarkan kita menghadapi perpisahan dengan cara yang berbeda.
Malam ini tak ada tangis yang membuncah ataupun ratapan kesedihan, hanya ada sebuah haru kehangatan dari keluarga kecil yang melepas kepergian wanita mereka. Gabriel menyadarkan saya, bahwa jika suatu saat kehilangan sahih adanya, saat kita memiliki seseorang yang bersedia ada hingga saat itu tiba, sesungguhnya perpisahan tak lagi berarti apa-apa.
Dan apabila kesahihan hidup itu berlaku universal, cinta yang berarti tulus menerima bukankah juga berarti tulus melepaskan?
***
Mary: Hey it’s your birthday right? | Me: Yes, indeed | Mary: Well, it’s might be not the good time, but happy birthday H… | Me: Thanks…