Hujan Pertama di Sudan Selatan

Doro Refugee Camp, 7 May 2013 [04:33pm] 

Rintik hujan pertama sejak saya berdiam di negeri ini, akhirnya menyentuh bumi…

***

Mungkin panas negeri ini telah membuat saya lupa bahwa matahari pun kadang memilah waktu untuk bersinar, memberi sedikit jeda bagi selaput awan pekat untuk menghias langit. Mungkin panas negeri ini juga yang telah membuat saya lupa, bahwa manusia tak selamanya harus berusaha tampak kuat, bahwa mereka yang berselisih tak selamanya harus benar, bahwa hidup tak selamanya memberikan kebahagiaan dan bahwa tidak semua mimpi dapat diraih.

Kemudian hujan datang, menyadarkan saya bahwa selalu ada kesempatan di setiap kesulitan, selalu ada tawa dalam drama satir kehidupan dan selalu ada pelajaran untuk direkam dalam jejak masa. Oleh karena itu saya menyenangi hujan…

Hujan datang bersama perubahan, seperti rintiknya yang menggerakkan partikel-partikel pasir di tanah menjadi sebentuk kawah kecil. Seperti semilir anginnya yang meneduhkan dan membuat waktu di negeri ini yang berlari menjadi sedikit melambat. Seperti kumparan awannya yang tak berhenti bergerak melukis kilat dan menabuh guntur di negeri yang tak pernah tenang ini.

Hujan datang tepat disaat saya mulai merasakan keputusasaan; Oleh konflik yang tak kunjung reda, oleh banyaknya hidup yang terenggut oleh wabah dan tak dapat saya selamatkan, oleh pertanyaan yang saya lontarkan tanpa pernah saya peroleh jawabannya dan oleh hidup yang sepertinya sedang segan mengantarkan kebahagiaan. Kemudian hujan datang, menyapu kerasnya hidup.

***

Saat hujan pertama turun di negeri ini, saya tak dapat menahan diri untuk tidak bermain!

Layaknya semasa kecil, saat rintik hujan adalah serangan busur dari mahluk luar angkasa, saat guntur adalah dentuman meriam pesawat intra-galaksi atau kilat yang menjadi laser pamungkas. Hujan hari ini kembali membawa keriuhan! Guntur layaknya kotak musik yang memutar lagu kesenangan saya, lukisan kilat menjadi lampu disko yang gemerlap, menemani saya dan yang lainnya berdansa dan tertawa. Tak perduli bagaimana lumpur mewarnai tubuh, bagaimana nantinya kami akan terserang malaria berjamaah, atau bagaimana nanti kami harus memperbaiki pagar-pagar jerami yang rubuh saat berserobok dengan angin.

Kami bergerak kemanapun angin bergerak, tertawa akan lakon indah yang diberikan bumi hari ini. Sesaat melupakan tentang manusia yang saling berselisih dan berperang, tentang penyakit yang menjelma menjadi momok wabah yang menakutkan atau tentang hari-hari yang seakan menelan semua semangat hingga tak tersisa lagi.

“We get our break, I should say this is the best day in Doro!” rekan saya Eliana berujar sembari tak henti-hentinya menari di bawah hujan.

“After months of scorched hot, I can’t agree more” setengah berteriak saya mengiyakan.

Bergelung dalam selimut debu dan matahari yang tampaknya senang menghamparkan amarahnya ke dataran ini. Hujan seakan menjadi pengingat bagi saya, bahwa sehebat apapun sel-sel di tubuh kita bereplikasi dan bekerja, sebagai entitas; kita manusia butuh jeda…

***

Sore itu, hujan turun semakin deras dan tanpa henti, tanah di negeri ini basah sehari semalam. Keesokan paginya, saya terbangun tanpa rasa gerah dan bermandikan keringat untuk pertama kalinya, saya memilih untuk berjalan kaki menuju klinik tempat saya bertugas. Situasi sudah sedikit tenang, tak ada lagi tembakan dan saling serang.

Langkah demi langkah di kamp pengungsian membuat saya terpengarah, sungguh semesta sangat mahir memainkan sulap! Tanah tandus negeri ini berubah dalam semalam, warna cokelat retakan tanah berganti menjadi permadani hijau dalam waktu singkat. pucuk-pucuk daun dari kecambah yang terjebak di retakan tanah mulai menampakkan wujudnya, bulir hujan tampak masih menggantung di ujung atap jerami, bahkan bongkol-bongkol cendawan mulai berpayung rendah.

Saya tak henti-hentinya melambaikan tangan ke arah kerumunan anak kecil yang tertawa sembari bermain lumpur bersama babi-babi peliharannya. Para pria sibuk membenahi tenda-tenda mereka, sementara wanita sibuk menyalakan api yang menghangatkan.

Ahh, sungguh panas di negeri ini membuat saya lupa, bahwa masih ada senyum yang terserak dimana-mana. Saya hanya, kadang lupa memungutnya…

 “Look at the dead Baobad, seems it’s not dead somehow” Maud berujar sembari menunjuk ke arah pohon Baobab tua  yang patah di persimpangan, cerita dari mulut ke mulut beredar, konon pohon baobab itu patah dan mati di serang hewan buas. Saya  tercengang melihatnya, pohon yang telah terbelah dan meranggas kering kembali menonjolkan ranting-ranting kecilnya, bukan hanya satu tapi hampir memenuhi batang pohon yang tersisa hanya setengah itu. Sungguh ajaib!

***

Musim di negeri ini telah berubah, membawa masa yang lampau menjadi sejarah dan menyiapkan banyak hal baru di depan sana. Saya sedikit malu telah membiarkan diri saja terjebak dalam diorama gelap kehidupan. Sedikit malu, telah menguapkan harapan dan tenggelam dalam rasa keputusasaan. Tapi tak ada penyesalan disana, negeri ini memaparkan saya realita. Menyadarkan saya bahwa waktu tak pernah datang terlambat, tak perduli dia datang dalam wujud musim yang berganti atau jam pasir yang saya balikkan saat memesan menu di konter makanan cepat saji. Alih-alih mencipta batas, waktu memberi saya ruang untuk belajar merasakan dan menunggu. Mengkonversi tiap hal menjadi pengalaman dan pelajaran, layaknya cendawan yang mengkonversi tanaman mati menjadi tanah yang kaya.

Dan  untuk realita hidup yang keras, seperti kata ibu saya; Kadang cukup di tertawai saja…

Salam

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s