Doro Refugee Camp, 19 August [06:48pm]
“No, you’re kidding!”
Saya sontak bersorak ketika Balla mengatakan perempuan di hadapan saya ini adalah istri dari pemuda kecil yang menjadi pasien kami.
“No my friend, I’m telling you the truth. Some of us married when we were very young” kata-katanya bergetar akibat kelakar. Perawat saya yang satu ini memang pandai menyimpul tawa.
Saya melayangkan pandangan ke arah gadis kecil yang kini hanya mampu tersipu sembari menggulung sudut kaos yang dikenakannya. Sebuah tangan pelan terjulur memeluk punggungnya, saya menoleh ke arah pemuda yang kini duduk di sampingnya sembari memamerkan susunan giginya yang putih rapih.
“So you are a man, literally!” Ujar saya takjub kepada pemuda berusia 15 tahun itu, saya berharap kata-kata saya tidaklah sejanggal ekspresi saya saat itu.
Phanuel namanya, umurnya baru menginjak 15 tahun semenjak tiga bulan yang lalu, pria dan suami sah dari Lisbeth seorang perempuan berusia 14 tahun. Pernikahan mereka telah menginjak usia 5 bulan, sejak bulan maret yang lalu mereka mengikat diri menjadi sepasang suami-isteri.
Kini saya berharap, tulisan saya tidaklah sejanggal ekspresi saya kala itu.
***
Menikah dapat kau rangkaikan dengan aksara apa saja, tetapi bukan dengan kata “sederhana”, saya hidup dengan pemikiran seperti itu. Menikah layaknya mengucap sumpah atas nama sungai Styx, tempat dimana dewa sebesar Zeus pun akan terikat selamanya.
Saat saya berusia lima belas tahun, menikah bahkan menjadi kalimat yang saya belum pahami artinya. Pernikahan kala itu adalah wujud kemapanan, tanggung jawab dan perlindungan, saya menyimpulkan dari melihat kedua orang tua saya. Kini dihadapan saya dua orang pemuda-pemudi telah mengikat sumpah menjadi sepasang suami-isteri, logika saya berhenti seketika.
“How could they get married so young?” Saya berusaha membuat pertanyaan saya terdengar senormal mungkin, berpikir seketika bahwa jawaban apa saja hanyalah pembenaran yang tak akan pernah dapat saya terima.
Balla dengan sigap menerjemahkan, keduanya tersenyum sesaat sebelum menjawab bersamaan.
“They love each other…” dalam tawa Balla menerjemahkan.
Sekali lagi saya dibuat bergeming. Cinta? Ah, mereka bercanda! Di usia 15 tahun, apa yang mereka ketahui tentang cinta?
Percakapan kami tak berlangsung lama kala itu, visitasi saya masih panjang dan masih banyak pasien lain yang harus saya temui. Tapi percakapan kami menggantungkan banyak tanya dan saya ingin memetik jawabannya satu persatu.
Maka sore itu, saya meluangkan waktu bercerita dengan mereka berdua. Dari mereka saya menikmati romantika cinta pertama, bagaimana seorang pemuda jatuh cinta kepada teman semasa kecilnya. Phanuel menyukai Lisbeth yang senantiasa berbaik hati menemaninya menggembala keledai ataupun menemaninya mengantri bahan makanan pembagian kamp ini. Lisbeth tak pernah mengucap kata suka ataupun menolak permintaannya, sepertinya kata itu tabu diucapkan wanita.
Saat menginjak 15 tahun dan telah dianggap dewasa, Phanuel meminta Ayahnya menimang Lisbeth untuk dijadikan isteri. Membuktikan niatnya Phanuel membangun “Tukul” sebagai rumah mereka tinggali nantinya. Pesta pernikahan diadakan setelah Tukul buatan Phanuel selesai.
“But, don’t you think it’s too early for you to get married? You don’t want to go to school? Enjoy teenager year, you know falling in love then broken heart and falling in love to other person maybe? Sembari berkelakar saya bertanya kepada mereka.
Phanuel sekali lagi memamerkan gigi putihnya kala menjawab bahwa dia sangat ingin kembali bersekolah, sementara Lisbeth kini lebih terbuka saat dia menceritakan keinginannya belajar menjahit.
Percakapan kami berlangsung lebih ringan, saya pun tak berniat bertanya lebih jauh lagi. Saya menikmati cinta kecil ini, dua orang yang saling menyukai dan memutuskan bersama dan tidak ada embel-embel “bagaimana, jika dan seandainya”.
Saya percaya, banyak orang yang juga tidak akan percaya bahwa waktu akan lekang bagi cinta kecil yang tumbuh di jiwa-jiwa se-muda mereka. Umur membuat orang belajar menimbang cinta dan pernikahan dengan kadar yang berbeda-beda. Kita mencintai kesiapan, harapan, rasa mampan dan mimpi akan kebahagiaan tapi terkadang tak berani mencintai kemungkinan, tantangan, serta penolakan yang senantiasa hadir beriringan.
‘We love each other…”
Dalam perjalanan pulang kata-kata mereka terus terngiang. Semburat jingga di langit Sudan Selatan sore ini, semakin mewarnai romantika pikiran saya. Membuat saya mengandaikan saat kedewasaan berhenti di usia 15 tahun, sepertinya mencinta akan lebih mudah.
***
Saya mengangkat kamera dan menekan tombol shutter, kemudian memperlihatkan hasilnya kepada mereka berdua. “This is your wedding gift from me, I’ll print it and give it to you tomorrow”, ujar saya. Mereka tersenyum memandang foto mereka berdua untuk pertama kalinya.
I wish them happily ever after…