Oasis Huacachina: Elegi Cinta yang Bertahan Terlalu Lama

Photo 10-29-15, 05 23 19.jpg

Oasis Huacachina – Peru, 29 Oktober 2015 [08:33 PM]

Matahari telah meluruh sempurna saat saya dan Honney tengah duduk di La Case de Bamboo. Kami sengaja memilih restoran vegetarian ini setelah mendengar desas desus tentang Quinoa Atamalada yang konon membuat turis yang mengunjungi Huachachina akan kembali lagi dengan dituntun oleh aroma masakan ini, yang menjadi penyatuan antara ají amarillo, jinten dan kacang pinus.

Di piring datar berwarna putih, Quinoa Atamalada yang berwarna lembayung tampak menyilaukan. Ají amarillo –yang sejatinya adalah cabai kecil berwarna jingga yang ditumbuk halus- memberi warna pada quiona yang pucat. Gurihnya kacang pinus terkecap saat saya menggigit potongan-potongan kecilnya. Sama sekali tidak ada yang salah dengan statemen itu, semua yang telah mencoba Quinoa Atamalada akan senantiasa ingat rasa dan tampilannya seperti mereka mengingat terik matahari yang memanggang tengkuk mereka di gurun-gurun terpanas dunia yang memagar Ica.

We made our own ají amarillo. To keep the taste fresh, we order the chilli from Huánuco every week. Restoran yang baik akan selalu menyiapkan ají amarillo-nya sendiri.” Perempuan bertubuh tambun yang menjadi pelayan sekaligus koki di restoran ini bercerita.

“Nenek moyang kami akan menghindari garam, seks dan ají amarillo selama beberapa hari sebelum membuat persembahan kepada dewa Inca. Legend says, the gods can’t stand the heat and spicy taste of ají amarillo haha!” kata-katanya terhambur bersama dengan gelak tawa.

*** Continue reading

Manusia, Tuhan, Cinta dan Meja Makan yang Dibagi Dua

Selçuk – Turkey, 24 December 2014[07:12pm]

“Can I sit here? tanya dia.

Sesaat saya memandang pria itu sebelum menjawabnya dengan anggukan kepala.

“Have you ordered?” Tanyanya lagi.

“Not yet, it seems there’s only  one waiter and he’s pretty busy” jawab saya sekadarnya.

Beberapa saat kami berdua kembali sibuk dengan layar kecil ponsel kami sebelum pelayan bertubuh tambun dengan serpihan uban keperakan menyapa. Disodorkannya sebuah menu bergambar ke tengah-tengah meja, kemudian perhatiannya kembali terarah pada layar televisi yang tergantung di tengah-tengah ruangan. Continue reading

Satu Masa di Bulan Februari

“Serendipity; [noun] The occurrence and development of events by chance in a happy or beneficial way” ~ Oxford Dictionary

***

Dubai – Uni Emirate Arab, June 20th 2014 [02:33am]

Saya tidak akan melupakan satu subuh yang sama empat bulan yang lalu, tepatnya tanggal 12 Februari 2014. Saat itu saya tengah menunggu penerbangan saya menuju Praha. Penerbangan yang [sayangnya] tak pernah tiba tepat di tujuan.

Saya akan berbagi sedikit cerita tentang hari itu.

Dari mana saya memulainya? Hmm, mungkin dari alasan kepergian saya…

Saya berencana mengunjungi Praha untuk menziarahi sang kota tua dan seorang karib lama. Lucka namanya, perempuan Ceko yang melewatkan setengah tahun bersama saya di gersangnya Sudan Selatan. Saya yang saat itu tengah bermungkim di barat Afrika harus menempuh seperempat belahan dunia sebelum dapat tiba di ibukota Republik Ceko. Tak ada penerbangan langsung menuju Praha, saya pun harus berganti pesawat di London.

Sayangnya sebuah musibah menimpa pilot pesawat Gambia Bird yang subuh itu akan saya tumpangi dan penerbangan pun ditunda menanti pilot baru tiba. Saya yang memiliki waktu transit yang sangat tipis mulai dibuat cemas, segenggam masa yang saya miliki mulai luruh perlahan demi perlahan. Continue reading

Paris, Je Me Sens Blue

Saya percaya bahwa kalian telah begitu seringnya melekatkan Paris dan cinta.

Dan saya pun demikian.

Hari dimana saya mengunjungi Louvre untuk pertama kalinya, saya tertegun memandangi sebuah patung indah yang menggambarkan legenda Cupid si dewa cinta dan Psyche istrinya. Suatu ketika Psyche yang menjadi pelayan Venus ditugaskan untuk mengambil sebuah termos berisi esensi kecantikan oleh sang dewi. Diwanti-wantinya sang pelayan untuk tidak membuka ataupun mengintip ke dalam termos tersebut. Psyche yang diliputi rasa penasaran, alih-alih langsung menuju Olympus untuk mempersembahkan termos tersebut malah berhenti dan membukanya. Hasratnya berujung bencana, esensi isi termos tersebut terlalu indah dan tak sanggup untuk disandangnya. Pscyhe meregang nyawa, seluruh tubuhnya tak berdaya.

Cupid yang terbang rendah seketika terkejut melihat istrinya yang telah terbujur tak bernyawa, ruh Psyche telah melangkah menuju sungai Stynx di dunia bawah. Diliputi rasa sedih dan nelangsa, Cupid menusuk istrinya dengan anak panah cintanya dan mengembalikan ruh Psyche ke dalam raganya. Sebuah kecupan penuh gairah di daratkan cupid ke bibir istrinya, cinta mereka hidup kembali…

Cupid and Psyche and couple in love
Cupid and Psyche and couple in love

Saya percata Cupid mencintai Paris seperti Parisian (sebutan bagi warga paris) mencintai kota mereka. Disini cinta terserak dimana-mana, pada hangat pelukan seorang pria yang merangkul kekasihnya di atas metro yang melintas cepat, pada senyum simpul wanita-wanita di taman kota, di genggaman pria yang menggenggam erat tangan prianya, di antara salam para rabbi Yahudi kepada imam masjid tetangganya serta di tiap bangunan tua, di relik-relik agama, di bantaran sungai Seine dan cafe-cafe yang tak henti-hentinya mengepulkan asap rokok dan cerita.

The most iconic bookstore of Paris
The most iconic bookstore of Paris

Continue reading

Satu Koma Enam Satu Delapan

Begini awal mulanya…

Di suatu petang di bulan November, di tengah perjalanan panjang trans-liberia yang tengah saya tempuh, rombongan kami berhenti sejenak di sebuah desa bernama Lombe. Kala itu kami berniat melewatkan sebuah pekan di pulau Tiwai, sebuah pulau besar di tengah-tengah sungai Moa yang melintasi Sierra Leone, Liberia dan berakhir di delta niger – Nigeria.

Pulau Tiwai menjadi salah satu dari sedikit destinasi alam liar yang dapat dijangkau dengan jalan darat dari kota tempat saya bermungkim. Sejak dahulu, Tiwai telah dikenal sebagai daerah suaka bagi primata. Pulau yang luasnya tak lebih dari dua lapangan bola menjadi rumah bagi sebelas jenis primata dan great apes. Peneliti eropa sejak awal tahun 50an menasbihkannya menjadi salah satu daerah dengan kekayaan primata terbesar di dunia.

Tiwai menjadi rumah bagi  monyet Diana yang langka, menjadi ekosistem alami bagi monyet Kolobus Merah beserta koloninya dan juga tempat persembunyian Chimpanzee Hitam Afrika yang semakin sulit ditemui.

Saya menyebut Tiwai sebagai daerah suaka, tempat perlindungan bagi primata yang terancam punah, sungai Moa yang lebar serta buaya-buaya Nigeria yang mendiaminya menjadi pelindung alami para primata dari pemangsa utama mereka; Manusia. Continue reading

Aljabar menjabarkan kepastian, seperti sahihnya satu ditambah satu adalah dua dan sahihnya deret fibonacci yang tak akan pernah menemui bilangan terakhirnya.

Aljabar berbanding terbalik dengan hati manusia yang kadarnya akan selalu berbeda tergantung siapa dan apa pembandingnya. Kita senantiasa meragu akan rumusan perasaan, salah satunya saat merumuskan pasangan yang tepat.

Tapi seorang karib saya pernah berkata, bahwa hati manusia tak ubahnya sebuah rumusan aljabar yang memiliki nilai pasti.

“Dia yang tepat adalah dia yang menjadi tempat kamu bisa menjadi kamu yang sebenarnya dan menerima kamu apa adanya…”

Dan mungkin sekarang satu-satunya yang saya butuhkan adalah; berhitung…

Sebuah nukilan dari janin buku yang tengah saya tulis. jangan tanya saya kapan rampungnya, mungkin besok atau mungkin lusa atau mungkin sedikit lebih lama…

Seandainya saja rasa senang dan bahagia bekerja layaknya virus paling mematikan di dunia. Saya berkenan terjangkiti dan tak segan menularkan.

Karena rasanya tak ada yang lebih membahagiakan dibanding membahagiakan orang lain.

Me; Who physically exhausted but psychologically delight.

Satu Pagi di Barat Afrika

Freetown – Sierra Leone, 9 February 2014 [06:06am]

Tiap-tiap manusia berkisah dengan inderanya pun dengan lakunya. Tiap-tiap dari kita adalah sebuah buku yang terbuka dan dapat dibaca oleh siapa saja yang dapat menerjemahkan aksara tak tertulis. Manusia menorehkan cerita hidup dalam ruang bidang yang beragam, seperti kota ini serta misteri pagi yang disembulkannya setiap hari.

Kabut bergulir dari puncak-puncak bukit yang memagar peninsula jauh sebelum matahari terbit, bertingkat-tingkat layaknya gulungan ombak kemudian meluruh hilang saat menyentuh pesisir-pesisir pantai yang mengecup pinggir samudera Atlantis, sebuah pertujukan alam maha megah yang ditampilkan setiap pagi.

Sepuluh tahun yang lalu, saya tak akan mampu berdiri disini sembari memandang kota, karena sebutir peluru akan dengan mudah terbenam di batok kepala saya. Saya akan menjadi salah satu dari ratusan ribu manusia tanpa nama yang hanya terekam sebagai bagian sejarah dari salah satu perang saudara terburuk di benua Afrika.

Perang tak pernah mengenal kata belas kasihan dan toleransi, ia layaknya sebatang besi panas yang melelehkan tiap balok es yang disentuhnya hingga tak menyisakan satu pun atom yang mewujud benda ataupun layaknya titik yang menamatkan tiap cerita, tanpa menyisakan satu pun kata sesudahnya. Continue reading

Little Adult

“For in every adult there dwells the child that was, and in every child there lies the adult that will be.” ~ John Connolly

***

Sewaktu saya kecil, saya sering bertanya-tanya berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk menjadi dewasa? Saat itu saya mengartikan dewasa sebagai sebuah puncak kebebasan, selebrasi atas pencapaian usia yang membuat saya dapat melewati batasan-batasan yang selama ini mengungkung saya.

Saat saya dewasa tak ada lagi bapak yang akan mempertanyakan kenapa saya pulang pagi hari ini, tak ada lagi rasa was-was harus mengendarai motor tanpa takut di tilang karena tak memiliki SIM, saya bebas berpacaran tanpa malu-malu bergandengan tangan dan akhirnya mengantongi kartu tanda penduduk serta ikut pemilihan umum untuk pertama kalinya.

Dewasa sejatinya merunut usia, tolak ukur yang paling mudah untuk dijadikan acuan. Saat usiamu mencapai bilangan tertentu maka kedewasaan seharusnya ikut ditasbihkan ke dalam dirimu. Tapi seringnya saya mendengar bahwa dewasa itu adalah sebuah pilihan, bahwa tidak semua yang menua semerta-merta ikut menjadi dewasa, saya merasa itu ada benarnya juga. Dewasa dan usia layaknya Theseus dan Centaur dalam Labirin Kreta, di mana ia harus memilih lorong tepat sembari berpacu dengan Centaur yang terus menerus memburunya. Pilihan ada dimana-mana beberapa mengajarkanmu kebijakan sisanya hanya menjerumuskanmu pada penyesalan.

Dewasa adalah sebuah pilihan? Bagaimana jika dewasa adalah sebuah keterpaksaan?

*** Continue reading

Senja dan Epilog Akhir Tahun

Bo – Sierra Leone, 31st December 2013 [06:22pm]

Jangan bilang-bilang kalau saya membagimu satu rahasia:

Saya menyukai kamar jenazah….

***

Saat rumah sakit ini dibangun belasan tahun yang lalu, mereka menempatkan kamar jenazah jauh di sudut belakang, ukurannya hanya beberapa petak saja dengan kisi-kisi tipis berbalur cat putih bersih, dindingnya pun kini hampir menyatu dengan pagar. Sebuah lampu neon menggantung di langit-langitnya, satu bilah dipan kayu, sebuah kursi dan jendela mungil yang memungkinkan saya memandang ke gugusan bukit berhias rimbun hutan mungil di belakang rumah sakit kami.

Rumah sakit tempat saya ditugaskan kali ini bernama Gondama Referral Centre, sebuah rumah sakit sederhana di timur Sierra Leone yang mengkhususkan diri untuk menangani anak-anak sejak hari pertama kehidupan mereka hingga berusia lima belas tahun.

Bukan tanpa alasan rumah sakit ini dikhususkan, Sierra Leone menempati posisi pertama sebagai negara dengan tingkat kematian anak tertinggi di dunia. Tiap harinya rumah sakit kami menampung lebih dari ratusan pasien, mulai dari bayi mungil yang lahir prematur hingga anak-anak yang datang dengan kondisi kejang hingga koma. Continue reading