Doro Refugee Camp, 5 August 2013 [07:12am]
Tangisnya membuncah, lebih lengking dibandingkan riuh pengeras suara di depan sana. Kakinya digelung lumpur, tubuh telanjangnya pun basah akibat air yang tumpah. Mati-matian dia membawa air dalam jerigen yang beratnya mungkin lebih berat dari berat badannya sebelum akhirnya dia lelah, terjatuh dalam kubangan dan air yang dibawanya tumpah membasahi tanah yang sudah basah. Kini dia harus mengulanginya lagi, mengantri, memompa air kemudian membawanya pulang ke rumah yang hanya Tuhan yang tahu seberapa jauhnya. Mungkin dia akan gagal sekali lagi, dua kali lagi atau berkali-kali lagi.
Dan saya berada disana, bergeming memandangnya dari salah satu sisi. Tidak, saya sama sekali tidak berfikir untuk membantunya, dia harus berusaha sendiri karena hanya dengan begitu dia dapat belajar bertahan dan hidup.
Pemandangan ini bukan kali pertama saya temui, negeri ini secadas kisah-kisah yang hidup di dalamnya. Apabila kau berkata hidup adalah sebuah perjuangan, negeri ini dapat memberikanmu kesahihan. Tanah besar ini bukan tempat bagi orang-orang kecil yang lemah, air tak mengalir dengan mudah kawan! Kau harus mempunyai tenaga dan upaya untuk merengkuhnya.
Maka jangan salahkan saya apabila kadang saya berfikir, mungkin Tuhan tidaklah seadil yang saya kira…
Dimana letak keadilan saat seorang anak yang masih menunggu jejeran gigi susunya tumbuh telah harus berjuang demi beberapa liter air penyambung kehidupan dan disaat yang bersamaan di belahan bumi yang berkebalikan, air mengalir lebih deras dibanding air seni di popok anak sebayanya?
Mungkin selama ini saya salah, mungkin keadilan Tuhan itu relatif adanya, terkondisi dan berlaku tentatif.
Mengapa kita diciptakan berbeda? Mengapa orang-orang ini hidup dengan kondisi yang susah? Mengapa Tuhan tidak menjadikan kita satu ras saja, satu agama, satu negara dan satu kesamaan nasib? Mungkin dengan begitu hidup akan lebih mudah, tak perlu ada masalah, dunia yang tentram adalah sebuah keniscayaan…
***
Bocah itu kembali mengantri, ada tujuh orang lagi di depannya sebelum dia mendapat giliran memompa. Saya memperhatikannya dengan lebih seksama, airmatanya mengering membentuk dua lintasan di pipinya yang kusam. Cepat-cepat dia mengelapnya dengan punggung tangan. Sungguh perbuatan yang bodoh, sebab punggung tangannya pun berselimut lumpur akibat terjatuh tadi.
Tapi kini dia menyungging senyum sembari menabuh jerigen kuningnya keras-keras mengikuti anak-anak yang lebih dewasa. Tabuhan mereka menjadi berirama semakin cepat dan semakin cepat, lebih cepat dari denyut jantung saya yang semakin memburu.
Hingga tawa mereka pecah, sekali saja, sekeras-kerasnya…
Saya tak mengira akan melihat tawa hari ini, saya berfikir ini adalah satu dari sekian banyak gambaran berat hidup yang setiap harinya saya saksikan. Mereka mungkin dapat memetik kebahagian dalam kesusahan, ataupun bersyukur dengan keterbatasan. Apa mereka bersyukur dengan keterbatasan? Inikah bentuk keadilan Tuhan?
Saya yang bergeming di satu sisi saja tak akan mampu menangkap gambaran kehidupan dengan menyeluruh. Saya harus melangkahkan kaki, bergerak ke segala sisi dan melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Hanya dengan itu mungkin saya dapat mengerti bahwa senang dan sedih hanya masalah persepsi belaka..
Tuhan mungkin adil berbagi keadilan dengan cara yang tak pernah kita duga. Layaknya musik dengan berbagai tala, hanya dengan rangkaian nada yang berbeda sebuah simfoni dapat menjadi indah.
Mungkin perbedaan adalah bentuk keadilan, karena dengan berbeda maka kita dapat menyadari betapa istimewanya tiap-tiap dari kita.
Diberinya mereka keterbatasan untuk mereka memperluas harapan dan kemampuan, diberinya saya masa untuk berada disini dan belajar memaknai hidup dari sisi yang berkebalikan.
Serta diberinya kalian waktu, untuk membaca catatan ini dan semoga membuat kalian mengerti, betapa beruntungnya kalian saat ini…
***
Salam
Lagi-lagi Kak Husni membuat saya melelehkan air mata hanya dengan tulisan. semoga saya bisa mengambil inspirasi dan semangat anak kecil itu.
LikeLiked by 1 person