Today I’m with Liberia

Monrovia – Liberia, 08 October 2015

Dolo was nine when he first time wandering the hospital alley. Back at that time his papa carries the job of a registrar cum clerk. He used to sat after his class until the hospital bus carried them both back to Gbanga in the evening.

“I met my wife in the ER, she was a nurse student who’d taken care of my friend. He’s severely drunk after passed 9 bottles of Club. The drink is serious eh!” He chuckled while told me the story.

Dolo was twenty when he married the love of his life. They had a ceremony at the county’s chapel and held a small ball at the hospital cafetaria. “I danced with her mother and my father took my wife’s hand after the third song.” He reminisced.

Back then, the hospital was his childhood, his romance and his best friend.

Dolo was twenty five when his wife and father were passed away due to Ebola.

I saw them carried my wife to the ETU, five days later it was my dad. Five days later, I saw them in a body bags…”

I looked at him with admiration of the extent patience and courage he has.

Sorry to hear that, I could imagine it wasn’t easy for you…” 

His smile sparsed.

I stand for my daughter, after all the lost, I stand for what left…”

Aren’t we all the same…

Saat Kita Menggenapkan Kisah-Kisah Ganjil.

Bogor – Indonesia, 15 Februari 2016 [02:37 PM]

 From   : AR Putri

To        : Me

Halo Kak Husni, 

Perhitungan Kakak tepat sekali, kami sekarang ada di kelas 2 SMA. Beberapa dari kami memang sudah pindah ke sekolah lain, tetapi kita semua still stay in touch with each other.

Senang sekali menerima e-mail dari kakak. Hal ini membangkitkan ingatan bahwa kami pernah ingin mempublish kumpulan cerita yang kami buat berdasarkan artikel yang kakak buat tentang Suku Dani.  Continue reading

Fortune One: Ode of Sierra

Sekeras apa sebuah surel dapat menamparmu?!

Tidak, saya sedang tidak menyampaikan retorika bukan pula berusaha memberimu sebuah pertanyaan filsuf yang mungkin kau temukan jawabannya saat membuka kitab-kitab suci Plato.

Saya sekadar meresonansi sebuah kalimat tanya yang terbersit di dalam otak saya. Pertanyaan itu pun tidak pernah terlintas sebelumnya mengingat surel secara harfiah tidak memiliki massa untuk dapat memberi sebuah rasa.

Pertanyaan itu hadir mengikuti jawabannya saat satu sabtu yang lalu kotak email saya menampilkan sebuah surat dari rekan di benua hitam.

“We are close to win the war Husni, all I can think is how much you want to be here now to end it…”

Pipi saya memerah dan berbagai macam perasaan menggelegak keluar, rasa iri pun bercampur rasa senang, rasa lega bercampur rasa iba, rasa tenang bersinggungan dengan rasa gelisah. Ebola yang menjadi mimpi buruk kami berbulan-bulan lamanya, perlahan mulai kalah.

Saya merasa tertampar tak bisa turun tangan bersama rekan-rekan saya di garis depan melawan salah satu virus paling mematikan di dunia ini.

***

Continue reading

Little Adult

“For in every adult there dwells the child that was, and in every child there lies the adult that will be.” ~ John Connolly

***

Sewaktu saya kecil, saya sering bertanya-tanya berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk menjadi dewasa? Saat itu saya mengartikan dewasa sebagai sebuah puncak kebebasan, selebrasi atas pencapaian usia yang membuat saya dapat melewati batasan-batasan yang selama ini mengungkung saya.

Saat saya dewasa tak ada lagi bapak yang akan mempertanyakan kenapa saya pulang pagi hari ini, tak ada lagi rasa was-was harus mengendarai motor tanpa takut di tilang karena tak memiliki SIM, saya bebas berpacaran tanpa malu-malu bergandengan tangan dan akhirnya mengantongi kartu tanda penduduk serta ikut pemilihan umum untuk pertama kalinya.

Dewasa sejatinya merunut usia, tolak ukur yang paling mudah untuk dijadikan acuan. Saat usiamu mencapai bilangan tertentu maka kedewasaan seharusnya ikut ditasbihkan ke dalam dirimu. Tapi seringnya saya mendengar bahwa dewasa itu adalah sebuah pilihan, bahwa tidak semua yang menua semerta-merta ikut menjadi dewasa, saya merasa itu ada benarnya juga. Dewasa dan usia layaknya Theseus dan Centaur dalam Labirin Kreta, di mana ia harus memilih lorong tepat sembari berpacu dengan Centaur yang terus menerus memburunya. Pilihan ada dimana-mana beberapa mengajarkanmu kebijakan sisanya hanya menjerumuskanmu pada penyesalan.

Dewasa adalah sebuah pilihan? Bagaimana jika dewasa adalah sebuah keterpaksaan?

*** Continue reading

Tentang Dia dan Tangisnya

Doro Refugee Camp, 5 August 2013 [07:12am]

Tangisnya membuncah, lebih lengking dibandingkan riuh pengeras suara di depan sana. Kakinya digelung lumpur, tubuh telanjangnya pun basah akibat air yang tumpah. Mati-matian dia membawa air dalam jerigen yang beratnya mungkin lebih berat dari berat badannya sebelum akhirnya dia lelah, terjatuh dalam kubangan dan air yang dibawanya tumpah membasahi tanah yang sudah basah. Kini dia harus mengulanginya lagi, mengantri, memompa air kemudian membawanya pulang ke rumah yang hanya Tuhan yang tahu seberapa jauhnya. Mungkin dia akan gagal sekali lagi, dua kali lagi atau berkali-kali lagi.

Dan saya berada disana, bergeming memandangnya dari salah satu sisi. Tidak, saya sama sekali tidak berfikir untuk membantunya, dia harus berusaha sendiri karena hanya dengan begitu dia dapat belajar bertahan dan hidup.

Pemandangan ini bukan kali pertama saya temui, negeri ini secadas kisah-kisah yang hidup di dalamnya. Apabila kau berkata hidup adalah sebuah perjuangan, negeri ini dapat memberikanmu kesahihan. Tanah besar ini bukan tempat bagi orang-orang kecil yang lemah, air tak mengalir dengan mudah kawan! Kau harus mempunyai tenaga dan upaya untuk merengkuhnya.

Maka jangan salahkan saya apabila kadang saya berfikir, mungkin Tuhan tidaklah seadil yang saya kira… Continue reading

Promise and Its Paradox

Doro Refugee Camp, 10 August 2013 [02:18am]

“Kata bukanlah benda yang dapat dipegang, tapi mampu mengikat lebih kuat dari tali kekang kuda-kuda perang.” Ayah saya pernah berpesan…

Saya ingat, kalimat itu dilontarkannya saat saya dengan jumawa berjanji akan menempati ranking satu sebelum saya tamat di sekolah menengah. Ayah saya kemudian tak pernah menagih janji, tapi diamnya membuat hati saya senantiasa risau saat pengumuman juara kelas tiap satu cawu berakhir.

Saya yang licik senantiasa mencari pembenaran saat ayah saya menanyakan rangking berapakah saya di cawu ini. Dia tak pernah mempersalahkan, tak pernah mencibir pun memarahi saat janji saya sekali lagi tak mampu saya tepati. Kemudian seiring waktu saya pun paham bahwa kata bukanlah benda yang dapat dipegang, mampu mengalir jauh melintasi rentang masa, tak terkikis, tak berubah, tak dapat di putar arah apalagi dibalikkan…

Cawu terakhir di sekolah menengah pun datang dan beruntung janji berat yang terucap di kala awal akhirnya mampu saya tepati, saya menempati rangking satu di tahun terakhir itu. Rasa bangga meluap dengan hebat, bukan karena saya menjadi juara kelas tetapi karena akhirnya janji yang terucap purna sudah.

Sejak saat itu saya tak senang mengumbar janji. Berjanji layaknya mengikat dengan simpul mati, tak terpatahkan hingga menjadi kenyataan. Saya pun berusaha tak berjanji, karena takut akan mengingkarinya nanti. Bagi saya janji layaknya palapa yang dipantangkan Gajah Mada, tak akan saya ujarkan seandainya tak mampu saya lakukan. Continue reading

Connection, At The World We Live In.

Doro Refugee Camp, 21 July 2013 [12:08pm]

Kalau boleh saya mengibaratkan kita manusia layaknya hewan amphibia, selalu hidup di dua dunia. Kita hidup di antara realita dan mimpi, diantara harapan dan apa yang ada dalam genggaman dan apabila boleh saya menyamaratakan, sepertinya kita; Manusia abad sekarang semuanya hidup dalam dua alam, buana nyata dan dunia maya. Tentu saja, saya pun demikian…

Di dunia maya saya tak lebih dari kumpulan meta data, pun semua orang demikian. Bytes-bytes kami bersinggungan dan menjelma menjadi memori. Membuat saya memiliki kenangan virtual tentang siapa saja yang pernah saya temui. Di balik layar dan beragam avatar banyak dari mereka adalah manusia-manusia yang mencerahkan dan betapa beruntungnya beberapa dari mereka akhirnya dapat saya raih dalam jabat tangan yang sesungguhnya.

Banyak yang berkata, dunia maya tak lebih dari ilusi. Harapan kosong yang banyak orang berusaha raih. Tempat dimana semua orang berusaha tampak sempurna ataupun berkebalikan dari realita sesungguhnya. Tapi bagi saya, dunia maya ataupun nyata tak banyak berbeda. Keduanya bagai satu simpul benang yang saling berikatan; saling bersentuhan sisi antara satu dan lainnya dengan cara yang berbeda.

Dan kali ini, saya ingin bercerita tentang salah satunya…

*** Continue reading

Ketidaktahuan yang Menenangkan

Doro Refugee Camp, 29 June 2013 [08:07am]

Jam delapan tiap harinya bocah ini duduk di bangku kayu yang terletak di depan klinik kami. Menunggu saya tiba dengan senyumnya yang merekah lebar. Tiap hari tanpa mengenal jeda, bocah ini datang berkunjung di waktu yang sama. Kadang ditemani ibunya, ayahnya atau tak jarang dia berkunjung sendirian.

Biasanya saat hujan turun, dia akan datang sedikit terlambat. Terkadang dengan baju yang basah kuyup ataupun sendalnya yang berselimut lumpur tebal, tapi tak sekalipun bibirnya tak berhias senyum yang membusur. Saat hujan tampak lebat saya biasanya meminta dia tinggal lebih lama, sekedar untuk menghangatkan diri dengan segelas susu sembari menunggu hujan berlalu.

Bocah itu bernama Kilinton, saya pertama kali berjumpa dengannya beberapa bulan yang lalu. Bukan perjumpaan yang menyenangkan apabila saya boleh bercerita. Kilinton datang dengan ditandu, tubuhnya ringkih dan nafasnya memburu. Saat itu saya berfikir, maut sekali lagi datang berkunjung ke klinik kecil kami dalam bentuk bocah berusia delapan tahun. Continue reading

Miracle Deforms

Bagi saya, masa-masa menjadi mahasiswa adalah puncak selebrasi intelegensia. Belajar ilmu kedokteran layaknya merekam rumus-rumus eksakta dalam bentuk yang berbeda. Banyak yang berkata ilmu kedokteran itu adalah seni, bagi saya ilmu kedokteran layaknya sains murni. Melalui fisiologi saya belajar mekanisme kerja sebuah mesin maha rumit bernama manusia, mekanika kerjanya dan bagaimana kelak saya harus memperbaiki bagian yang rusak. Ada pula farmakologi yang mengajarkan saya tentang senyawa biokimia berupa rantai-rantai heksagon indah yang secara menakjubkan dapat berikatan dengan susunan molekul tubuh dan memberi efek yang menyembuhkan. Bagi saya, penyembuhan itu adalah sebuah bentuk kekakuan hukum; tanda-gejala memberi diagnosa dan berakhir dengan terapi.

Saya belajar bahwa penyakit muncul karena ketidakseimbangan dalam tubuh. Dan layaknya mesin, sekali kita memahami cara kerjanya maka tak ada hal lain yang tidak dapat dirasionalisasi. Obat pun demikian, aksi-reaksinya adalah ilmu yang dapat dijelaskan dalam berlembar-lembar kata, walaupun memahaminya tak pernah sederhana. Dalam  ilmu pasti tak ada bualan bernama keajaiban pun saya tak pernah belajar tentang itu. Tak ada jampi penyembuh ataupun sihir sakti yang dapat menjadi rantai heksagon layaknya senyawa kimia. Tetapi tak perduli sehebat apapun (kalaupun ini adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan) seorang dokter. Ada miliaran sel yang tak kasat dari pandangannya, ada berbagai kemungkinan yang dapat muncul dari sebuah diagnosis yang ditegakkannya, ada banyak lorong-lorong gelap dalam labirin otaknya dan banyak ruang kosong untuk penjelasan di luar nalar yang akhirnya berujung pada satu kesimpulan: Keajaiban, mungkin saja ada… Continue reading

Di suatu siang, pertengahan bulan November dua tahun yang lalu, saya sedang berada di pelataran gereja di Sa Pa – Vietnam. Mencoba berlindung dari sengatan matahari siang itu yang sangat kontras dengan cuaca Sa Pa yang dingin. Tak lama kemudian ekor mata saya menangkap geliat seorang gadis kecil yang berusaha menjual souvenir sembari menggendong adik bayinya kepada sepasang turis eropa yang tengah berfoto. Sayang hanya penolakan yang dia dapatkan. Turis berlalu pergi dia pun juga memutar arah. Ekspresi sedih dan kecewanya sungguh menyentuh saya. Sedetik saya mengabadikannya dalam kamera, kemudian memanggilnya. Dagangannya yang berupa lima buah gantungan mungil hasil rajutan ibunya saya beli…

“Tengkuuu” dia berujar, dahi saya mengkerut berusaha mengartikan…

“Thankyou” dia kembali melafalkan, dalam bahasa inggris yang lebih jelas…

Saya tergelak dalam tawa, dia pun juga

Hari itu kami berdua pulang membawa cerita dan bahagia…

Sebuah serpihan kenangan singkat dua tahun lalu yang ingin saya bagi bersama kalian di #turnamenfotoperjalanan ronde ketiga oleh Wira Nurmansyah selamat menikmati cerita disana 🙂