Paris, Je Me Sens Blue

Saya percaya bahwa kalian telah begitu seringnya melekatkan Paris dan cinta.

Dan saya pun demikian.

Hari dimana saya mengunjungi Louvre untuk pertama kalinya, saya tertegun memandangi sebuah patung indah yang menggambarkan legenda Cupid si dewa cinta dan Psyche istrinya. Suatu ketika Psyche yang menjadi pelayan Venus ditugaskan untuk mengambil sebuah termos berisi esensi kecantikan oleh sang dewi. Diwanti-wantinya sang pelayan untuk tidak membuka ataupun mengintip ke dalam termos tersebut. Psyche yang diliputi rasa penasaran, alih-alih langsung menuju Olympus untuk mempersembahkan termos tersebut malah berhenti dan membukanya. Hasratnya berujung bencana, esensi isi termos tersebut terlalu indah dan tak sanggup untuk disandangnya. Pscyhe meregang nyawa, seluruh tubuhnya tak berdaya.

Cupid yang terbang rendah seketika terkejut melihat istrinya yang telah terbujur tak bernyawa, ruh Psyche telah melangkah menuju sungai Stynx di dunia bawah. Diliputi rasa sedih dan nelangsa, Cupid menusuk istrinya dengan anak panah cintanya dan mengembalikan ruh Psyche ke dalam raganya. Sebuah kecupan penuh gairah di daratkan cupid ke bibir istrinya, cinta mereka hidup kembali…

Cupid and Psyche and couple in love
Cupid and Psyche and couple in love

Saya percata Cupid mencintai Paris seperti Parisian (sebutan bagi warga paris) mencintai kota mereka. Disini cinta terserak dimana-mana, pada hangat pelukan seorang pria yang merangkul kekasihnya di atas metro yang melintas cepat, pada senyum simpul wanita-wanita di taman kota, di genggaman pria yang menggenggam erat tangan prianya, di antara salam para rabbi Yahudi kepada imam masjid tetangganya serta di tiap bangunan tua, di relik-relik agama, di bantaran sungai Seine dan cafe-cafe yang tak henti-hentinya mengepulkan asap rokok dan cerita.

The most iconic bookstore of Paris
The most iconic bookstore of Paris

Paris is an art!

Dan kalimat itu bukanlah skadar ungkapan. Paris sejatinya adalah sebuah karya seni, sebuah kota kumuh yang menjelma menjadi salah satu permata di benua biru. Tiap bangunan yang berdiri, tiap sudut yang dipugar, tiap lekuk jalan yang mengular adalah bukti cinta kota ini kepada keindahan. Saya mengingat cerita salah satu rekan saya Robert akan kebencian masyarakat Paris di akhir abad ke 18 saat kota mereka dihiasi oleh monumen besi raksasa. Bagi mereka, monumen rangka itu layaknya setitik tinta hitam yang jatuh dan merusak lukisan indah. Mereka meminta bangunan itu dirobohkan, kembali diratakan dan dianggap tak pernah berdiri menghias kota indah ini. Ide itu tak pernah dieksekusi, dan kini lebih dari seratus tahun kemudian, menara ciptaan Gustave Eiffel itulah yang menjadi ikon utama Paris.

Sungguh, cinta dan benci terkadang berbatas sekat tipis masa dan persepsi saja…

The beautiful Eiffel tower
The beautiful Eiffel tower

***

Hari ini Paris diguyur hujan rintik-rintik, langit mendung menggantung sedari pagi, pekerjaan saya di kota ini sebentar lagi selesai dan malam ini saya akan kembali ke Brussels. Saya melintasi Ponts De Arts untuk kesekian kalinya, tersenyum memandangi para kekasih yang menghiasi jembatan ini dengan gembok-gembok besi sebagai penanda cinta mereka lalu melemparkan kuncinya ke dalam sungai Seine. Mungkin hanya sedikit dari mereka yang tahu bahwa pemerintah kota Paris rutin mengeruk dasar sungai untuk membersihkannya dari limbah cinta ini, memotong sebagian besar gembok yang melekat pada jembatan Ponts De Arts demi melindungi jembatan dari beban berat yang dapat merobohkannya kapan saja dan tanpa mereka sadari cinta mereka yang dianggap abadi akhirnya berakhir pada tempat-tempat pengolahan sampah sebuah kota raksasa.

“Love is a big fat corporate, the essence is consumerism. I depicting Cupid as a man in a black suit, walking in La Défense with Cappucino on his hand and a big office on top of Montparnasse.” Dengan satir rekan saya Robert menggambarkan kotanya.

“Haha so you depicting Paris as a love market then?!”  Ujar saya tak bisa menahan tawa.

“No, this is the headquarter of The Love Company, where the product of love are testing. Do you feel the love H?” Timpalnya lagi. “No” Saya menggeleng. “I feel the romance but not love”.

10258625_10203793721382440_8151766970583859526_n

***

Le Baratin Belleville – Paris, 29th April 2014 [07:22pm] 

Saya dapat duduk lama menikmati senja yang datang terlambat sehabis bekerja di cafe dan bistro-bistro yang tersebar di Paris, salah satu tempat favorit saya adalah bistro ini. Walaupun perlu saya akui menemukan tempat ini sedikit membutuhkan usaha, belum lagi setiap saat harus berjibaku dengan sistem metro Paris –yang menurut saya adalah sistem metro paling rumit yang pernah saya temui!– Tapi semuanya setimpal dengan menu serta ambiance bistro ini, ruangannya yang berwarna teduh dengan beberapa lukisan kontemporer, sudut-sudut yang berhias meja dan kursi kayu serta pilihan makanan yang tak pernah gagal memuaskan hasrat kuliner saya.

Kali ini saya menghabiskan waktu dengan menebak secara acak arti tatapan mata seorang perempuan di sudut kiri saya yang tengah duduk mendengar kekasihnya bercerita, perempuan itu sesekali menyelipkan jari tangannya disela telinga sembari tertawa kecil. Membuat saya penasaran apakah cinta yang menggurihkan cerita mereka ataukah cerita yang menumbuhkan cinta disana?

Saya pun dapat menjadi satu dari jutaan manusia di kota ini yang mengisolasi diri di tengah keramaian Rue du Faubourg Saint-Honoré yang melegenda, berjalan lurus ditengah kungkungan etalase-etalase megah brand ternama dunia sembari berharap suatu hari nanti dapat menengok, berhenti dan memilih satu benda yang menjadi penghias lemari di kamar saya.

Tapi sepertinya ada yang kurang, saya merasa tidak lengkap, layaknya sepatu yang kehilangan pasangannya dan akhirnya tersudut di kotak tanpa pernah dikenakan lagi. Cinta di kota ini mengingatkan saya bahwa senantiasa ada dua sisi dalam cerita dan kasih. Paris “the city of light” meredup dalam tatapan mata para imigran Afrika yang mengemis di stasiun kereta, di uluran tangan para wanita tua yang melangkah ringkih mengikuti dentaman lonceng Notredame yang berdiri gagah dan tampak jumawa. Paris yang manis pun menjadi bengis saat para pencopet mimic tangis korbannya dan gadis-gadis muda mencoba menjajakan ilusi berkedok sumbangan kemanusiaan.

Saya mencintai harapan dan diluar sangkaan saya kota ini memperlihatkan saya begitu banyak kemungkinan.

***

Saya masih patah hati serta sedikit iri tentunya, maka semoga saja tidak muluk apabila saya berharap suatu hari nanti saya dapat menjadi bagian dari epos cinta kota ini dan seperti kata Gina dan Nino Quincampoix dalam film Perancis kegemaran saya “Amélie”: “Absence makes… the heart grow fonder”.

Ya, kehilangan adalah bagian awal dari menemukan dan untuk sekali lagi, kita berbicara mengenai masa dan persepsi… 

Avoir L’espoir

2 thoughts on “Paris, Je Me Sens Blue

  1. Tulisan ini baru segelintir tulisan lama kak husni yang entah kenapa kata-katanya menyentuh hati. Yang lainnya, masih nyicil saya baca saat punya waktu senggang.
    Hi kak husni. Salam dari saya, pembaca baru blog ini:)

    Liked by 1 person

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s