“Some people call me a polluter, others say I’m an artist. I prefer to think of myself as an invader.” ~ Invaders, 1973
***
Brussels – Belgia, 23 Desember 2017 [09:23am]
Brussels bagi saya layaknya bangku di peron stasiun kereta, tempat saya menunggu dan menuju perhentian berikutnya. Ia disinggahi kemudian melesap tanpa pernah benar-benar saya kenali. Tetapi itu pula yang membuat kota ini – tempat kantor saya berlokasi- istimewa, di persimpangan ini saya bertemu dengan banyak orang yang menorehkan cerita dan kisah dalam hidup saya, maka pertemuan dengan mereka di Brussels senantiasa menjadi hal yang saya nantikan tatkala kembali ke kota ini.
Apa yang menarik dari Brussels?
Saat menuliskan ini, saya mencoba-coba mengingat beberapa objek wisata yang pernah saya kunjungi. Tetapi layaknya kota lain di benua biru, bangunan bergaya Renaisans dan patung-patung kolosal yang menghias pusat kota tampak begitu generik dan tak bermakna. Mungkin saya perlu memberitahumu tentang Bia Mara, sebuah restoran yang menyajikan olahan ikan dan kentang yang membuat sajian khas Inggris dan Irlandia menjadi tampak kecil di negara asalnya ataupun tentang Le Fin de Siรจcle; restoran Belgia yang tersembunyi di lorong kecil Rue des Chartreux yang tak pernah sepi. Sajian kelinci berbalut saus beri yang begitu gurih membuat saya senantiasa kembali. Menziarahi kedua tempat ini menjadi hal wajib tiap kali saya mengunjungi Brussels.
Tetapi selain itu, saya tidak menemukan hal yang menarik. Atau mungkin lebih tepatnya, saya belum menemukan hal yang menarik…
***
Saya menyukai seni. Dan layaknya buku yang menarik, mengunjungi museum, galeri serta ekshibisi seni dapat dengan mudah membuat saya terlarut dan lupa akan waktu. Tetapi seni visual yang bagus tak selamanya terkungkung dalam dimensi ruang, ia dapat dengan mudah ditemui di dinding bangunan yang memagar kota. Kontroversi menjadi nama tengah bagi banyak artis jalanan, tetapi kontroversi dan anonimitas itu pula yang menjadikan mereka terkenal. Sebut saja Banksy yang menjadikan seni jalanan sebagai medium politik, satir serta humor yang menghias banyak dinding kota di seluruh dunia. Di era 90an, seni jalanan memoles tembok Berlin, seolah mengolok-olok perang dingin serta politik yang memecah kota.
Layaknya hidup, tiap seni memiliki cerita.ย Dan ada beberapa dari mereka yang menjadi artis jalanan kegemaran saya.
“There’s no such a thing called “my favorite street artist” Husni!”
Rekan saya Natasha pernah mengolok-olok saya, saat saya memberitahunya tentang Invaders;nama anonim seorang artis jalanan asal Perancis. Dengan menggunakan medium keramik ia menorehkan karyanya yang menyerupai karakter dari video game dekade 70an; Space Invaders ataupun bentuk lain yang mengingatkan saya pada permainan dengan grafik 64bit disaat saya masih kecil dulu.
Di setiap kota yang dikunjunginya, ia akan menerbitkan peta lokasi tempat karyanya tersebar, ia menyebut ini dengan “invasi”. Sebuah aplikasi bernama bernama FlashInvaders pun dibuat untuk orang yang mengenalnya mengumpulkan poin dengan melacak tempat karyanya terpampang. Meskipun peta lokasi tersedia, menemukan karyanya terkadang bukan perihal yang mudah. Beberapa darinya berukuran sangat kecil, terletak di tembok tinggi, ataupun ruang-ruang yang tak umum dilalui atau diperhatikan. Tak jarang pula, karyanya telah hilang, dihancurkan ataupun dicuri untuk kemudian dijual di pasar seni. Tetapi bagi saya, tantangan mencari karya Invaders yang tersebar di banyak kota menjadi begitu menarik.
Sejak beberapa tahun yang lalu, saya mulai rutin memperhatikan serta mencari tahu tentang “invasi” di kota yang saya datangi. Orang-orang dekat saya pun paham dengan kegemaran saya atas seni jalanan Invaders dan tak jarang dengan senang hati menemani saya dalam perburuan harta karun virtual ini.
Di tahun 2012, Invaders menginvasi Brussels dan meletakkan 40 karyanya di ruang-ruang publik kota ini. Lima tahun berlalu, saya penasaran akan jumlah karyanya yang masih bertahan. Maka pagi ini saya memutuskan untuk memulai mencari jejak-jejak mosaiknya di kota ini.
Setelah tujuh jam serta 15 kilometer menyisir tiap-tiap distrik di kota Brussels, saya berhasil menemukan 17 dari 40 karyanya. Sebagian besar telah hilang dan menyisakan ruang kosong serta jejak-jejak mozaik yang pernah ditorehkannya.


















Berburu karya Invaders membuat saya mengenal Brussels lebih dari sekadar balutan objek wisata saja, ia membuat saya menyelami distrik Ixelles dengan riuh pub, restoran serta bulevard yang berpagar galeri seni. ย Karyanya yang menempel di dinding luar objek wisata terkenal seolah mengolok kungkungan kapitalisme dalam seni. Ia pun membuat saya menyusuri distrik Sablon yang ramai oleh imigran Afrika yang menjadi nadi menghidupi kerajaan ini. Di banyak tempat karyanya terletak, ada wajah lain kota yang tak pernah ditampilkan dalam eloknya brosur wisata; seperti komunitas imigran Suriah yang tinggal di jejeran mobil tua, pasar loak yang diisi imigran Polandia serta pemungkiman penduduk kelas menengah di pinggir kota.
Dan layaknya dewa Janus dalam mitologi Yunani, kota senantiasa memiliki dua wajah yang menunjukkan kebesaran masa lalu serta kompleksitas masa kini. Melihat keduanya membuat kita mengenalnya dengan lebih baik.
Pencarian saya akan ribuan karya Invaders akan terus berlanjut, dan apabila satu hari nanti kalian bertemu karyanya, jangan lupa beritahu saya! Catatan ini akan terus terbuka dan mari bertualang bersama!
Tabik
kok 17?? bukannya 18 ya??
semuanya gue nemu cepet dooong ๐ฌ ๐ ๐
kecuali foto ke 17, lumayan lama bbrp detik melototin karena ukurannya kecil trus warnanya item putih doang hihiii ๐ฌ
LikeLike
lumayan buat latihan otot mata dok, jadi melek cari2 Invandersnya. kayak main game ‘gambar yang berbeda’ hehe
LikeLike
Haha beberapa mozaiknya memang berukuran kecil dan cukup menantang untuk dicari.
Yes, It such fun game to play,! ๐
LikeLike
waaaaaa… jadi pengen berburu inviders jugaaa ๐
LikeLike