Every now and then I have this love and hate relationship with media…
Seringnya media membuat saya yang jauh dari rumah bisa melek berita, tapi seminggu terakhir sejak kasus dokter Ayu mulai ramai serta gerakan solidaritas mulai di dengungkan, media semacam memberi kesan negatif tentang dokter.
Sebagai dokter saya tentunya merasa gerah akan berbagai opini negatif, opini-opini dari orang yang dalam semalam berkat bantuan internet tiba-tiba ilmu kedokterannya seakan sederajat dengan keilmuan guru-guru besar saya (tapi sayangnya kelompok yang satu ini keilmuannya tampak seakan tunnel vision saja tanpa melirik kedokteran secara holistik dan sebagai sebuah kesatuan sistem maha kompleks yang membutuhkan lebih dari satu rentang usia manusia untik mempelajarinya) ataupun mereka yang menghujat secara nyaring melalui beragam sosial media.
Saya pun menangkap kesan bahwa dokter semakin kesini semakin menjadi public enemy…
To be honest, there’s a moment I have the urge to shout out and say “You all know nothing at all about this profession, the sacrifices we’ve made to be able to stand until this point or even the oath that we’ve recited at the very 1st day when we become a doctor”.
And unfortunately indeed some of them are know nothing at all but was shouting loud like they knew from zero to hero and using their narrow knowledge as a baseline opinion…
Tapi menyiram bensin ke kerak api pun bisa memicu bara yang membakar, berteriak lantang kepada orang yang tak mampu mendengar pun sepertinya menjadi usaha yang sia-sia saja.
Kemudian saya membuka FB & Path, saat aksi solidaritas di Makassar (kota tempat saya dibesarkan dan menimba ilmu kedokteran) berlangsung saya melihat senior-senior saya, guru-guru saya dan junior-junior saya saling bersisian menyuarakan satu aspirasi yg sama. Kemudian perlahan gerakan yang sama terjadi di kota lain, bahkan di daerah-daerah terpencil tempat dimana suara hewan terkecil pun dapat terdengar dan listrik menjadi kemewahan, teman-teman sejawat disana mengirimkan dukungannya.
And then I said “wait a second, it’s happening, it’s huge and it’s real! Dokter-dokter bergerak dalam satu garis linear yang sama ke satu tujuan yang sama”.
I love media for this, for letting me know what happen at the other side of the world, vast and real-time…
Banyak yang mencemooh aksi ini pun tak sedikit yang mengecam. Me? I don’t care at all, I am utterly happy and proud to see that we still have solidarity for something we believe and oh-God-and-science-know- IS RIGHT.
But more than that, it’s an awakening not only solidarity but empathy. Something that has been long gone from our society…
Saya pribadi dan seperti yang saya percaya rekan-rekan dokter juga, merasakan empati terhadap kasus dokter Ayu. We feel the injustice in a way that sometimes difficult for us to explained to people that not experiencing the road of life of this profession.
Dokter adalah sebuah profesi dan hidup yang ditekuni ratusan ribu orang di negeri ini. Layaknya profesi lain, ada manusia yang tak luput dari lalai dan lupa yang bergelung dan mengejawantahkan ilmunya disana. Anak-anak Hipocrates ini bukanlah Tuhan pun tak kebal atas tuntutan akibat kesalahan. Tapi saya percaya keadilan adalah ibu yang paling tegas nan sempurna dan kali ini ia tak boleh tutup mata bahwa dalam ranah kedokteran ada banyak hal yang harus dimasukkan dalam neraca timbangannya.
Feed FB saya kemudian menjadi lebih menarik sebab dipenuhi cerita pengalaman dokter-dokter yang bekerja di pelosok atau di perkotaan, dilema kita semua terhadap perlindungan dan “keterpaksaan” menerapkan defensive medicine yang bisa terjadi kapan saja serta pengalaman mereka yang sungguh kaya membuat saya menyimpulkan:
“No matter where we are, what the title at the front or the back of our name. We all trying our best to our patient and oh-God-knows we never meant of doing harm to them”
Saya berempati dan semoga saja masyarakat juga dapat diajak dan kembali diingatkan tentang dokter dan peran mereka.
Mungkin ini saatnya kita bercerita, tentang mereka yang berhasil kita selamatkan dalam keterbatasan atau tentang mereka yang tak bisa kita selamatkan pun karena keterbatasan di negeri ini.
Tentang peliknya sistem kesehatan pun dilema menjadi pelayan masyarakat di negeri ini dan bagaimana kita dibalik sistem yang rumit tetap berusaha memberi yang terbaik.
Doctor is not a public enemy and it’a shouldn’t happen, it’s our responsibility to spread a positive message and an attitude toward it.
Kembali ke kasus dokter Ayu, saya tak akan berhenti berharap dan bermimpi bahwa suatu hari nanti di negeri kita ini [yang setahu saya] tidak menganut Good Samaritan Law akan ada sistem perlindungan yang lebih baik bagi dokter dan pasien. Semoga dalam kasus sengketa medis, tidak ada lagi standar ganda dan keputusan MKDKI/MKEK bisa dijadikan acuan utama dalam menerapkan keputusan peradilan perdata maupun pidana dokter yang melibatkan intervensi medis.
Sehingga tak ada lagi istilah “miring” seperti “observasi yang dianggap pembiaran” atau analogi “tanda tangan menyebabkan emboli” dsb.
Pemerintah juga!
Semoga bisa berhenti menjadikan dokter “sapi perah” dengan anggaran kesehatan yang kecil, program-program kesehatan daerah yang megah dengan tuntutan besar tapi tanpa memperhatikan feasible atau tidak buat dijalankan dengan baik oleh dan bagi dokter. Gaji dokter PTT yang seringnya tersendat dan perlakuan yang lebih baik bagi dokter internship yang di gaji jauh dibawah upah minimum regional dan tanpa jaminan perlindungan kesehatan.
Dan mengutip salah satu tweet yang muncul di linimasa saya:
“Ada yang sedang sakit di negeri kita dan perlu segera disembuhkan: sistem”
Dan semoga kita semua bisa menyembuhkannya…